26
Minggu ini aku berencana pergi dengan Erina, tapi dua hari yang lalu dia mengabarkan lewat telepon dan terpaksa membatalkan rencana untuk menemuiku sekaligus mengajak anak-anaknya liburan.
Erina sedih, anaknya sakit demam berdarah dan harus di rawat di rumah sakit. Aku memaklumi sekaligus mendoakan semoga anak bungsunya segera sehat. Aku menghibur sahabatku bahwa lain kali kami bisa atur waktu untuk ketemuan.
Maka jadwal yang sudah kurencanakan dari jauh-jauh hari bersama sahabatku dibatalkan. Hari ini aku hanya ingin di rumah saja. Membereskan rumah, menata ulang buku-buku, memasak, habis itu rebahan. Rencana yang sangat indah. Pas pula tugas-tugas kuliah sudah kutuntaskan.
Saat mengecek buku-buku yang mulai tak beraturan, aku tersadar makin jarang menghabiskan dua buku dalam seminggu. Bisa satu minggu satu buku saja sudah bersyukur. Selesai merapikan buku, kemudian aku makan sereal dicampur susu cair. Selesai makan, aku membaca buku. Ingin rasanya satu hari saja tidak usah memegang ponsel pintar, itu sudah aku rencanakan sejak jauh-jauh hari dan baru kali ini aku akan memulai.
Sejak bangun untuk salat Subuh, sang ponsel pintar sengaja kuaktifkan mode diam. Besok saat berangkat kuliah, aku akan kembali mengecek. Lagi pula aku bukan orang penting, tak akan ada yang mencari. Semalam aku juga sudah telepon Ibu, Bapak, dan adikku—orang-orang paling penting dalam hidupku. Kurasa mereka tidak akan mencariku. Teman-temanku? Mereka sudah punya rencana akhir pekan masing-masing. Kupikir ini saatnya waktu sendirian tanpa perlu bersentuhan dengan ponsel pintar. Akun media sosial, sengaja aku hapus dulu. Kapan-kapan kalau lagi kangen, baru aku unduh kembali.
Satu buku berjudul Kitchen karya Yoshimoto Banana telah kukhatamkan sore itu. Aku rindu sekali waktu-waktu sendiri dan hanya ditemani oleh buku-buku. Beberapa bulan belakangan ini, aku terlalu menyibukkan diri agar bisa menghibur diri. Aku tidak mau diam dalam keputusasaan setelah apa yang kualami cukup menguras energi, jiwa dan ragaku. Tapi itulah seni hidup. Tanpa menemukan hal-hal tersebut, duniaku tak kan seindah yang kubayangkan.
Menghadapi masalah dan menyelesaikan masalah merupakan hal yang dipersiapkan untuk melatih diri, agar sebenar-benarnya hati yang tabah dan kuat selalu siap menghadapi apa pun dalam kehidupan. Selama ini kadang aku lupa bahagia. Patah hati sudah sukses mencuri separuh semangatku, dan untuk itulah aku akan bangkit, bangkit, dan terus bangkit sehingga bisa mendapatkan apa yang sepantasnya kudapatkan. Meski prosesnya seringkali membutuhkan banyak energi. Dan energi-energi itu seolah tidak akan pernah habis jika dipelihara oleh rasa syukur.
Selesai baca, aku meraba keningku, ternyata hangat. Aku merasa kedinginan, dan sepertinya demam sedang menyerangku di akhir pekan yang indah ini.
Aku tidur lebih awal setelah menelan obat penghilang demam. Keesokan paginya badanku telah membaik.
Aku kemudian mengecek ponsel pintarku. Ada ratusan pesan dari grup keluarga besar, ada juga pesan di Line dari Harumi, juga Akira, mereka menanyakan padaku apakah bisa ketemuan. Bahkan sahabatku telepon berkali-kali tak diangkat. Mereka cemas memikirkan keadaanku.