38
Ada seribu tanya kini memenuhi benakku. Fajar hari ini berbeda dengan dia yang kukenal. Apa maksud mengajakku pergi membeli buku dan ujung-ujungnya buku ini diberikan kepadaku. Kenapa harus pakai sok rahasia, bilang carikan buku untuk seseorang. Anak ini kenapa jadi aneh begini. Dia yang kukenal selama ini dengan perangai serba blak blakan dan iseng, mendadak misterius.
Aku heran, seharusnya dia bilang padaku di depan sahabat-sahabatnya juga tentang apa yang terjadi dengan mamanya. Aku yang terakhir tahu. Bagiku tak masalah mau diberitahu atau pun tidak. Yang jadi masalah, aku seakan tak mengenal Fajar yang biasa.
Tunggu, memberikan buku kenapa hanya sama aku saja? Anak-anak yang lain apa kabar? Ini anak gak lagi kesengsem sama aku, kah? Hahaha, aku merasa konyol dengan pikiranku yang melintas begitu saja. Sudahlah, yang pasti buku-buku ini akan kubaca, sebagai cara aku menghormati pemberian dari Fajar.
Di satu sisi, aku berpikir bahwa ini pemberian biasa. Meski hatiku sedikit tergelitik memikirkan sikap pemuda tersebut. Memikirkan bahwa dia menyukaiku adalah kekonyolan, sungguh halusinasi. Dari awal aku menganggap dia teman. Lagi pula, patah hatiku belumlah usai, aku tidak mau Fajar dijadikan pelarian atas patah hati yang kualami, dan aku juga tidak mau menyimpulkan lebih dini mengenai perlakukan Fajar akhir-akhir ini padaku.
Aku pribadi tidak terlalu memikirkan siapa yang akan menyulam luka di hati, tapi aku meyakini, seseorang yang terbaik akan datang tepat pada waktunya. Yang kubutuhkan hanyalah waktu untuk membiarkan luka ini kembali sembuh dan bersiap untuk kembali belajar mencintai.
Tak terasa, mataku berat sekali. Aku pun terlelap sambil memeluk buku yang sempat kubaca beberapa lembar sebelum jatuh tertidur—sungguh kebiasaan buruk ini belum hilang. Seharusnya aku membaca doa sebelum tidur, bukan membaca buku sebelum tidur, rutukku keesokan harinya saat alarm membangunkan tidurku.
***
Sesampainya di rumah, ternyata Toshio masih menunggu Fajar. Dia berharap masih bisa menikmati makan malam bersama Fajar sebelum besok pagi pulang.
Fajar memang memberitahu Toshio akan pulang telat. Toshio memang tidak banyak bertanya, seakan paham bahwa dia sedang tak ingin banyak cerita—setidaknya untuk saat itu.
Meskipun perutnya masih penuh, tak tega melihat Toshio yang dengan setia menanti. Maka Fajar pun makan menemani Toshio.
Selesai makan, dia langsung berpamitan pada Toshio, kemudian menuju kamarnya untuk berkemas.
Tak banyak barang yang dia bawa—seperlunya saja. Selebihnya koper dipenuhi makanan-makanan khas Jepang kesukaan Mama, Papa dan adiknya yang sudah dia persiapkan beberapa hari yang lalu. Kit kat green tea, Japanese green tea, mochi aneka rasa, abon ikan salmon, samurai ramen, shiroi koibito, Tokyo banana, hingga pocky, ini jadi oleh-oleh andalan untuk keluarga intinya.
Keesokan harinya, pukul empat pagi Fajar sudah berangkat dari rumah. Naik kereta menuju bandara. Pukul tujuh pagi, dia terbang dengan penerbangan langsung dari Bandara Narita menuju Bandara Soekarno Hatta.
Setelah burung besi terbang melintasi cakrawala sekitar tujuh jam, dia tiba dengan selamat di bandara. Kemudian naik taksi. Tak ada orang rumah yang tahu kalau hari ini dia pulang.
Sesampainya di rumah, tak ada keriuhan yang dia dengar. Bahkan saat dia memencet bel beberapa kali tak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu dia menghubungi adiknya. Fajar menanyakan sedang ada di mana, ternyata dia masih mengantar Mama untuk kontrol kesehatan bersama Papa juga.
Terpaksalah Fajar menunggu. Satu jam kemudian akhirnya moncong mobil keluarganya yang sudah dia kenal bertahun-tahun tiba di depan rumah. Seolah tak percaya bahwa ada Fajar yang sedang menunggu kedatangan mereka.
