18
Hari itu pulang kuliah, aku sekalian mampir ke toko Indonesia Okubo, mau beli berbagai bumbu khas Indonesia dan beberapa camilan serta mie instan terenak di dunia menurut versi lidahku—indomie. Habis itu sekalian akan mampir ke Nasco Halal Food, mau beli ayam juga daging. Belanja untuk stok masakan seminggu ke depan.
Tinggal di negara bukan mayoritas muslim memang menuntutku untuk mengetahui tempat-tempat yang menjual bahan masakan halal, yang sudah ada sertifikat halal, sehingga aman dikomsumsi. Beruntung, aku telah menemukan tempat langganan untuk belanja.
Hari itu aku pulang lebih awal. Aku baru sadar bahwa kapan-kapan akan mengajak Fajar belanja di tempat tersebut. Kali ini aku akan ajak dia ke salah satu toko yang menjual aneka bumbu dan makanan dari negeri tercinta. Berikutnya ke toko Fatimah.
Baru saja akan mengetik pesan, ternyata ada seseorang yang menyapa. Dari suaranya aku sudah bisa menebak. Panjang umur nih anak, gumamku yang hari itu memakai baju warna hitam dipadu dengan jilbab warna merah muda.
“Haii, Senja. Masih ada kelas gak?” tanya Fajar.
“Enggak. Ini mau pulang. Terus mau mampir belanja ke toko yang pernah aku bilang ke kamu tempo hari. Masih ada kelas, Jar?”
“Enggak, ini mau cari buku referensi buat ngerjain tugas di perpustakaan.”
“Eh, tunggu, tunggu, aku boleh sekalian ikut, gak? Fajar berubah pikiran.
“Loh, katanya mau ke perpus?”
“Mmmmm gak jadi deh. Mau ikut kamu saja.” Buru-buru Fajar mengintil di belakangku.
“Ya, sudah. Yuk!” aku dan Fajar pergi bareng.
Sesampainya di toko, ada beberapa bumbu yang dicari stoknya sudah habis. Terpaksa aku bilang Fajar akan pergi ke toko Fatimah, dan dia pun masih ikut menemaniku.
Di toko kedua yang aku kunjungi hari itu, aku bersorak riang, bumbu-bumbu yang kuinginkan tersedia komplit, bahkan sekalian juga beli tempe, dan makanan-makanan dari tanah air. Baru kali ini aku kalap belanja. Sepertinya mood memasakku sedang bagus setelah masakanku di puji oleh Harumi, Fajar juga Akira.
Fajar sampai terbengong-bengong lihat keranjang belanjaanku.