16
Fajar terbangun di sepertiga malam. Selesai menjalankan salat Subuh, ia bersiap memakai baju dan sepatu olahraga. Dia sangat rindu menyaksikan matahari terbit. Lari pagi sepertinya akan menyegarkan badannya sambil sekalian hunting foto matahari terbit.
Mamanya menamainya Fajar, kerena menurut cerita beliau, ketika hamil senang berburu matahari terbit ditemani Papa. Saat fajar menyingsing, seolah dunia miliknya sendiri. Sambil tersenyum dan memegang tangan Papa, sangat erat. Mama akan menampilkan senyum terbaiknya saat bumi kembali disibukkan dengan aktivitas manusia yang mulai menggeliat di mulai ketika pagi.
Saking senangnya melihat matahari muncul, Mama dan Papa selepas salat Subuh dan mengaji, mereka sering hunting tempat-tempat yang posisinya bisa melihat matahari menampilkan pesonanya untuk menyambut manusia kembali beraktivitas. Papa setia menemani Mama dengan berkendaraan roda empat, hanya demi membahagiakan istrinya. Mama sebelum hamil memang pecinta sunrise, entah kenapa ketika hamil, ngidamnya pengin lihat sunrise terus.
Meski tidak tiap hari cuaca cerah, ada kalanya mendung menyapa hingga membuat matahari enggan menyapa, tapi Mama selalu setia menanti pagi. Mama menyukai suara alam yang syahdu di pagi hari. Saat Mama mengajukan permintaan pada Papa, agar menamaiku Fajarilah, Papa tidak memprotes. Bagi Mama dan Papanya Fajar, kelak anaknya ingin tumbuh seperti fajar yang menyingsing di waktu pagi untuk menyambut datangnya hari.
Papanya sempat mengusulkan agar menamainya Fajar saja. Tapi mamanya keukeuh, maunya Fajarilah, katanya biar bisa menerangilah, itu doa yang Mama sematkan untuk Fajar. Singkat dan padat. Di balik nama itu, ternyata ada wanita yang sangat dicintai dan dihormati Fajar, dan sangat mencintai keindahan alam Sang Maha Pencipta.
Dan kini, Fajar mewarisi kecintaan Mamanya pada sunrise. Maka, di mana pun dia berada, dia akan berburu sunrise.
Setelah empat puluh lima menit berlari, Fajar yang berbalut kaos warna biru, duduk di bangku sebuah taman, istirahat sambil menunggu momen yang ditunggunya.
Peluhnya bercucuran, dia melap dengan handuk sambil menyandarkan punggung pada bangku. Pagi itu masih sedikit orang yang dilihatnya.
***
Selepas Subuh, aku mengayuh sepedaku, karena ingin menghirup udara pagi hari sambil bersepeda. Beruntungnya tinggal di Tokyo, meskipun berada di kota terbesar negeri sakura ini, aku tidak perlu khawatir kehilangan hobi bersepedaku, karena ada banyak trek sepeda yang disediakan dan dikelola dengan baik.
Angin sejuk menembus kulitku. Kukayuh sepeda pelan, aku benar-benar ingin melepas penat dengan menggowes sepeda kesayanganku. Tak lupa, aku bawa perbekalan. Aku ingin bersepeda sampai siang, dan akan rehat sejenak di taman-taman yang kutemui.
“Wah sebentar lagi, matahari akan terbit,” pekikku girang. Jarang-jarang bisa melihat mahatari terbit di pagi hari. Sepertinya ini kesempatan bagus untuk berhenti sejenak di taman sambil duduk di bangku, gumamku.
Aku menyandarkan sepeda di tempat parkir khusus sepeda yang sudah disediakan. Kulangkahkan kaki dengan semangat. Tadinya, aku akan duduk di bangku dengan beratapkan pohon rindang, yang sering aku tempati jika berkunjung ke taman ini.
Sementara matahari sudah perlahan-lahan menampilkan senyumnya. Semburat jingga nan lembut per lahan-lahan menampilkan tabir surya yang sangat elok.
Dan bangku yang kutuju, ternyata sudah ada yang mendahului. Ada seorang pria yang duduk dan tersenyum takjub memandang keindahan alam yang ditampilkan pada pagi hari yang indah itu. Langit tampak cerah bercahaya seakan bersorak menyaksikan dua insan yang saling mengenal tapi sibuk dengan penampakan matahari terbit yang menyapa mereka.
Ada beberapa orang yang berlalu lalang jalan kaki di sekitar taman. Tapi yang duduk hanya seorang pria, dan aku seakan mematung di samping pria itu. Aku tersihir oleh pesona keindahan saat matahari menyapa dunia. Sejatinya, di taman itu hanya ada kami berdua.
Entah aku tersihir oleh pemandangan yang baru saja aku saksikan, atau tersihir oleh penampakan pria yang begitu takjubnya menikmati pesona mentari menyapa bumi, dan baru pertama kali kutemukan pria seperti itu. Atau bisa jadi aku tersihir oleh keduanya. Sungguh pengalaman yang magis, pikirku.
Fajar, sempat memotret momen itu dengan kameranya. Puas menikmati, ia akan beranjak berdiri dan kembali berlari. Namun, saat melirik ke sisi kiri dan kanan hanya ingin melihat suasana di sekitarnya. Penglihatannya menangkap sesuatu yang sepertinya ia kenal. Seorang wanita yang sedang menikmati hal yang sama dengannya. Dia berdiri mematung tanpa menyadari sekelilingnya.
“Klik, klik, klik,” beberapa jepretan kamera mengabadikan momen makhluk indah yang kini berdiri beberapa ratus meter di sebelah kanan bangku yang didudukinya.
“Assalamualaikum, Senja,” Fajar mengucapkan salam padaku.
Yang diberikan salam, mukanya langsung pucat seperti baru saja melihat hantu.