19
Toshio mendapatkan kejutan dari Akira, Hideki, Yusihiro dan tentu saja Fajar. Kado ulang tahun berupa jaket dan kue tart. Mereka berempat sengaja mendatangi rumah yang ditinggali pria dengan gaya rambut yang selalu menutupi jidatnya—khas anak-anak muda di Jepang pada umumnya.
Tepat pukul dua balas malam, rumahnya ramai oleh sahabatnya. Padahal baru saja ia ingin merebahkan tubuhnya. Tahu-tahu telepon berdering dan menyampaikan kabar mereka sudah di depan pintu.
Setelah meniup lilin, Akira mencomot kue dan memoleskannya ke wajah Toshio dan diikuti oleh keempat sahabatnya. Habis itu mereka berlima duduk di ruang tengah dan makan kue. Tak ada rasa kantuk yang ada canda tawa menghiasi pertemuan lima sahabat ini.
“Terima kasih buat kejutannya, Guys.” Toshio menyampaikannya dengan penuh haru. Baginya, keempat sahabatnya adalah saudara di kota terbesar di Jepang ini. Hidup merantau demi kuliah dan mendapatkan pendidikan terbaik, jauh dari orang tua dan juga keluarga.
“Tos, laper banget nih,” ujar Fajar. Demi suksesnya acara kejutan ini, dia sibuk berbelanja dan mengumpulkan sahabat-sahabatnya sampai lupa makan.
“Bro, belum makan nih.” Wajahnya memelas, seperti gak makan selama seminggu.
“Woy, Bro, tumben banget khilaf sama makan malam,” ledek Akira. Sahabatnya yang satu ini memang doyan makan, justru bingung kalau sampai melihatnya belum makan.
Toshio menyodorkan camilan.
“Itu gak nendang, Bro,” protes Fajar.
“Tos, kamu punya makanan macam ramen instan?” Hideki memberi ide, ia paham kalau salah satu sahabatnya ini mendingan dikasih makanan berat sekalian.
“Hehehe.” Nah, semacam itulah Toshio.” Fajar semringah mendapatkan ide dari Hideki.
“Kamu ambil saja di lemari persediaan makananku,” ujar Toshio.
“Ok, Bro, yang lain ada yang mau ramen gak?
Semuanya kompak menjawab, “Mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.”
Fajar hanya geleng-geleng kepala, “Tadi saja kalian kompak ngeledek aku, sekarang saja, huh aku yang masak!” gerutu Fajar yang kemudian ditertawakan sahabat-sahabatnya.
Malam itu Fajar menjadi koki di rumah Toshio, memasak ichiran ramen no pork. Semenjak bersahabat dengan Fajar, sahabat-sahabatnya sudah tahu bahwa Fajar hanya makan berbagai makanan halal. Sehingga mereka selalu punya stok halal food, jika sewaktu-waktu kumpul di salah satu rumah lima sekawan. Tidak banyak, hanya untuk satu orang sahabatnya saja.
Sejak sering makan bareng berlima, ketua geng selalu menjelaskan bahwa ia tidak bisa memakan semua jenis makanan, karena sebagai muslim dia hanya diperbolehkan untuk memakan makanan halal saja. Bertahun-tahun mereka berteman, sudah tahu kebiasaan tersebut.
Mereka berlima kemudian menyantap ramen dengan lahap.
“Guys, untuk merayakan ulang tahunku, gimana kalau hari Sabtu aku traktir kalian main ke USJ di Osaka, kita one day trip saja, gak usah nginap,” ajak Toshio.
“Wah, seru juga tuh! Aku sudah lama gak main ke sana,” sahut Yusihiro.
“Iya, kangen banget nih main di USJ,” sambung Akira.
“Aku juga, duh kangen naik wahana-wahana yang menantang,” Hideki menambahkan.
“Aku belum pernah main ke USJ,” ungkap Fajar.
“Ajak Senja sama Harumi juga, gimana?” usul Toshio.
“Eh, iya, hitung-hitung pemanasan sebelum kita berangkat liburan bareng,” Hideki menambahkan.
Kali ini Akira dan Fajar tidak berkomentar apa pun, karena yang punya acara adalah Toshio.
“Aku hubungi mereka berdua deh,” ucap Toshio penuh semangat.
Keesokan harinya, Toshio menelpon Harumi, kemudian aku. Tentu saja aku dan Harumi setuju untuk ikut bergabung.
***
Seminggu kemudian, pagi-pagi buta, kami telah berangkat dengan kereta dari Tokyo ke Osaka.
Pukul delapan pagi, kami sudah baris dalam antrean masuk. Tiket sudah dibeli online beberapa hari lalu oleh sang empunya acara.
Meskipun sudah memasuki musim dingin di akhir bulan Desember, hari itu cuaca cerah menyambut kedatangan kami.
Begitu taman bermain tersebut di buka dan setelah diperiksa tiketnya, mereka tidak perlu mengantre lama, dan setelah itu bisa menikmati semua permainan yang ada di sana.
Toshio, Akira, Hideki, Yusihiro dan Harumi sudah pernah beberapa kali datang ke Universal Studio Japan. Sementara Fajar dan aku, baru perdana mengunjungi tempat tersebut.
Sebelum memasuki berbagai wahana, Akira mengomando kami untuk mengambil brosur tentang peta USJ, saking luasnya kalau tidak tahu tempat yang dituju, maka hanya akan buang-buang waktu saja. Lebih praktis lihat peta dalam brosur, tentukan wahana apa yang ingin pertama kali dikunjungi, setelah itu langsung menuju lokasi—Hideki mengingatkan rombongan.
