23
Sudah beberapa hari ini Fajar kurang tidur. Mengerjakan tugas kuliah, dan juga kerjaan sambilan. Mengedit video membutuhkan waktu yang tidak sedikit serta butuh kejelian, agar hasilnya memuaskan klien.
Semua tugas dan kerjaan masih bisa ditanganinya. Meskipun sangat menyita waktu dan jarang bermain dengan Geram, paling sesekali mereka yang mampir ke rumahnya.
Entah apa jadinya kalau dia tidak mengenal keempat sahabatnya. Dia pasti merasa kesepian. Tidak mudah memiliki teman dekat dengan orang Jepang. Bahkan ketika awal-awal kuliah, dari semua mahasiswa di dalam kelas, dia hanya mengenal beberapa orang saja. Anehnya, begitu di luar kelas kemudian dia bertemu mereka, ketika Fajar bilang “Haiii” pun mereka seperti tidak mengenalnya. Perbedaan budaya ini cukup membuatnya kaget. Ketika di Indonesia, bisa dengan mudah mengenal teman. Bahkan satu kelas bisa sampai hafal semua nama dan sering menyapa. Sementara di sini tidak, hidup masing-masing saja.
Fajar merasa benar-benar beruntung dipertemukan dengan mereka berempat yang begitu seru, tidak terlalu tertutup seperti kebanyakan orang Jepang pada umumnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Kesibukan seolah tidak pernah berhenti dan memaksanya untuk terus melaju secepat yang dia bisa.
Fajar makin jarang tidur, hingga dia terkena tifus lagi. Kali ini cukup parah dari yang sebelumnya. Keempat sahabatnya, tanpa meminta persetujuan Fajar langsung membawa ke rumah sakit, karena dia harus diinfus. Satu per satu sahabatnya bergantian menunggu.
Kabar Fajar sedang sakit sampai ke telingaku. Akira yang cerita pada kakaknya. Dan tentu saja Harumi menceritakannya padaku.
Di Sabtu siang, ketika jam besuk tiba, aku dan Harumi menjenguk Fajar. Aku membawakan bubur ayam, hasil kreasiku.
Kulihat tubuhnya masih lemas sekali, dan Akira sedang menemaninya, sementara ketiga sahabatnya giliran istirahat. Fajar tidak banyak bicara.
“Woy, Bro. Bengong saja, dijenguk Senja.” Akira mulai menggoda Fajar.
“Jar, dimakan ya makanannya. Semoga kamu cepat sembuh,” ujarku sambil senyum ke arahnya.
“Iya. Terima kasih Senja. Kamu sudah repot-repot masak.”
“Yaaaa, curang. Ini makanan cuma buat Fajar saja.” Akira memonyongkan mulut, karena aku hanya menyodorkan satu tempat saja untuk sahabatnya.
“Aku bawa lima tempat makanan, tapi kalau bubur ayam hanya satu. Kalian berempat kubuatkan nasi uduk. Tapi kok yang lain gak ada?” aku mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari yang lainnya.
“Nanti mereka datang lagi. Ya ampun, kamu baik sekali Senja.” Akira girang banget dapat nasi uduk buatanku.
“Nih Jar, kalau cari istri itu kayak gini. Rajin masak. Kamu kayaknya perlu orang yang ngurusin kamu deh.” Akira menggoda Fajar sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Akira, berisik banget. Habisin makanannya, kerjaannya hanya meledek temen kamu yang lagi terbaring lemah seperti itu.” Harumi menjewer kuping adiknya.
“Kak, Kaaaaaaak, lepasin dong. Ih apaan sih, Kak Harumi” gerutu Akira, sesaat dia kesal, tapi segera meluap begitu saja, saat fokus menikmati nasi uduk dengan ayam goreng, taburan goreng bawang, telor suwir, dan kerupuk.