27
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, begitu pun bulan dan tahun. Seiring berjalannya waktu yang tak mungkin bisa dihentikan. Aku coba terus berjalan mengikuti arah hidup yang seringkali di luar yang kuinginkan. Namun, bila ini sebuah ketetapan yang harus dijalankan. Maka aku hanya bisa berjalan melaluinya. Tanpa kompromi, terus berjalan saja.
Ketika orang-orang seusiaku sibuk mengurus rumah tangga, suami, anak, pekerjaan dan sebagainya. Sementara aku menjalani waktu dengan kesibukan yang berbeda dari mereka. Tanpa mengetahui kapan waktuku tiba. Aku tak mau berkeluh kesah, hanya membuang waktu. Tapi kusadari, bahwa terkadang sedih datang menghampiri.
Dulu aku sering cuek ketika melihat muda-mudi saling berpasangan, bergandengan tangan. Atau mama papa muda sedang seru-serunya bermain dengan anak yang tampak imut dan lucu. Kini aku mulai merasa sedikit terganggu. Harusnya aku berbahagia melihat mereka. Bukan malah meratapi kesedihan sekaligus penderitaan.
Setidaknya aku mendapat hikmah dari apa yang kualami. Ditinggalkan oleh kekasih hati yang sempat mengisi relung hati serta mimpi-mimpi masa depan. Datang untuk memberi harap, kemudian pergi untuk meninggalkan luka. Awalnya tidak mudah. Lama-lama jadi kerasan juga.
Dulu aku bertanya kenapa ini terjadi padaku? Kini aku mulai menata hati, walau bagaimana pun sisi lain yang kulihat dan kumengerti, mungkin Tuhan ingin aku memahami bahwa panggung kehidupan tidak selalu menyajikan kisah-kisah romantisme bak sinetron, drama atau bahkan film. Kenyataan bisa jadi jauh lebih menyakitkan, tapi bila kuatasi, hebatnya itu jugalah yang bisa menguatkan.
Aku beruntung memiliki orang tua yang luar biasa tulus menyayangiku. Meski kusadari, batin mereka terluka menerima perlakuan dari berbagai kalangan dengan status putrinya, juga minusnya kehadiran cucu yang seharusnya sudah waktunya menurut waktu dan perkiraan manusia, tapi tidak padaku. Aku harus menguatkan diriku agar orang tuaku tidak semakin menderita melihat aku sakit, dan seolah layu. Aku akan terus bersemangat menjalani kehidupanku—apa pun yang terjadi. Aku yakin, jodohku ada. Ini hanya soal waktu. Dan satu hal lagi yang perlu kusadari, dengan cara ini, aku belajar untuk tahu bagaimana posisi orang lain ketika mengalami waktunya nikah kemudian belum nikah. Lah memang nikah ada waktunya dan ditentukan oleh umur? Bagi sebagian orang iya, tapi bagi sebagian orang bisa jadi tidak.
Pikiranku makin berkecamuk. Salahku membiarkannya berkelana ke mana-mana tanpa tujuan.
“Dhuaaaaaar!” Seseorang mengagetkanku.
“Hei, bengong saja!!!” Ledek pemilik suara yang sudah kuhafal.
“Astagfirullah. Hei, kalau ngagetin itu gak usah kenceng-kenceng kali.” Aku masih kaget dan memegang dadaku yang serasa mau copot.
“Aduh Senja, ya ngelamun itu pada tempatnya dong. Masa mau belanja begini masih sempat-sempatnya melamun tidak karuan.” Sergahnya.
Kenapa aku harus ketemu anak ini di saat aku sedang bengong. Selalu saja. Kayaknya anak ini punya telepati, atau apa, ya. Bisa pas begini, ada saja ulahnya. Pakai acara ngagetin dan cengengesan pula.
Hari ini Fajar berencana akan borong makanan di Toko Indonesia di Okubo, yang sudah jadi tempat langganan untuk membeli aneka makanan yang akan mengobati rindu pada makanan Indonesia. Dan lima ratus meter sebelum sampai tujuan, dia melihatku jalan terus, seakan tidak ada orang di samping kiri dan kanan, makanya tadi iseng mengagetkanku.
