15
Alhamdulillah, hari ini bisa kumpul bareng Harumi dan juga gengnya Fajar, gumamku. Setidaknya aku bisa menyenangkan diri, tidak terlu memikirkan apa yang terjadi semalam. Surat itu benar-benar sangat mengganggu.
Selama ini aku diam saja, ternyata makin seenaknya saja. Aku diam karena malas berdebat dengan orang yang selalu merasa paling benar. Bukannya win win solusion, yang ada malah tambah masalah. Mungkin aku selalu mudah memaafkan, sehingga orang menyepelekan, jadi makin semena-mena menilai aku begini dan begitu. Memangnya dia mengurus hidupku tiap hari dan dua puluh empat jam, sepanjang waktu.
Tidak biasanya, kali ini aku pikir sudah saatnya bersikap. Ini akan jadi surat terakhir yang akan kuterima, aku hanya bisa menghibur diri. Seandainya saja jodohku mudah di dapat, tak seharusnya aku digunjing seperti ini.
Aku selalu heran dengan pemikiran orang yang masih melihat gender. Masih mikir kalau sekolah tinggi itu ujung-ujungnya dapur. Memangnya kalau perempuan itu tugasnya hanya di dapur doang? Memangnya masalah, kalau perempuan berpendidikan terus mengurus dapur rumah tangga? Bukankah urusan masak tidak selalu milik orang-orang yang berpendidikan tinggi? Semakin baik pendidikan yang dicapai oleh perempuan, apa salahnya kalau jago urusan masak memasak di dapur.
Lagi pula, dapur dan memasak bukan hanya urusan perempuan. Toh banyak koki-koki hebat yang jago masak tapi juga berpendidikan baik. Kalau memasak itu hanya urusan perempuan, lantas kenapa ada chef-chef andal tapi laki-laki?
Meskipun kebanyakan orang terutama mungkin pria berpikir bahwa kaum perempuan itu bisa masak. Tapi tidak semua perempuan di dunia ini bisa masak. Ada juga perempuan yang tidak jago masak, dan banyak juga laki-laki yang jago masak.
Rasanya aku hanya ingin tepok jidat jika hari gini orang masih bilang ngapain pendidikan tinggi kan perempuan ujung-ujungnya ke dapur juga. Semalam Paman juga menyinggung hal itu. Kalau saja Paman berani ngomong di depanku, gak lewat surat elektronik, chat WA doang, pasti sudah kupaparkan dengan detail kenapa pendidikan itu penting untuk perempuan.
Di zaman dulu, memang banyak ibu-ibu hebat yang tanpa mengenyam sekolah mereka mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang hebat. Sayang Paman tidak mengidolakan seorang ilmuwan besar milik Indonesia bernama B.J. Habibie. Setahuku, dari buku-buku yang kubaca, Pak Habibie bisa sehebat itu juga salah satunya peran ibu beliau yang berpendidikan tinggi di zamannya, sehingga menekankan pendidikan itu perlu.
Aku pikir, setiap perempuan di zaman dulu maupun sekarang, jika ada kesempatan untuk bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, pasti mereka mau. Walaupun ada yang beruntung dan tidak. Yang menyedihkan itu ya persepektif orang-orang yang masih berpikir untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi. Sehingga itu sangat menghambat perempuan untuk bisa pintar, dan malangnya yang berpikiran seperti itu biasanya di lingkungan orang-orang terdekat.
Perempuan itu punya tugas berat, selain bisa memasak dan urusan di dapur, juga harus mendidik anak-anaknya. Kalau perempuan punya bekal pendidikan yang baik, kenapa enggak? Bukannya itu juga bisa membuat perempuan tersebut mampu mendidik anak-anaknya lebih baik lagi.
Dari dulu, aku selalu ingin berdiskusi dan berkomunikasi dua arah dengan Paman kalau ketemu. Anehnya, beraninya juga berkirim lewat pesan elektronik, WAG, atau japri di WA. Kalau saja berani langsung ngomong, aku sekarang akan mulai bersuara! Kalau misal aku bertemu lagi dengan Paman, dan masih bisanya hanya nyindir-nyindir doang. Lihat saja.