37
Dua minggu berlalu begitu cepat. Aku telah mempersiapkan diri dengan baik, belajar lebih tekun karena ingin mengejar hasil yang lebih maksimal dibanding semester sebelumnya. Beruntung lingkungan tempatku menimba ilmu merupakan orang-orang yang sama tekunnya dalam hal belajar. Jangan harap bisa menyontek dalam ulangan, mereka sangat pantang.
Dulu saat masih kuliah sarjana, aku masih sering mendapati teman-teman yang membuat sontekan. Atau seringkali bertanya, dan bila aku tidak menggubris, mereka akan bilang pelit. Aku terkenal pelit dalam hal memberi sontekan. Bukannya tidak mau memberi, hanya saja aku tidak mau membuat mereka makin malas belajar. Masalah utama orang yang suka menyontek adalah malas berusaha lebih, malas belajar, mau enaknya saja. Yang penting nilai bagus, padahal jauh lebih penting usahanya, bukan nilainya.
Sejak kecil, aku tidak pernah membiasakan diri menyontek. Bila kedua orang tuaku memarahiku karena nilai jelek, aku akan berusaha lebih giat lagi sehingga nilai-nilaiku jadi lebih bagus. Kini aku baru merasakan manfaatnya, ketika kuliah magister di luar negeri, khususnya di Jepang, aku sudah biasa dengan budaya tidak menyontek. Terbiasa pula belajar super keras lagi, ketika lelah menyapa, aku akan berhenti sejenak. Setelah itu, aku akan melanjutkan lagi hingga berhasil.
Aku coba membaca ulang soal jawaban yang telah kububuhkan dalam kertas. Meski yakin jawabanku tidak keliru, memastikan aku tidak salah tulis jauh lebih baik, ketimbang aku merasa benar, tahu-tahu salah. Aku selalu melalukan cek ulang sebelum lembar kertas kuserahkan.
Aku memang keluar paling belakangan, melihat punggung temanku satu per satu mereka menyerahkan lembaran tugas. Giliranku terakhir, aku mengucapkan terima kasih kepada profesor yang menjadi dosen mata kuliah yang kuambil. Aku mengangguk sopan ke arah profesor sambil menyerahkan lembar kertas ujianku. Profesor Hiroki, salah satu dosen terbaik yang pernah mengajarku. Aku berharap saat mengerjakan tesis akan dibimbing oleh beliau.
“Kau pastikan semua jawabanmu benar, Nada. Jika hasil tesmu dan nilai semestermu jauh lebih baik dari semester sebelumnya. Maka kamu bisa menjadi salah satu kandidat mahasiswa yang akan kubimbing dalam tesismu.” Sepertinya profesor Hiroki membaca pikiranku. Aku tersenyum lebar ke arah beliau, dan berkali-kali kubilang terima kasih sambil menundukkan kepala, “Arigatou gozaimasu, profesor,” ucapku penuh haru dan rasa terima kasih yang tidak bisa kurangkai lewat kata-kata.
Setelah berpamitan, aku keluar kelas. Namun, ada seseorang yang sudah tak asing melemparkan senyum lebarnya. Kami tidak janjian untuk bertemu. Sebelum kusapa, dia telah menyapa duluan—sepertinya sudah menungguku cukup lama.
“Assalamualaikum, Senja.” sapanya dengan senyum termanis yang selalu menghiasi wajah tampannya setiap kali menyapaku.
“Waalaikumsalam, Jar. Sudah lama?” aku memastikan kawanku ini tidak duduk bengong macam anak kehilangan induknya akibat terlalu lama menunggu.
“Baru satu jam. Maaf aku tidak mengabari kamu lebih dulu. Habis ini kamu ada acara atau ada ujian lagi?” tanyanya memastikan.
“Alhamdulillah, ini ujian terakhir. Habis ini aku mau main ke perpustakaan terus pulang.” Aku menyebutkan rencanaku.
“Eh, kamu tahu dari mana kalau aku keluar kelas jam segini?” aku menyelidik, rasanya aku tidak pernah memberitahu tentang jadwal kuliahku.
“Aku kan pemerhati yang baik. Selama ini aku sering buntutin kamu, tanpa kamu sadari.” Fajar sengaja gombalin aku, padahal itu tidak benar. Dia dapat info tentang jadwal kuliahku dari Harumi.
“Yeee, tidak baik suka buntutin orang,” jawabku pura-pura ketus.
“Senja, aku hari ini mau ke toko buku, ikut yuk?” ajaknya.
“Tolong bantu aku carikan buku bagus untuk seseorang.”
