21
Fajar merasa senang sekali bisa menikmati waktu bersamaku di tempat seindah ini. Sebenarnya Fajar sedang berhitung, untuk menanyakan sesuatu. Tapi kalau Fajar tanya langsung, rasanya tidak etis.
Mungkin ini pertanyaan mudah bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi Fajar. Sejak hidup di negeri rantau, dia membiasakan dengan budaya dan kebiasaan di sini, di mana urusan pribadi bukan ranah urusannya. Bukan dia tidak berani. Ini hanya soal dia menghormati hal-hal pribadi yang tidak sepantasnya ditanyakan.
Selama kami berteman, kami tidak membicarakan masalah dan urusan pribadi, Fajar tidak terbiasa.
“Hey, kok bengong, Jar. Kekenyangan, apa masih lapar?” Aku membangunkan lamunan Fajar.
“Iya. Aku tersihir sama makananmu. Jangan-jangan kamu mencampurkan bumbu-bumbu aneh yang membuatku jadi kayak orang kerasukan,” gurau Fajar.
Aku tertawa lepas. Fajar pandai sekali membuat suasana hatiku hangat dan ceria.
“Aku gak nyangka loh, kalau kamu jago masak. Rata-rata teman perempuanku jarang yang suka masak. Sejak kapan kamu belajar masak?” Fajar terlihat penasaran.
“O, ya?” jawabku kaget.
“Sejak kecil aku terbiasa memasak dan mengurus diri sendiri.”
“Ibu bilang, setinggi apa pun pendidikan seorang perempuan, tetap saja harus pandai urusan dapur dan memasak. Suami akan senang apabila dimasakin oleh istrinya.”
“Maka Ibu selalu mencontohkan padaku. Beliau mengajari aku memasak, sambil menyajikan menu masakan untuk Bapak.”
“Ibu dan Bapak tidak melarangku untuk memiliki pendidikan yang tinggi. Mereka membebaskan anak-anaknya mengenyam pendidikan yang baik. Sebab ketika memiliki anak, tentu saja alangkah lebih baik jika ibunya juga mempersiapkan diri dengan memiliki pendidikan yang baik, agar anak-anaknya memiliki Ibu yang bisa menjadi teman diskusi ketika mereka menemukan kesulitan-kesulitan dalam memahami pelajaran di sekolah. Seorang Ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya, sebelum nanti mereka sekolah di tempat formal.”
“Tapi, Ibu dan Bapak mengajariku untuk bisa memasak. Mereka berdua juga jago memasak. Aku banyak belajar dari mereka.”
Fajar menyimak dengan serius. Dihati kecilnya, dia salut kepada wanita yang ada di sampingnya ini. Selain pintar dalam urusan akademis juga pintar dalam urusan dapur.
“Makanya, aku heran banget sama orang yang bilang, buat apa pendidikan tinggi, toh perempuan itu ujung-ujungnya ke dapur juga?”
“Memangnya salah kalau perempuan berpendidikan tinggi, Jar?” kini aku meminta pendapat Fajar.
“Sebenarnya menurutku gak salah, Senja. Yang salah adalah orang yang punya pemahaman seperti itu. Perempuan punya pendidikan tinggi itu baik, kan dia juga akan mendidik anak-anaknya. Dan lebih keren lagi kalau juga bisa memasak, bukankah nanti anak-anaknya dan suaminya senang bila dimasakin oleh wanita yang amat dicintainya? Bukan mengandalkan jasa asisten rumah tangga. Iya, kalau punya. Kalau tidak? Kan berabe juga kalau harus membeli masakan setiap hari. Iya kalau tinggal di Indonesia, yang tidak mahal menyewa jasa asisten rumah tangga. Beda dengan hidup di luar negeri seperti kita ini, yang apa-apa mengurus sendiri. Mengandalkan diri sendiri.”
Aku senang mendengar pendapat Fajar, dia seakan sefrekuensi denganku.
“Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan jika ada perempuan yang tidak bisa memasak, Jar. Karena urusan memasak bukan perkara mudah kalau tidak terbiasa atau tidak suka. Semua juga butuh latihan. Dan untuk menghasilkan masakan yang lezat, tentu saja butuh latihan yang tidak cukup sekali dua kali, melainkan berkali-kali, bisa puluhan, bahkan ratusan kali.”
“Wah, jadi kamu tidak memandang bahwa setiap perempuan harus bisa masak, dong?” Fajar memastikan.
“Yah, gak harus lah. Coba bayangkan, Jar. Kalau kita lahir dari orang yang kaya raya banget, terus dari bayi sudah biasa apa-apa disediakan, makan tinggal makan karena ada pelayan. Kalau gak bisa masak, memang salah kita?”
“Ya, enggaklah. Aku bisa masak, mungkin karena orang tuaku yang mengajarkanku. Orang tuaku yang mendidikku untuk memiliki keahlian tersebut. Gak harus jago masak, minimal bisa. Itu saja sudah cukup. Kan tidak semua anak punya kesempatan diajarkan memasak oleh kedua orang tuanya. Tapi kalau pun tidak diajarkan, sebenarnya bisa belajar sendiri.” Entah kenapa, aku senang sekali membicarakan topik seperti ini, dan Fajar tidak berusaha mencela, dia benar-benar mendengarkanku.
