32
Selama satu bulan penuh melaksanakan ibadah puasa, aku bersyukur menikmati momen ini. Ketika hari raya Idulfitri tiba, aku berkesempatan untuk melaksanakan salat Ied di Masjid Camii Tokyo. Bersama Haura, teman yang kukenal tiga tahun lalu di masjid ini. Kami duduk bersebelahan saat melaksanan salat. Sejak saat itu aku berteman baik, dia sama-sama penerima beasiswa juga. Namun, berbeda kampus denganku.
Karena jarang ketemu, maka saat bertemu kami saling melepas rindu. Beruntung kami tiba lebih awal, sehingga masih kebagian tempat di dalam masjid.
Suasana khidmat pun terasa sekali. Meskipun lebaran di negeri orang, jauh dari keluarga. Tak sedikit pun mengurangi khidmat. Terasa nikmat sekali bisa menjalankan ibadah salat Ied. Aku cukup sering datang ke masjid ini, melepas rindu kepada sang Khalik dengan melaksanakan salat di sini. Selain menyambanginya di saat lebaran, baik Idulfitri maupun Iduladha. Aku terkadang datang untuk melaksanakan salat fardu. Senang sekali bisa berkunjung ke masjid, meski tidak bisa setiap hari. Minimal sebulan sekali.
Selesai salat Ied, aku dan Haura mengunjungi kedutaan besar RI. Biasanya di sana mengadakan acara halal bihalal. Dan tak lupa akan terhidang menu masakan nusantara aneka rasa. Bikin ngiler. Biasanya acara open house yang diadakan duta besar, dipenuhi oleh para pelajar juga mahasiswa yang saling kumpul, silaturahmi, dan makan-makan.
Di sini juga kita akan kumpul bersama teman-teman pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di Jepang. Cukup banyak teman yang kukenal, biasanya kami ngobrol serta saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman. Ketika makan, kudengar Haura sedang mengobrol dengan seseorang. Seru sekali perbincangan mereka, sampai-sampai suara yang kukenal tidak menyadari kehadiranku di tengah mereka.
Setelah ngobrol panjang, Haura lupa memperkenalkan temannya padaku—padahal beberapa saat kuamati, aku sudah hafal suara tersebut.
Fajar yang posisinya membelakangi aku, tentu dia tidak akan tahu, sejak tadi aku mau tidak mau mendengar percakapan mereka. Setelah bertanya kabar satu sama lain. Lantas Haura cerita kalau dia sebentar lagi akan menikah, dia menanyakan apakah Fajar sudah mengakhiri perjomloannya. Maka dengan bangganya, pria itu bilang dirinya belum bisa mengakhiri status tersebut, karena kesibukan belajar selama ini sudah menyita waktunya.
Mendengar obrolan mereka, jauh dilubuk hatiku aku mengacungi jempol dengan ketangguhan Fajar yang memilih berteman sebanyak-banyaknya. Dan menjadikan belajar sebagai fokusnya. Tidak menjadikan jomlo sebagai sesuatu yang disesalinya. Dia selalu bangga dengan statusnya sebagai pelajar juga jomlo. Tidak pernah kudengar dia mengeluhkan kejomloannya. Meski seringkali teman-temannya senang bergurau dengan status anak ganteng yang belum pacaran ini.
“Jar, kenalkan dia Nada. Temanku.” Fajar seketika menoleh di saat pikiranku sedang berada di antah berantah mengagumi sisi lain seorang teman bernama Fajar.
Meskipun hanya beberapa detik, aku dapat membaca kekagetan pemuda itu yang mendapati aku sedang duduk asyik sambil makan—dan memikirkan pria yang membelakangiku.