29
Saat bangun tidur, tubuhku terasa ringan, dan demamku hilang. Harumi sudah bangun lebih awal.
“Ohayo[1], Nad,” sapa Harumi dengan riang.
“Ohayo, Harumi,” jawabku sambil tersenyum.
Dia langsung mengecek keningku kemudian menarik nafas lega. Dia masih mencemaskanku.
Perutku keroncongan, niat hati ingin masak. Ternyata di meja makan sudah tersedia makanan hangat. Mataku terbelalak melihat bubur sudah siap. Sahabatku ini entah bangun jam berapa, padahal masih jam setengah enam pagi.
Seakan membaca keherananku, Harumi bilang kalau dia sudah bangun jam setengah lima. Keningku di jam segitu masih hangat, padahal saat kuraba, suhunya sudah normal.
Dia tidak bisa tidur lagi, makanya memasak, dia mengaku telah belajar membuat bubur dari internet. Gara-gara aku pernah membahas dengan sahabat-sahabatku kalau lagi sakit biasa makan apa, terus giliranku—seperti kebiasaanku sejak kecil Ibu selalu menyiapkan bubur ketika aku sakit. Maka setiap aku sakit di rumah sewaanku ini, ketiga sahabatku tanpa diminta selalu bersedia, gantian memasak bubur untukku. Betapa beruntungnya aku bersahabat dengan mereka.
Giliran sahabatku sakit, biasanya aku hanya bisa menjenguk mereka, tidak bisa memasakan makanan kesukaannya, karena ibu merekalah yang menyiapkannya.
Padahal telah berkali-kali aku meminta mereka tidak perlu repot-repot memasak untukku. Aku tidak enak hati, tapi mereka terlihat sedih kalau aku menolak.
***
Setelah pulang, Fajar terlihat murung. Dia enggan pulang, apalah daya karena tidak mungkin menginap. Namun, hatinya cukup lega, ketika mengetahui Harumi yang menemaniku.
Tak sabar untuk terus mengetahui perkembanganku, maka dia sering kirim pesan pada Harumi menanyakan nona yang sedang sakit.
Setelah mendengar kabar pagi ini, pikirannya terasa enteng, tidak kusut lagi.
***
Badanku kini mulai terasa segar, masakan yang disiapkan Harumi tandas tak bersisa. Harumi selalu mengingat pesan mamanya, untuk menjaga persahabatannya dengan siapa pun, termasuk aku.
Mamanya tidak berkeberatan kalau dia menginap dan menemani aku hingga pulih kembali. Harumi sama gesitnya seperti Mama dalam urusan bebenah dan memasak, dia terbiasa berbagi tugas rumah dengan Mama juga Akira. Maka di saat menginap di rumahku, dia menganggapnya seperti di rumah sendiri, bebenah dan memasak sudah menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari hidupnya.
Pagi itu kami sarapan bersama. Harumi masih menggoda dan terus berusaha membujuk aku agar sedikit membuka hati untuk Fajar.Namun, pendirianku masih teguh, kalau yang namanya perasaan tidak pernah bisa dipaksakan. Apa yang aku rasakan saat ini hanya berteman baik, itu saja. Dia pun menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa seiring berjalannya waktu, mungkin perasaan itu bisa tumbuh.
Hari itu tidak ada jadwal kuliah, aku dan Harumi dari siang sampai menjelang sore, terus saja mengobrol tentang rencana-rencana setelah kuliah, rencana masa depan, hingga impian menikah. Berbeda dengan Harumi yang sudah punya rencana jangka panjang tentang hubungan dengan pacarnya. Aku tak ada ide sama sekali. Bahkan aku tidak tahu seberapa cepat luka ini bisa sembuh. Seberapa sanggup belajar mencintai lagi. Dan entah kepada siapa hati ini akan berlabuh.
Sementara itu, Harumi seolah tak pernah bosan memasangkanku dengan Fajar. Meskipun pemuda itu masih sendiri, kupikir bukan berarti dia tidak punya seseorang yang diincar. Dan kalau pun ternyata tidak ada, itu juga bukan urusanku.
Harumi bahkan melontarkan pertanyaan, apakah aku tidak berkeberatan jika ternyata memiliki pasangan beda umur, dan ternyata umurnya di bawahku. Sebelum menjawab, aku juga berpikir cukup lama.
Aku mengakui bahwa sebetulnya aku suka dengan pasangan yang umurnya di atasku, dan jauh lebih dewasa—tapi itu pemikiranku dulu yang masih memandang hidup dari kacamata kuda. Kini, aku pikir siapa pun yang menjadi pasanganku, umur bukan masalah. Sebab kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari umur.
Ada orang yang umurnya sudah kategori dewasa atau tua, tapi pikirannya tidak sedewasa umurnya. Sementara itu, ada juga orang yang umurnya masih muda tapi ternyata secara pemikiran jauh lebih dewasa. Tentu saja aku lebih menyukai pola pikir yang dewasa ketimbang umur yang dewasa. Maka kukatakan dengan mantap pada sahabatku, bawah aku tidak masalah jika memiliki pasangan yang beda umur dan umurnya di bawahku.