36
Fajar masih berkutat dengan kerjaannya—mengedit video dari para klien yang sudah mempercayakan tugas kepadanya. Walau tugas kuliah sudah terlebih dahulu diselesaikan. Tetap saja berada di depan laptop selama berjam-jam, membuat badannya terasa lelah.
Berkali-kali Toshio mengingatkan untuk istirahat sebentar. Namun kata-kata iya, tak lebih sekadar untuk menyenangkan hati Toshio agar tidak mencerewetinya.
Sementara Toshio yang sedang selonjoran di kursi, dengan santainya mengunyah makanan ringan. Namun perhatiannya tak luput. Satu jam berlalu, sahabatnya seakan lupa dengan kata-kata yang diucapkannya.
“Mau dimatikan, atau istirahat?” Kini Toshio persis berada di samping, bersiap mematikan tombol shutdown tanpa ampun, dia terlihat masygul.
Fajar baru ingat. Sejak tadi Toshio menyuruhnya istirahat. Percuma dia meneruskan pekerjaannya.
“Woy, kalau sudah kerja. Selalu saja lupa waktu istirahat. Besok-besok kamu akan sakit lagi jika jam kerjamu seperti itu. Tidur tak beraturan, makan tidak tepat.” Toshio bersungut-sungut, terlihat jengkel dengan ulahnya Fajar.
“Bagi dong makanan ringanmu.” Fajar mencoba bergurau.
“Jangan suka mengalihkan perhatian kalau aku sedang membicarakan hal ini. Kamu harus tahu kapan waktu istirahat. Lihat jam, ini sudah hampir tengah malam. Kamu belum makan. Bagus kamu masih ingat waktu salat dan melaksanakannya dulu. Bagaimana ceritanya jika kamu lupa makan dan salat. Ayo sana makan. Aku dari tadi ajak kamu makan bareng, jawabnya iya-iya terus.”
“Iya itu pakai tindakan, bukan hanya ngomong doang.” Toshio belum puas mengomeli Fajar.
Adakalanya Fajar senang dengan kehadiran Toshio di rumahnya. Meski untuk urusan krusial seperti waktu makan dan sebagainya, dia sangat tepat waktu. Tak pernah bosan untuk mengingatkan Fajar.
Buru-buru Fajar ambil nasi dan lauknya, serta makan dengan lahap, dan masih diawasi Toshio. Sebenarnya, kerjaannya masih bisa dilanjutkan besok. Namun, jika sedang asyik-asyiknya mengerjakan pekerjaan, dia tak ingin menghentikannya.
Fajar bersyukur dengan adanya Toshio di rumahnya. Meskipun cerewetnya ngalahin mamanya—tapi hanya urusan kalau dia sudah tidak bisa dibilangin. Selebihnya, Toshio tidak pernah mengganggu hal-hal yang bersifat pribadi. Dia sangat menyenangkan, kecuali kalau lagi mengomel. Tiba-tiba tanduknya muncul.
“Makan, Bro,” ajak Fajar.
“Silakan,” jawab Toshio, sedikit ketus.
Fajar tidak suka berlam-lama saling bersitegang. Maka dia berinisiatif meminta maaf pada duluan.
“Gomennasai.”[1]
“Maafkan aku, Tosh! Aku keasyikan kerja. Terima kasih sudah mengingatkanku. Habis makan, janji deh gak kerja lagi. Baca buku habis itu tidur.”
Sebelum protes karena Fajar gak langsung tidur, buru-buru dia mengucapkan kata-kata pemungkas. “Kan habis makan gak boleh langsung tidur. Tidak baik untuk kesehatan. Minimal setengah jam setelah makan baru boleh tidur. Dan sambil menunggu mata terlelap, aku akan membaca.”
Toshio hanya mengangguk, tidak berkomentar apa-apa lagi. Kini wajahnya sudah mencair. Pertanda dia sudah tidak dongkol lagi dengan Fajar.
Namun, dia seperti tidak enak. Dan mendekati meja makan.
“Maaf, Jar. Kalau aku terlalu banyak mengatur. Aku takut kamu sakit lagi. Akira, Hideki, dan Yusihiro sudah mempercayakan tugas untuk mengingatkan kamu agar tidak sering begadang. Aku akan merasa bersalah jika tidak bisa menjaga kepercayaan yang mereka berikan.” Toshio tidak enak hati dan menyesal.
