20
Seminggu berlalu, saat Fajar pergi rame-rame untuk pertama kali dengan aku dan Geram, membuat pikirannya sesak dipenuhi kenangan.
Selalu ada nama itu setiap kali dia menutup mata dan saat terbangun. Dia gelisah memikirkan wanita itu. Nalurinya seakan tidak dapat dibohongi.
Kegelisahan yang tak beralasan memang selalu menyesakkan dada. Batas keingintahuan dengan menghormati privasi orang seakan membentur keegoisannya, betapa Fajar terus risau.
Beruntung tugas-tugas kuliah menyelamatkannya dan tenggelam dalam kesibukan. Sedikit demi sedikit pikiran itu bisa teralihkan.
***
Semalam Fajar mengingatkan lewat pesan di Line, saat aku sedang memasak rendang dan opor pesanannya tempo hari. Besok pagi makanan tersebut sudah bisa diambilnya.
Sayangnya, besok pagi Fajar sudah janjian dengan teman-temannya untuk main sepak bola, di dekat taman yang tidak jauh dari lokasi dia tinggal.
Fajar akan mengabari aku jika dia selesai main dengan gengnya. Seminggu tidak bertemu, dia berharap kedatangannya ke rumahku bisa mengobati rindu yang terpendam di dasar hatinya.
Urusan cinta, dia tidak bisa menjanjikan apa pun. Maka untuk saat ini, biar Tuhan yang tahu, bahwa benih-benih cinta itu telah tumbuh. Meski Fajar belum memastikan statusku.
Fajar enggan bertanya hal yang bukan urusannya. Tapi cepat atau lambat, semoga semesta berpihak padanya untuk mengungkap rahasia tersebut.
***
Di tengah kesibukan kuliah, aku masih punya hutang atas kesediaanku untuk memasak masakan pesanan Fajar. Tadinya aku akan memasak hari minggu pagi, tapi aku takut tidak sempat karena semakin sibuk dengan tugas, serta ujian di depan mata.
Geliat memasakku kini semakin membaik. Senang mencoba resep-resep baru dan kembali memasak menu lama yang sudah kukuasai, tentu mengandalkan bahan seadanya, dengan kreasiku.
Baiklah, yang penting aku memasak malam ini. Setelah dingin, tinggal masukin kulkas, dan terserah Fajar kapan pun dia bisa mengambil pesanannya atau bisa kubawa sekalian pas ada jadwal kuliah. Itu lebih praktis, pikirku.
Tapi ternyata Fajar tetap akan mengambilnya besok setelah dia selesai main. Sementara aku akan pergi. Kuharap dia datang setelah aku ada di rumah. Besok, aku benar-benar perlu waktu sendiri.
***
Akira, Hideki, Yusihiro, Toshio, dan Fajar bergabung. Mereka bermain sangat seru. Saling berebut bola. Skor yang mereka peroleh juga beda tipis.
Di sela-sela waktu luang, saat berkumpul di luar mengerjakan tugas, mereka senang pergi berolahraga. Mulai dari sepok bola, basket, hingga ping pong, saling berganti permainan di setiap pertemuan kumpul kangen yang mereka adakan tiap beberapa minggu sekali. Terkadang mereka sepedaan bareng. Kecuali lari pagi, keempat sahabatnya selalu kompak menolak. Kurang suka—itu alasan yang dikemukakan.
Sementara bagi Fajar, lari pagi merupakan salah satu cara agar dia bisa berolahaga sambil menyaksikan momen yang paling ditunggunya: melihat sang fajar terbit untuk menyinari dunia.
“Guys, habis main bola. Main ke rumahku, yuk.” ajak Akira.
Kecuali Fajar, ketiga sahabatnya malah menyanggupi. Lagi pula mereka tidak ada rencana lain, selain mengerjakan tugas dan minggu depan mulai sibuk dengan ujian.
“Kamu, ikut kan, Jar?”
“Guys, kali ini aku gak bisa gabung, maaf ya,” Fajar menyesal tidak bisa ikut, tapi dia juga tidak bilang akan pergi ke mana.
Mereka berempat tidak berkomentar apa pun dan tetap dengan rencana semula untuk melanjutkan hari dengan menghabiskan waktu bersama di rumah Akira.
Terlanjur bilang kalau hari ini akan membawa pesanan makanan, Fajar terpaksa tidak ikut dengan mereka.
Setelah berpamitan, mereka berempat naik kereta ke rumah Akira. Sementara Fajar naik kereta berbeda arah.
***
Semalam aku menelepon Ibu, ternyata beliau sedang sakit. Aku mengetahui kabar tersebut dari Jingga, adikku. Oh Ibu, kenapa tidak pernah bercerita tentang keadaanmu, pikirku.