“Wah, sekarang langganan toko ini rupanya nambah satu,” aku mencoba bergurau menyembunyikan kekagetan dan juga berusaha senormal mungkin agar Fajar tidak tanya macam-macam.
“Ya, begitulah, dari dulu sebenarnya, dan sekarang makin rajin belanja di sini. Semoga pemilik toko tidak menyesal bertambah satu pelanggan rakus kayak aku.” Fajar terkekeh.
“Yeeee, mana mungkin menyesal, palingan lama-lama jadi pelanggan kesayangan.”
“Benar juga ya. Hahaha.” Tawanya terdengar renyah.
“Kok bisa sehati gini kita pergi ke toko.”
“Bukan sehati, Jar. Palingan juga hanya kebetulan. Gak usah menghubungkan hal-hal yang gak berhubungan,” ujarku sambil menjulurkan lidah, lagi-lagi mencoba menutupi kekacauan pikiran yang baru beberapa saat menimpaku.
“Hehehe, iya. Kebetulan kali, ya. Walaupun sebetulnya aku tidak percaya yang namanya kebetulan.” Fajar menambahkan.
“Semoga sering-sering deh kebetulannya ketemu kamu di toko ini. Biar aku bisa intip isi belanjaan kamu apa saja,” gurau Fajar.
“Aku sedang tidak berselera masak, Jar. Palingan hanya beli beberapa makanan untuk persediaan seminggu ke depan.”
“Kalau gitu, kamu mesti nyobain masakanku sekali-kali. Siapa tahu selera makanmu kembali, habis itu jadi rajin masak lagi, ya. Biar aku bisa pesan lagi. Kumohon.” Dengan muka memelas penuh harap, Fajar memohon.
Melihat tampang Fajar seperti itu, tentu aku tak bisa menahan tawa. Pemuda itu paling bisa membuatku tertawa. Kapan saja di mana saja. Aku banyak berutang padanya—utang tawa yang sudah dia berikan percuma. Seharusnya bukan utang. Tapi aku merasa berutang atas kebaikan yang sudah diberikannya.
Tidak banyak orang yang bisa menghiburku, apalagi jika pikiranku carut marut bagai benang kusut. Dia seperti memiliki telepati, selalu muncul disaat-saat perasaanku sedang merasa buruk. Tuhan, terima kasih Engkau telah mengirimkan teman baik hati yang menghibur dan menerbitkan tawa ketika kabut hitam menutupiku. Dia memang bak fajar yang datang untuk menyinari bumi kala pagi mulai menyapa.
“Habis belanja, kamu mau ke mana?”
“Karena makanan yang kucari di toko ini stoknya lagi kosong, dan mumpung aku lagi sempat, aku mau jalan-jalan.”
“Boleh ikut, gak?”
“Boleh, Jar. Tapi kamu mau nenteng-nenteng belanjaanmu? Tanyaku sedikit keheranan melihat belanjaan Fajar yang cukup banyak.
“Memangnya kamu berencana jalan-jalan ke mana?” Fajar terlihat penasaran.
“Aku mau lihat sunset dari Tokyo Skytree.”
“Baiklah, aku titip belanjaanku di toko, aku kan sudah kenal dengan pemilik tokonya. Tunggu sebentar ya, aku masuk dulu.” Fajar bergegas masuk lagi ke toko.
Aku hanya mengangguk, dan menunggu Fajar. Setelah memastikan belanjaan Fajar dititipkan, kami mulai berjalan ke arah stasiun dan melanjutkan obrolan.
“Ngomong-ngomong kamu sering lihat sunset di sana?” Fajar semakin penasaran.
“Iya, aku senang melihat sunset dari atas ketinggian. Pas banget hari ini langit biru dan cuaca cerah, kurasa langit senjanya bakalan indah.”
“Apa kamu pernah ke sana?” aku menyelidik.
“Belum, makanya pengen tahu seindah apa sih pemandangan matahari terbenam dari Tokyo Skytree.” Fajar terlihat antusias.