“Iya juga, sih. Aku pribadi tidak pernah mempermasalahkan apakah wanita itu bisa masak atau tidak. Tapi karena dari kecil aku terbiasa dimasakin ibuku, dan menurutku masakan terenak di dunia adalah masakan rumahan yang dimasak ibuku. Ngomong-ngomong, siapa pun kelak yang akan jadi suami kamu, pasti dia beruntung banget punya istri yang jago masak kayak kamu.” Fajar melirik ke arahku sambil tersenyum penuh penghargaan. Tak ada maksud apa pun. Hanya mengutarakan pendapat.
Kini Fajar terkesiap, melihat perubahan wajahku. Tadinya seperti awan cerah biru mempesona, kini berubah menjadi awan gelap dan mendung. Seketika dia merasa bersalah, takut ada kata-kata yang telah menyinggung perasaanku.
Untuk sepersekian detik, seperti ada jeda di antara kita.
Andai saja pendapat Fajar benar, mungkin tak seharusnya aku dicampakkan begini oleh Dika. Tidak ada hubungan perempuan jago masak dengan jodoh. Bahkan aku sendiri tidak tahu akankah kelak suamiku merasa beruntung jika aku bisa memasak? Aku kembali teringat betapa sakit akibat patah hati ini masih membekas, dan lukanya belum kering.
“Hey, kok bengong. Ada yang salah dengan ucapanku, ya?” Fajar membuyarkan lamunanku dengan nasa sesal.
“Maaf, Jar,” ucapku lirih, gak sadar kalau aku sempat bengong.
“Pertanyaan kamu sama sekali gak salah. Aku hanya tidak percaya apakah nanti suamiku akan merasa beruntung jika aku bisa masak?” kali ini aku tidak bisa menyembuyikan rasa sedih dihadapan Fajar.
“Kok bisa kamu berpikir begitu?” sergah Fajar, seakan tak percaya dan kaget dengan apa yang baru saja kukatakan.
“Soalnya, pas acara lamaranku, aku bantu ibuku memasak. Bahkan ada beberapa menu, aku yang memasak. Saat kami makan bersama, tak ada komentar apa pun dari calonku saat itu. Kupikir dia tidak memprioritaskan bahwa perempuan harus bisa memasak.”
Deg! Jantung Fajar seakan berhenti berdetak. Mendengar kata lamaran membuat hatinya seperti teriris pisau tajam, sakit sekali. Ternyata dia sudah bertunangan, kalau begitu sebentar lagi nikah. Bisik Fajar dalam hati dan seketika terdiam mematung, rasanya tak ingin melanjutkan obrolan lagi.
Tapi aku melanjutkan pembicaraan dan tidak peka dengan perubahan bahasa tubuhnya. Fajar saat itu juga ingin menutup kupingnya, dia takut akan mendengar cerita bahagia tentang kisah asmara aku dengan pasanganku.
“Syukurlah calonku tidak komentar. Sehingga habis dicampakkan, aku tetap senang memasak. Andai saja dia memujiku kalau aku jago masak, bisa jadi aku bakalan malas memasak lagi.” Aku tanpa sadar mengungkapkan kekesalanku dihadapan Fajar.
Kali ini ekspresi Fajar terlihat sedih, melihat aku tertawa, lebih tepatnya mentertawakan diriku sendiri.
Hey, hey, apakah dia tidak salah dengar. Dicampakkan? Kok bisa? Pikiran Fajar bergemuruh oleh rasa senang yang kembali menguap, setelah beberapa detik sebelumnya dadanya terasa sesak. Dia terus mendengarkan, tidak memotong pembicaraan.
“Begitulah, Jar. Aku tidak merasa bangga karena aku bisa memasak. Itu hanya sedikit kemampuan kecil yang kupunya, tapi tidak dijadikan sebagai sebuah kebanggaan. Bisa masak atau tidak, tidak ada hubungan bahwa pria akan suka dengan aku. Kalau memang dasarnya suka, bahkan pria akan tetap mencintai, meskipun wanita yang dicintainya tidak bisa memasak.” Aku menghela napas sambil tersenyum ke arah Fajar. Kasian dia harus mendengar cerita kalau aku pernah dicampakkan pria.
Setelah itu, aku melihat bukuku yang tak beranjak halamannya. Sejak kemunculan Fajar, aku larut dalam obrolan. Tak biasanya aku bisa seterbuka ini tentang urusan pribadiku. Aku menggigit bibirku, menyesal harus bilang pada Fajar tentang kegagalanku ini.
“Berarti seseorang yang mencampakkan kamu, dia tidak tahu betapa spesialnya kamu.” Fajar berusaha menghiburku, meski dia tidak tahu apakah yang kuucapkannya ini bisa menguatkanku atau tidak. “Aku heran, bagaimana bisa kamu dicampakkan oleh calon kamu?”