“Kamu tidak salah, Bro. Aku yang salah. Besok kita kumpul-kumpul di rumah yuk! Kita makan siang bareng. Masak bareng,” Fajar mengusulkan.
“Ok, besok pagi kita belanja bareng sebelum mereka datang.” Kini wajah Toshio lebih cerah dibanding sebelumnya.
Malam itu juga, Fajar mengabari tiga sahabatnya melalui aplikasi Line. Bak air disambut gayung, mereka menyetujuinya. Rencananya besok Fajar dan Toshio yang akan masak. Ternyata Yusihiro mengusulkan diri untuk memasak. Masakan ala anak kos yang menjadi andalannya.
Tak lama lagi mereka akan menghadapi ujian akhir dan tentu akan disibukkan dengan belajar untuk persiapan tes. Agar hasilnya maksimal. Kelima sahabat karib ini, seperti anak kuliahan pada umumnya, sangat memprioritaskan belajar. Mereka berlomba-lomba meraih nilai bagus. Biasanya selama menghadapi ujian, jika tidak terlalu penting mereka tidak bertemu. Atau kalau pun ketemu biasanya belajar bareng.
Keesokan hari, rupanya mereka membebaskan diri dari jam belajar di akhir pekan. Menikmati waktu bersama teman menjadi pilihan. Tawaran Fajar semalam rupanya diterima dengan baik. Tidak hanya Fajar dan Toshio yang sudah belanja. Mereka bertiga juga belanja camilan. Kalau mereka mager—malas gerak, bisa jadi seharian di rumah atau bahkan menginap.
Sebelum mulai masak, seperti biasa mereka ngobrol-ngobrol dulu. Update kehidupan anak kampus selama beberapa minggu terakhir. Apalagi mereka berlima beda fakultas, sehingga selalu menyenangkan mendengarkan cerita dari masing-masing sahabat Fajar tentang keseruan hingga kesulitan yang mereka hadapi selama perkuliahan dan saat mengerjakan tugas.
Hampir rata-rata di antara mereka, keluhannya sama. Tugasnya cukup sulit dan menguras energi. Dan ketika berhasil menyelesaikan tugas, ada perasaan lega sekaligus bahagia, yang hanya sesaat. Sebab kebahagiaan itu bukan akhir, melainkan awal dari tugas-tugas selanjutnya yang menanti untuk dikerjakan.
Fajar senang melihat keempat sahabatnya yang selalu bersemangat belajar. Semenjak kuliah dan beradaptasi di negeri sakura, satu hal yang berubah dari dirinya, kini dia semakin gila belajar. Ditambah mereka berempat yang selalu semangat belajar, seolah energi baiknya menular pada Fajar.
Belajar hanyalah kewajiban yang dia jalani sebagai mahasiswa. Selebihnya dia sangat menikmati aktivitas belajar juga persahabatan dengan Akira, Toshio, Hideki, dan Yusihiro yang sangat suportif. Keempat sahabatnya ini berbeda dari teman-teman Jepang pada umumnya di mana mereka sangat tertutup.
Bersama empat sobat karib, Fajar seperti menemukan keluarga di negeri perantauan ini. Dulu dia merasa sendiri. Namun, kini perasaan itu telah hilang. Seiring dengan berjalannya waktu, kalau Akira bilang, bahwa Fajar sudah seperti orang Jepang. Mandiri, apa-apa yang ngerjain sendiri.
“Guys, kita kapan masaknya? Kalau yang diobrolin hanya tugas, tugas, dan tugas,” protes Akira yang perutnya mulai terasa lapar.
“Santai, Bro. Ini kita siap-siap keluarin bahan-bahannya dulu dari kulkas,” Fajar menenangkan Akira.
“Kali ini kita semua kebagian tugas, ya. Semua harus masak,” Fajar mengomando.
“Waduh. Aku gak bisa masak,” jawab Akira kaget.
“Tenang, kamu bantuin kupas bawang bombay saja, atau iris daging, atau apalah, yang penting kerja sama” Toshio menambahkan.
“Ajirin aku cara mengupasnya, ya.” Kini terpampang wajah Akira yang memelas.
“Kamu belum pernah masak?” Fajar baru mengetahui fakta baru tentang Akira.
“Aku gak pernah masak, Guys. Biasa Mama yang selalu masak di rumah.” Akira berterus terang.