30
Jam kuliah sudah selesai dari satu jam yang lalu, kini aku sedang berada di perpustakaan dengan tumpukan buku-buku tebal, untuk bahan mengerjakan tugas.
Ponsel pintarku bergetar ada pesan di WA, kulihat notifikasi, ternyata dari Paman Dimas. Ada urusan apalagi, batinku.
Rasanya enggan sekali membuka pesan tersebut. Aku kembali tenggelam dalam timbunan buku. Setelah menemukan bahan untuk mengerjakan tugas, kini aku terhanyut dalam ketikan demi ketikan, hingga tak terasa, tiga jam aku berada di tempat favoritku ini.
Senyum mengembang setelah puas mengetik di laptop dan menuntaskan tugas kuliahku. Alhamdulillah, kelar juga.
Ada kelegaan hati yang menyelimuti, tapi di sisi lain ada hal mengganjal dihatiku. Walau bagaimana pun, tentu aku akan membuka pesan dari Paman Dimas. Bila tidak? Hmmmm pasti akan ngadu ke mana-mana, berabe urusannya kalau sampai ke telinga kedua orang tuaku.
Nada, kabarnya kamu belum memiliki calon pendamping. Paman punya kenalan baru, yang sedang mencari calon istri untuk segera dinikahi. Orangnya sudah mapan. Kerja di sebuah perusahaan besar. Paman yakin, hidup kamu bakalan bahagia sama dia. Namanya Hendra. Paman sudah bicara sama kedua orang tua kamu. Mereka terserah kamu. Gimana, kamu mau Paman kenalkan?
Selesai membaca pesan tersebut, aku membanting punggung ke belakang kursi. Tak habis pikir dengan ulah Paman. Sepertinya dia akan selalu berusaha sekuat tenaga mengganggu hidupku selama aku belum menikah, pekikku dalam hati.
Kadang aku merasa muak menghadapi Paman. Aku diamkan salah, aku balas lebih salah—ujung-ujungnya serba salah. Kalau saja aku sudah punya pasangan, bisa jadi dia akan berhenti mengganggu hidupku. Namun, apa mau di kata, prinsipku aku akan menghargai orang yang menyampaikan pesan, apalagi dari orang yang kukenal, dan itu keluargaku sendiri. Semenyebalkan apa pun sikapnya, aku akan mengetik dan membalas pesan.
Terima kasih, Paman Dimas. Saat ini aku akan fokus menyelesaikan kuliah.
Terdengar klise, tapi aku tidak peduli lagi. Bukan aku tidak mau mengenal lebih dulu seseorang yang ingin dikenalkan Paman. Masalahnya Paman pikir dengan mengenalkan aku pada seorang pria yang siap nikah, mapan, sukses, kerja di perusahaan besar, lantas bisa langsung menyimpulkan aku akan bahagia? Naif sekali. Memangnya ukuran kebahagiaan menikah ditentukan oleh hal-hal tersebut. Bagaimana kalau hatiku tidak sreg dengan perangainya, meskipun dia sukses dan sebagainya, belum tentu itu akan membuat hatiku tenteram dan bahagia.
Paman tidak mengenalku, jelas karena dia bukan orang tuaku. Tahunya hanya bisa menilai, mengkritik, dan menyimpulkan. Tanpa mencari informasi yang detail. Padahal sesuatu yang tampak dipermukaan dan hanya mengandalkan omongan serta pengakuan bahwa seseorang itu sukses, mapan, atau apalah. Apakah bisa menjamin seratus persen bahwa apa dia memang seperti itu. Atau hanya kata orang. Apalagi Paman bilang kenalan baru, lantas aku harus mudah percaya dengan seseoarang yang belum kukenal baik, belum mencari banyak informasi kemudian langsung menyimpulkan bahwa pria siap menikah, sukses dan mapan ini bakalan jadi jodohku setelah dikenalkan.
Dan ternyata, pesan itu kembali dibalasnya, seperti yang sudah kuduga.
Kamu itu tidak tahu di untung. Ada orang yang mau Paman kenalin, malah ditolak mentah-mentah. Pakai saja terus alasan kuliahmu, kalau sudah kayak gini kapan kamu mau nikahnya? Percuma kuliah tinggi-tinggi kalau waktunya menikah masih saja sekolah, sekolah dan sekolah. Setelah ini belum tentu ada yang mau lagi sama kamu. Ini kesempatan besar, seharusnya kamu ambil. Paman sangat kecewa sama kamu dan kedua orang tuamu yang selalu menyerahkan keputusan apa pun sama kamu. Untung Paman tidak punya anak kayak kamu. Orang tuamu terlalu lemah menghadapi kelakuanmu.
Membaca kalimat pedas tersebut, aku hanya sanggup menelan ludah. Kalau mengikuti kemauan rasanya ingin kubalas pesan tersebut. Namun, hati dan pikiranku masih waras, percuma membalas orang yang dari tulisannya saja terlihat emosi. Yang ada dia akan selalu menyalahkanku lagi dan lagi. Kututup ponsel pintarku lalu kumasukan dalam tas.
Kukembalikan buku-buku yang kuambil ke rak masing-masing. Sambil menyisir setiap sudut rak di perpustakaan, aku mencari judul buku lain untuk kupinjam dan kubaca di rumah saja.
Ketika sedang mencari-cari, ada suara yang tak asing lagi memanggilku sambil bisik-bisik.
“Permisi Neng, cari buku apa kok sambil bengong? Kalau pakai acara melongo, sampai besok juga kamu gak bakalan menemukan buku yang kamu cari.” Fajar muncul sambil tersenyum menggoda.
Kenapa di saat-saat hatiku sedang kalut selalu saja muncul orang ini, batinku menggerutu. Aku tersenyum sedih, tidak siap harus kurespon seperti apa.
“Kamu lagi cari judul buku apa?” Fajar dengan sigap ingin membantuku mencari buku.
Ketika kusebutkan dua judul buku yang kucari. Tak lama kemudian, dia langsung muncul dihadapanku dan menyodorkan buku yang kucari.
“Terima kasih, Jar. Kamu sedang mengerjakan tugas apa mau pinjam buku?” Aku berbasa-basi meski rasanya saat itu juga aku ingin menghilang begitu saja dan tidak ketemu dia. Kenapa harus selalu ada dia disaat hatiku sedang kusut? Keluhku.
“Aku dari tadi ada dipojokkan sana, ngerjain tugas. Habis simpan buku di rak mau pulang.”
“Kamu sudah lama apa baru sampai?” tanyanya penasaran.