39
Rita awalnya memang teman yang baik dan menyenangkan. Perasaan Fajar tidak pernah bisa lebih dari itu. Sementara perempuan berambut pendek lurus tersebut meminta lebih dari seorang teman. Menjadi pacarnya merupakan keinginan terbesar Rita. Tentu hal ini tidak bisa diterima oleh Fajar, karena perasaannya hanya sebatas teman. Sampai kapan pun, Fajar akan selalu mengingat kejadian itu.
Suatu hari Rita mengajaknya pergi ke kafe. Dalam pikiran Fajar yang meskipun orangnya iseng dan jail, tapi kalau dalam urusan asmara dia memegang teguh prinsip. Sekolah yang utama, belajar sungguh-sungguh, bermain boleh dengan banyak teman, tapi pacaran jangan kalau belum siap berkomitmen.
Hal ini pernah dibahas pada Rita. Dasar wanita ini memang tidak pernah bisa diberikan pengertian, atau paling tidak menghargai prinsip Fajar. Memaksa terus untuk jadian, bilang bahwa Rita sangat mencintainya, dan mau jadi pacarnya.
Giliran Fajar menjelaskan tidak bisa dan tidak mau. Rita malah memakinya, bilang bahwa dia laki-laki yang tidak punya selera. Mendengar kata-kata tersebut, Fajar sungguh merasa selama ini telah salah menilai Rita.
Tidak semua laki-laki suka wanita yang terlalu berani. Meskipun di zaman sekarang banyak perempuan yang menyatakan perasaannya duluan—dan itu sudah lumrah. Tapi tidak bagi Fajar. Lagi pula dia tidak suka, dan tidak punya perasaan apa-apa. Masa iya harus memaksakan diri menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak disukai. Fajar tidak mempermasalahkan jika perempuan menyatakan perasaan duluan. Yang jadi masalah adalah ketika salah satu pihak tidak suka, jangan pernah memaksa. Itu poinnya.
Tidak peduli secantik dan setajir apa pun perempuan, jika dia tidak suka. Dia tidak akan mau dipaksa. Hal yang tidak dapat dilupakan Fajar, Rita memaki-maki dia di depan banyak orang, di kafe pula. Kesannya dia pria paling jahat sedunia karena telah menolak cinta dari perempuan yang ada di hadapannya.
Disaksikan mata tajam para pengunjung yang memperhatikannya, ketika dia tidak melakukan apa pun saat Rita dengan penuh drama menangis tersedu-sedu seolah-olah menjadi perempuan paling sedih sedunia dan Fajar bukannya memeluk atau berusaha menghentikan isak tangisnya, malah berdiri mematung sambil menunjukkan ekspresi masygul.
Rika masih terus mengeluarkan sumpah serapah yang tidak enak didengar. Dia terlihat depresi karena cintanya telah ditolak oleh Fajar. Akhirnya, Fajar pergi meninggalkan Rita di kafe karena sudah tidak tahan dengan kelakuan perempuan yang ada dihadapannya.
Kejadian itu sudah bertahun-tahun, tepatnya ketika Fajar duduk dibangku sekolah menengah atas kelas dua belas. Di semester pertama. Padahal mereka tidak sekelas, tapi Rita sering tebar pesona demi meraih perhatian Fajar.
Fajar tidak pernah menanggapi segala kode yang telah ditebarkannya. Dia menganggapnya teman, berusaha bersikap senormal mungkin—meski kadang jengah juga dengan ulahnya. Hingga kejadian itu tiba, dari situlah dia mulai menjaga jarak jauh dari perempuan ini.
Namun, Rita punya banyak jurus. Apesnya, dia tinggal tidak jauh dari rumah orang tuanya Rita, dan juga teman baik adiknya. Tak mungkin Fajar meminta adiknya untuk menjauhi temannya hanya karena urusan pribadi.
Rita memang telah meminta maaf, dan Fajar telah memaafkannya, meskipun tentu saja dia tidak akan pernah melupakan kejadian itu seumur hidupnya. Rita masih tetap usaha, lewat adiknya—dengan menitip pesan, tolong bilangin salam dari, atau juga membawakan makanan. Begitulah menurut penuturan adiknya.
Fajar tidak ingin melihatnya lagi, tapi sialnya hari ini dia bertamu ke rumah ini. Entah dia sengaja atau kebetulan, tapi tentu saja Fajar tidak pernah merasa nyaman lagi setiap kali bertemu dengannya. Fajar telah memaafkan perbuatannya, tapi bukan berarti dia melupakan kejadian itu.
Beberapa waktu Fajar telah tersedot dalam lamunan mengenang masa silam. Sementara tanpa dia sadari, mamanya sejak tadi duduk mengamati. Memecah keheningan di meja makan, akhirnya mamanya angkat bicara, “Nak, tidak baik menyimpan dendam. Jika kamu sudah memaafkan, seharusnya kamu bisa berdamai dengan keadaan dan kejadian beberapa tahun silam dengan gadis itu.”
Tadinya Fajar mau protes mendengar kata-kata yang disampaikan Mama, tapi dia mengurungkan niatnya. Di satu sisi dia tidak bisa menyangkal. Apa yang dikatakan Mama ada benarnya. Tak bisa dibantah. Meskipun di sisi lain, dia belum bisa berdamai dengan pengalaman buruknya di masa silam.
Melihat Fajar hanya diam saja, Mama seakan paham bahwa saat ini waktu yang dia butuhkan hanyalah sendiri. “Ya sudah, Nak. Mama akan menemui Rita dulu. Dia anak yang baik. Sebenarnya, Mama tidak keberatan kalau memiliki mantu seperti dia.”
Fajar langsung mendelik ke arah mamanya, tak setuju dengan ucapan beliau barusan.
“Tapi…. Siapa pun yang menjadi mantu Mama, tentu saja dia haruslah seseorang yang akan membahagiakan hatimu, bukan sebaliknya, dan penting sekali seseorang yang kamu cintai.” Fajar lega sekali mendengar kata-kata tersebut. Sambil tersenyum tulus kemudian Mama menghamburkan pelukan hangat ke arah putra sulungnya—yang sungguh menenangkan dan membuat Fajar sedikit luluh.
“Ma, aku mau keluar dulu.” Fajar meminta izin sama Mama. Dia harus memberi ruang pada hatinya yang tiba-tiba dipenuhi kenangan masa lalu yang menyesakkan dada saat melihat wajah Rita.