Setelah Fajar berpikir keras semalaman, dia ingin pergi bareng aku sebelum pulang ke Indonesia. Dia putuskan mengunjungi tempat yang tidak akan pernah ditolak oleh si pecinta buku ini.
Baru kali ini Fajar meminta tolong mencarikan buku untuk seseorang, sepertinya dia sedang dekat dengan seseorang. Wah, anak ini diam-diam menghanyutkan. Aku jadi penasaran siapakah seseorang yang dimaksud. Hatiku tergelitik ingin tahu.
Melihat aku yang masih belum bergerak dan mengiyakan, Fajar menggamit lenganku namun kulepas secara halus. “Maaf Jar, tolong lepasin tangannya, hehehe.”
“Oh iya, astagfirullah. Maaf, aku lupa. Kadang kamu mengingatkanku pada adikku, Warna.” Dia buru-buru meminta maaf, tadi itu refleks saja. Padahal gak niat sama sekali memegang tanganku.
“Ok deh, kali ini aku temani. Anak-anak yang lain ikut gak?”
“Mereka gak ikut, soalnya gak aku ajak,” Fajar terus terang.
“Kenapa gak diajak? Kan lebih seru kalau rame-rame.” Aku heran.
Tumben sekali anak ini minta dianterin ke toko buku, teman-temannya gak diajak, terus minta dicarikan buku untuk seseorang. Jangan-jangan ini anak lagi kesengsem seseorang dan gak mau diketahui gengnya, pikirku.
“Malah bengong, ayo buruan!” Fajar setengah memaksaku untuk ikut dengannya.
Kali ini aku tidak banyak protes lagi, aku menyanggupi ajakan Fajar. Rencana ke perpustakaan batal, diganti dengan yang lebih menggiurkan, yaitu main ke toko buku. Sudah setahun lebih aku tidak ke toko buku. Apalagi semenjak patah hati, pelarianku hanyalah kuliah, kerja paruh waktu, mengerjakan tugas, dan main di perpustakaan. Berkutat di situ saja, tidak kepikiran untuk bersenang-senang atau bahkan menyenangkan diri hanya dengan pergi ke toko buku. Oh aku sungguh rindu tempat itu. Ingin mencium aroma buku-buku yang baru dicetak dan bertebaran di rak buku.
Dari kampus, aku dan Fajar naik kereta.
“Kamu pernah ke toko buku yang ada di Shibuya?” tanya Fajar.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil mataku terbelalak menandakan bahwa aku tidak tahu kalau di daerah tersebut ada toko buku. Kemudian mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat, dan tentu saja pikiranku tidak mengingat sesuatu karena belum pernah mengunjunginya.
“Jangan bilang kamu belum pernah ke sana?” kini Fajar yang tak percaya sambil menambahkan “Untuk ukuran orang pecinta buku tingkat akut, harusnya itu masuk dalam daftar tempat yang wajib dikunjungi.”
“Belum, Jar.” Aku tersenyum malu-malu.
Kini giliran mata Fajar yang terbelalak dan tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
“Biasa saja dong, Jar. Ekspresi wajahmu itu benar-benar membuatku serasa anak paling kudet—kurang update. Meskipun kuakui aku memang belum pernah ke sana.” Aku protes sambil memanyunkan mulutku.
“Baiklah, kalau begitu kita ke sana.”
Kini Fajar sudah tidak melontarkan lagi kata-kata yang membuatku malu karena belum pernah mengunjungi tempat yang harus dikunjungi oleh para pecinta buku.
Menjelang sunset, kami memasuki toko tersebut. Namun, aku termangu melihat cahaya jingga yang sangat indah. Sementara tanpa kusadari, Fajar tak berkedip menyaksikan rona wajahku yang tersenyum menyaksikan keindahan yang disajikan Sang Maha Pencipta. Meskipun dikelilingi oleh puluhan gedung pencakar langit, tapi bagiku keindahan matahari terbenam mengalahkan segala keindahan di sekitarku. Seperempat jam kemudian, gelap sempurna membungkus langit dan diganti dengan terang benderang cahaya lampu.
Aku senang sekali hari ini bisa melihat bulatnya matahari dengan bola warna jingga menyelimuti dipadu cuaca cerah, sehingga aku bisa menonton pertunjukkan indah ketika matahari terbenam dan kembali ke peraduan. Hatiku lega dan bahagia sekali.
“Nona Senja, sudah cukup melihat sunset-nya?” goda Fajar sambil tersenyum.
Aku tersipu malu. Sepertinya Fajar sudah mulai terbiasa dengan kebiasaanku melihat pemandangan menakjubkan.