17
Fajar memperlambat larinya. Kini tidak seperti lari, melainkan melangkah lebih cepat. Aku mengayuh sepedaku pelan. Cuaca cerah, serta udara sejuk menemani perjalanan kami.
“Minggu depan, kamu ada waktu kosong, gak?”
Aku menggelengkan kepala. “Sebenarnya minggu ini aku lagi lagi padat, sama dengan minggu depan. Hanya saja lagi penat, makanya aku refreshing. Pengin keliling sepedaan.”
“Perempuan kalau lagi penat biasanya belanja sampai kalap,” Fajar asal menebak.
“Bagi sebagian perempuan iya, tapi tidak semuanya begitu. Aku kalau belanja pas lagi penat yang ada gak bakal dapat barang yang sesuai seleraku.”
“Aku lupa, kamu berbeda dari perempuan pada umumnya.” Fajar nyengir.
Aku tidak meladeni keusilannya. Pandanganku terus fokus ke depan. Fajar ada di belakangku.
“Senja, Senja, Senjaaaaaaaaaaaaa, nengok bentar dong, serius banget sih sepedaannya.” Fajar pura-pura ngambek.
“Apaan sih, macam anak kecil saja. Lagian kenapa Jar?” Dan tanpa sadar aku menengok sebentar ke arah Fajar. Meski hanya beberapa detik, efeknya sangat fatal. Aku tidak melihat ada belokan di depan.
Sepedaku oleng dan hilang keseimbangan. Brrruuuuk. Aku terjatuh.
Fajar niatnya mau bantuin aku menahan laju sepeda, malahan dia tertimpa aku dan sepedaku. Meski terlihat kesakitan, Fajar membantu aku berdiri dan memapahku. Kakiku memar dan terasa sakit sekali.
Aku dan Fajar sambil membawa sepeda, berjalan pelan menuju taman dan duduk di bangku-bangku panjang yang ada di taman tersebut.
Aku masih meringis menahan sakit.
“Senja, maafkan aku. Tidak seharusnya aku memanggil-manggil kamu.” Fajar benar-benar sangat menyesal dan tidak tega melihat aku yang kesakitan.
“Ya sudahlah, Jar. Kan gak sengaja juga. Aku bingung cara pulang bawa sepeda sementara kakiku cukup sakit, dan jarak dari sini ke rumah lumayan jauh.” Aku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.
“Kamu naik taksi saja,” Fajar mengusulkan.
“Sepedanya biar nanti aku bawa, aku minta alamat kamu saja.”
Kami sepakat bahwa rencana makan ramen hari itu dibatalkan.
Sebagai gantinya, karena Fajar mengantarkan sepeda, maka aku menawarkan makan dan minum untuk Fajar.
Entah mimpi apa semalam, hari itu bagi Fajar merupakan hari keberuntungannya. Lari pagi, menikmati matahari terbit, bertemu Senja di taman, jalan bareng, dan tadinya mau makan ramen bareng. Meskipun gak jadi, sebagai gantinya, dia bisa mampir ke rumah Senja tanpa ngumpet-ngumpet seperti tempo hari.
Selesai salat, Fajar duduk di meja makan sederhana.
“Senja, teman-teman kamu sering datang ke sini?” tanyanya penasaran.
“Dulu sering, Jar. Tapi beberapa bulan terakhir ini jarang. Soalnya aku juga jarang di rumah, kecuali untuk tidur. Seringnya kuhabiskan belajar di perpustakaan kalau selesai kelas. Sisanya aku ambil banyak kerja paruh waktu. Lumayan buat nambah uang jajan. Sekalian buat menyibukkan diri.”
Ups, aku terlalu bersemangat bicara, sampai lupa mengucapkan kata terakhir, batinku. Untunglah Fajar gak banyak nanya, aku lega.
Padahal Fajar benar-benar menyimak apa yang baru saja disampaikan olehku. Namun, ia tidak menyela apalagi bertanya, kupingnya hanya untuk mendengarkan saja.
“Jar, sebentar lagi Harumi sama Akira mau datang. Jadi aku sekalian masak cukup banyak. Tapi mereka telat, jadi kita makan duluan.” Ajakku.
“Loh, kok Akira gak ngabarin, ya?” tanya Fajar.
“Mungkin kejutan kali, Jar. Tahu sendiri kalian berdua itu sama-sama suka iseng,” candaku.
“Tadi Harumi telepon aku pas kamu lagi salat. Dia ngajak pergi. Aku bilang gak bisa, kakiku memar tadi terjatuh dari sepeda. Gak luka parah sih, tapi pengin istirahat saja di rumah. Terus sekalian saja aku ajak dia ke sini. Aku bilang ada Fajar. Rupanya si Akira dengar percakapan kita. Dia langsung nyambar aja, tanpa diajak. Lagian Akira sudah seperti teman baikku di sini, Jar. Kayak kamu juga,” aku menjelaskan pada Fajar.
“Baguslah kalau ada Akira ke sini, biar seru.” Fajar berbasa-basi, padahal dalam hati cukup dongkol. Tidak cukupkah dia membuatku merana jadi bulan-bulanan ledekannya, dia hanya bisa menggerutu dalam hati.
“Jar. Malah bengong. Ayo makan,” seruku.
“Eh Senja, ngomong-ngomong kamu kok bisa nyediain menu masakan Indonesia, ada nasi uduk, tempe orek, sama ayam goreng, kamu belanja di mana?”
“Aku biasa belanja di toko Indonesia atau toko Fatimah, di sana lengkap menjual makanan-makanan Indonesia. Bahkan kalau mau indomie berbagai rasa, aku gak pernah bawa dari Indonesia, cukup beli di salah satu dari kedua toko tersebut. Jangan bandingkan harganya dengan di Indonesia, karena itu gak adil. Aku sangat terbantu dengan kedua toko tersebut. Kalau super kangen dengan makanan, atau bahkan bumbu dan bahan dasar seperti tempe ini, aku bisa belanja di sana.”
“Aku juga suka belanja di toko itu, kok kita gak pernah ketemu ya? Terus aku sih belanjanya yang instan saja, biar gak repot masaknya” ungkap Fajar.