“Selain Senja dan Fajar, kalian sudah berapa kali datang ke tempat ini?” Toshio penasaran.
“Aku yang kelima kali,” ucap Akira.
“Aku baru tiga kali,” susul Harumi.
“Kalau aku baru tiga kali juga,” tambah Yusihiro.
“Nah kalau aku, ini yang ketujuh kalinya,” tutup Hideki.
Semua temannya langsung terganga, tidak menyangka, kemudian mereka tepuk tangan salut dengan Hideki yang ternyata suka banget main ke taman bermain.
“Sayangnya aku baru yang kedua kali,” ucap Toshio.
“Kalau gitu, biar Hideki saja yang menjadi guide kita selama main di sini,” Toshio mengusulkan.
“Kan ini acara merayakan ulang tahunnya kamu, Toshio. Seharusnya kamu yang menjadi guide-nya,” protes Hideki tak terima begitu saja usul dari sahabatnya.
“Iya, ini memang acaraku. Tapi tidak ada hubungannya dengan siapa yang menjadi guide harus orang yang punya acara. Kupikir kamu jauh lebih tahu tempat ini ketimbang kami. Biar kita bisa main banyak, tolong jadi guide kami, ya, onegaishimasu[1]” pinta Toshio.
“Baiklah, kalau kamu yang meminta.” Hideki pun menyetujui.
Selagi mereka berdiskusi, aku membuka peta dan seketika ternganga.
“Meccha hiroi.”[2] ujarku.
“Iya, memang luas banget Senja.” ujar Harumi.
Kini Hideki mengambil komando. Pagi itu memang sudah banyak pengunjung yang datang.
“Ikou.”[3] Ajak Hideki.
“Kalian suka Harry Potter, gak?” tanya Hideki.
“Sukkkkkkaaaaaaaaa.” Semuanya kompak satu suara.
“Ok kalau gitu, wahana pertama dan penutup kita jatuhkan pilihan pada The Wizarding World of Harry Potter.”
Kami bertujuh dengan langkah penuh semangat menuju wahana tersebut. Siapa pun yang menyukai buku serial Harry Potter, pasti memimpikan untuk datang ke wahana tersebut.
Fajar melirik ke arahku. Wajahku tampak segar, dia belum pernah melihat aku sesemangat ini. Bahkan kalau diingat-ingat, dia sering melihat aku sedang dalam wajah sedu.
Memasuki desa Hogsmeade, musik khas film Harry Potter sudah menggema. Menambah semangat derap langkah ke tujuh anak muda ini.
“Huwaaa, lihat itu kan mobil yang dipakai Harry Potter sama Ron.” Tunjukku, heboh.
Mereka berenam langsung melirikku, dan tertawa.
Aku tersipu malu.
“Ini belum seberapa Senja,” bisik Hideki.
“Senja, sini aku fotoin.” Fajar tanpa diminta langsung menawarkan diri.
Mataku langsung membesar, “Hore, arigatou, Jar.”
“Harumi, sini kita foto bareng,” ajakku.
“Nanti saja, Nad. Di dalam sana masih banyak loh tempat-tempat yang kece untuk foto bareng.” Harumi menolak saat kuajak foto bersama.
Akira kemudian bilang, “Jar, sana kamu foto bareng Senja. Kalian kan, baru pertama kali datang ke sini.”
“Eh iya, Jar. Sini gantian aku fotoin.” Aku sampai lupa menawarkan diri untuk gantian foto.
“Gak usah Senja, sini biar aku yang fotoin.” Akira langsung mengambil paksa kamera dari tangan Fajar.
Aku dan Fajar berfoto di samping kiri dan kanan mobil yang legendaris ini. Siapa pun pecinta serial yang bukunya terjual ratusan juta eksamplar ini dan menonton filmnya, datang ke wahana tersebut seakan bernostalgia dengan film dan buku.
Tak lama kemudian, kami memasuki desa Hogsmeade, dan di sebelah kanannya langsung di sambut kereta api legendaris Hogwars Express.
“Guys, welcome to Hogsmeade village.” Hideki mengucapkan selamat datang bak seorang pemandu profesional pada keenam kawannya. Di tempat itu kami bertujuh wefie bareng, agar kelak selalu mengingat momen itu.
Seakan paham melihat aku yang terpesona dengan wahana tersebut, Hideki langsung mengerti kalau sebaiknya ia bergerak cepat mengajak mereka ke tempat utamanya.
“Guys, biar kita bisa main sepuasnya dan mumpung belum terlalu ramai oleh pengunjung, kita gak usah terlalu lama di area desa ini, habis naik wahananya baru deh kita main di sini. Kita langsung menuju Hogwarts, ya.” Hideki berjalan memimpin di depan.
Pandanganku menyapu tempat yang dilewati, membuatku ingin sekali mampir ke toko-toko dan restoran yang ada di samping kiri dan kanannya.
“Huwaaaaaaaaaa, akhirnya …..” Aku tak lagi bisa menyembunyikan kegembiraanku.
“Tadaaaa, ini dia kastil Hogwarts!” sambut Hideki yang terus memandu.
Meskipun kelima teman-teman Jepang-ku sudah pernah ke sini, mereka tidak mentertawakan ulahku yang hampir setiap sudut minta difoto.