25
Aku mulai terkantuk-kantuk di atas meja belajar, saat telepon berdering. Ternyata adikku yang menelepon.
Dia mengabari aku bahwa beberapa minggu lalu, Ibu sakit. Tapi dia dilarang memberitahu. Waktu menghadiri pernikahan sepupu kami, Paman Dimas menghampiri Ibu dan Bapak sambil menyindir-nyindir perihal kapan punya menantu, memangnnya gak mau gendong cucu. Masa kalah sama adiknya Ibu yang sudah menikahkan anaknya dan sebentar lagi akan menimang cucu.
Ngomongnya kayak pakai toa Kak, adu adikku dengan nada kesal setengah mati. Ibu dan Bapak tidak membalas apa-apa, mereka hanya tersenyum. Tadinya dia mau teriak, tapi ibu memegangi tangannya kencang sekali. Dia tahu, Ibu sedang menahan kepedihan yang dirasakannya sekaligus melarangnya bertingkah karena hanya akan memperburuk keadaan.
Tidak cukup hanya di situ, Paman Dimas juga bertamu ke rumah, dan ujung-ujungnya membahas kenapa Kakak belum menikah. Kenapa Bapak dan Ibu tidak memaksa Kakak menikah. Serta ikhtiar mencarikan jodoh untuk anak cikalnya.
Ibu tak berkata apa-apa, percuma bicara karena Paman selalu punya jawaban yang menurutnya lebih valid. Kali ini Bapak angkat bicara. Bilang kalau urusan jodoh, mereka sudah berusaha mencarikan, tapi yang namanya perasaan, mereka tidak mau memaksakan. Kalau anaknya sreg, mereka akan dukung, begitu pula sebaliknya, jika tidak sreg, tidak akan dipaksa.
Mendengar jawaban itu, Paman naik pitam. Terus menyalahkan Bapak dan Ibu yang tidak becus mendidik anak. “Aku malu punya keponakan yang sudah tua masih melajang.”
“Bagi kami, anak kami tidak tua. Toh dia belum pikun. Jaga bicaramu Bara. Tak seharusnya kamu selalu memojokkan dan menyalahkan anak kami. Lebih baik urus saja hidupmu dan keluargamu.” Ibu tak tahan lagi. Baru pertama kalinya adikku melihat Ibu semarah itu. Wanita yang lembut ini jarang marah, dan sekalinya marah, adikku merasakan kegetiran dan luka menyayat yang dirasakan Ibu.
Meskipun beberapa keluarga mencaci, menjauhi, dan merasa malu atas status Kakak. Bagi kami urusan belum menikah merupakan perihal yang sakral. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Masa ia kami harus memaksa. Menikah itu bukan hanya status yang tadinya single jadi double. Menikah itu jelas ibadah dan harus dibangun dari kesiapan mental dua mempelai.