Warna mengklakson abangnya beberapa kali, memastikan bahwa dia bukan orang jadi-jadian. Keterlaluan sekali adikku yang nyetir mobil, tega melakukan itu pada abangnya yang sudah berjamur nungguin, keluh Fajar dalam hati.
Namun, dia tidak jadi mengomel pada adiknya, melihat sosok wanita tercantik di dunia turun dari mobil dan menghampirinya sambil menghamburkan pelukan rindu yang menggunung pada anak lelaki kesayangannya. Jelas saja kesayangan, karena hanya Fajar-lah anak lelaki satu-satunya.
Tubuh Mama tampak ringkih, tapi tidak pernah kehilangan auranya, karena senyum Mama yang selalu membuat wajah wanita yang dihormati Fajar ini begitu tampak mempesona.
Cukup lama Mama memeluk Fajar. Setelah Papa berdehem, barulah Mama melepaskan pelukannya, kemudian Fajar mencium punggung tangan mamanya.
Setelah itu, Fajar mencium punggung tangan Papa, dan memeluk beliau.
Giliran Warna yang mencium tangan abangnya, kemudian Fajar memeluk adik satu-satunya. Dia kangen ngisengin adiknya.
Tak lama kemudian, Papa membuka pintu. Fajar menggeret koper yang sepertinya sudah tak sabar ingin dibuka. Adiknya mengambilkan minum dan menyuruh abangnya untuk beristirahat di sofa, sementara dia akan menyiapkan makanan. Warna kini sudah pintar memasak, racikan masakannya tak kalah hebat dengan Mama. Dia terampil menyiapkan hidangan keluarga yang sudah diajarkan Mama.
Mama memaksa untuk masuk ke ruangan sakralnya—dapur. Namun, Papa melarang, menyuruh Papa istirahat dan menemani Fajar di ruang tengah yang berfungsi sama sebagai ruang tamu. Sementara Papa akan membantu Warna untuk menyiapkan makan malam menyambut kedatangan putra sulungnya.
Sejak kecil, Mama tidak pernah menyewa jasa asisten rumah tangga. Bukan tidak mampu membayar, Mama dan Papa sudah berkomitmen dari awal bahwa mereka akan berbagi tugas rumah tangga.
Bahkan setelah kedua anaknya lahir, peran mereka tetap sama—berbagi tugas. Papa tidak pernah membiarkan Mama mengurus semua pekerjaan rumah tangga sendirian. Sebab tugas rumah tangga bukan hanya milik Mama, melainkan Papa juga.
Mulai duduk di bangku sekolah dasar, Fajar dan Warna sudah diajarkan untuk berbagi tugas membantu Mama. Meskipun anak laki-laki, jangan ragukan kemampuan Fajar untuk mengurus rumah. Mama dan Papa sudah mencontohkan, dan membiasakan mereka sedari kecil untuk berbagi tugas dan saling bantu sehingga sudah terbiasa.
Mereka tidak mengandalkan salah satu anggota keluarga, melainkan saling berbagi tugas yang akan meringankan pekerjaan – pekerjaan di rumah.
Dulu Mama memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya, memilih fokus mengurus rumah tangga—sebuah pekerjaan yang jauh lebih sulit ketimbang kerja kantoran. Mengurus Fajar dan Warna hingga beranjak dewasa. Sementara Papa yang awalnya pekerja kantoran, kini banting setir memilih untuk membuka usaha tanaman hias yang dilakoninya sepuluh tahun yang lalu.
Sebuah hobi mengurus tanaman yang digandrunginya sejak muda, membawanya memiliki toko tanaman hias dan sudah memiliki puluhan karyawan untuk mengoperasionalkan kantor. Dulu rumah mereka dipenuhi banyak tanaman hias. Dan berkembang dengan tumbuhnya anakan-anakan baru, sehingga rumah sudah tak sanggup menampung tanaman yang dirawat Papa.
Kemudian Mama mengusulkan untuk membuka usaha kecil-kecilan, mulai menjual tanaman hias hasil anakan dari tanaman yang selama ini dipelihara. Tak disangka, pelan tapi pasti usahanya semakin maju.
Apalagi setelah merambah jualan online tanaman hias, tak pelak banyak peminat yang memesan ke tokonya Papa. Namun, sejak Mama sakit, Papa sering bolak balik mengantar Mama untuk berobat.
Beruntung ada Mang Maman, kaki tangan Papa yang bisa menangani penjualan di toko dibantu para pekerja lainnya. Jarak toko dekat dari rumah, Papa membeli lahan di belakang rumah untuk dijadikan toko sekaligus tempat berteduhnya berbagai tanaman hias sebelum dijual. Toko dibuka mulai pukul delapan pagi hingga pukul lima sore.