Senja

hafitalia
Chapter #42

41

41



Kedatangan Rita ke rumah membuat suasana hati Mama jadi gusar, saat mengantar Rita sampai depan pintu, muka beliau terlihat pucat. Itulah penuturan Warna yang langsung mengabari Fajar lewat pesan di Line.

Sesampainya di rumah, Fajar melihat Mama memegangi perut. Tadi dokter sempat datang ke rumah dan memeriksa, asam lambung Mama naik lagi. Dokter menyarankan agar beliau cukup istirahat, tidak banyak pikiran, serta makan teratur.

Fajar tidak bertemu dokter. Hanya mendapatkan laporan dari adiknya. Kemudian dia menanyakan resep obat yang harus ditebus di apotek. Tadinya dia akan berangkat ke apotek, tapi Warna mencegahnya.

Dia meminta Fajar untuk menjaga Mama, karena dia akan membeli obat yang sudah diresepkan dokter. Sekaligus obat diabetes yang harus beliau minum, karena persediaannya hanya untuk tiga hari lagi. Urusan obat, adiknya lebih paham karena terbiasa mengurus Mama. Menemaninya ke mana pun beliau butuh teman. Bahkan dia dan Papa yang selalu menemani Mama saat harus cek kesehatan ke dokter.

Saat memasuki kamar wanita idolanya, tampak sedang tertidur pulas. Namun, tak dapat menyembunyikan mukanya yang pucat dan semakin tirus. Tubuhnya menyusut dibanding sebelum terkena penyakit diabetes. Beruntung beliau sangat disiplin dalam urusan pola makan. Tidak perlu diingatkan terus tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan untuk penderita diabetes.

Mama banyak mencari tahu serta sering konsultasi ke dokter tentang penyakit yang dideritanya. Sehingga beliau seringkali digoda tentang betapa tahan dengan makanan sehat, yang dari segi rasa kalah jauh dengan makanan berpenyedap rasa.

“Mama itu kepengin sehat, Nak. Gak mau sakit. Jadi mau bagaimana pun rasa makanan, selagi menyehatkan, Mama akan mensyukuri dan menikmati. Termasuk sakitnya Mama, ini dari Allah untuk mengingatkan Mama agar bisa hidup lebih disiplin lagi salah satunya dengan tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak gula. Sesekali boleh, keseringan jangan.” Itulah penuturan beliau padanya. Fajar tidak membantah, cukup mengiyakan saja obrolan tempo hari.

Satu jam setengah berlalu, belum ada tanda-tanda akan bangun. Dia bergegas mengambil air wudhu, melaksanakan salat Asar. Setengah jam kemudian, saat jam menunjukkan pukul 17.00, dia terpaksa membangunkan beliau karena belum melaksanakan salat Asar.

Mama sama sekali tidak marah pada Fajar karena sudah mengganggu istirahatnya. Beliau malah berterima kasih karena mengingatkannya untuk melaksanakan kewajiban. Selesai salat, Mama meminta Fajar untuk memapahnya ke ruang keluarga.

Sambil menunggu waktu Magrib, wanita yang sudah tidak muda lagi ini menyenderkan tubuhnya di kursi. Tak berapa lama kemudian, saat Fajar sedang menyiapkan menu makan malam. Adiknya sampai rumah membawakan obat-obat.

Kali ini Fajar mengambil alih tugas memasak, yang jadi salah satu keahliannya. Ke dapur kali ini, entah kenapa dia teringat seseorang, sekilas membuat kepalanya penuh sesak dipenuhi potongan-potongan kenangan saat bersamaku.

Semenjak sampai rumah kedua orang tuanya, dia sama sekali belum mengontak. Fajar sedang menguji dirinya, seberapa kuat bertahan untuk tidak menghubungi atau pun bertanya kabar. Dia menyibukkan diri dengan merawat Mama, sesekali mengunjungi toko tanaman hias milik Papa. Pria itu selalu sibuk dengan anak-anak hijaunya. Merawat dengan sepenuh hati sebelum anak-anak hijau kesayangannya diadopsi—dibeli para pecinta tanaman hias.

Seperti sore ini, menjelang Magrib, Papa baru muncul. Tadi Warna memberitahu keadaan Papa, tapi berhubung ada anak kesayangannya yang menjaga istri tercinta. Maka Papa meminta Fajar untuk berbagi tugas menemani Mama saat beliau sedang istirahat. Dia menerima saja perintah Papa, lagi pula ini tugas yang sangat mudah. Menemani Mama yang sangat dia hormati, yang ridanya selalu dinantikan..

***

Keesokan hari, kondisi Mama mulai membaik. Meski pucat di wajahnya belum hilang. Papa berinisiatif mengajaknya ke dokter. Namun, beliau menolak. Selagi sanggup di rumah dan tubuhnya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya, Mama lebih senang berobat jalan dan berada di rumah bersama keluarga.

Baginya, itu akan mempercepat kesembuhan. Kali ini mereka mengalah, tak memaksa untuk membawa Mama ke dokter di rumah sakit tempat biasa berobat yang jaraknya sekitar setengah jam dari rumah dengan berkendaraan roda empat.

Saat sarapan pagi, Mama sudah bisa duduk bergabung bersama. Tidak berada di atas kasur seperti kemarin. Selesai makan, Fajar melihat wajah Mama perlahan-lahan mulai berseri.

Hari Minggu saatnya mereka berkumpul. Bila tidak ada acara masing-masing, mereka lebih senang mengobrol tentang banyak hal yang terjadi dalam waktu seminggu.

Ketika Mama sedang bicara tentang apa yang dirasakan. Warna mengangkat tangan, memohon izin untuk memberikan pendapat—itulah kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan pada kedua anaknya, jika ada sesuatu yang ingin disampaikan di tengah kalimat orang lain, maka acungkan tangan lebih dulu dan memohon izin apakah boleh bicara saat itu, setidaknya jangan langsung memotong pembicaraan.

“Maaf, Ma, aku rasa Mama terlalu banyak pikiran, asam lambungnya naik lagi. Soalnya beberapa minggu terakhir ini, pola makan Mama sudah sangat hati-hati sekali. Masa ia bisa langsung nge-drop lagi. Apa jangan-jangan karena ulah Rita yang pantang menyerah?” Warna belum melanjutkan kalimatnya, kemudian dia melirik pada Fajar yang dibalas dengan tatapan tajam, memberi kode jangan membahas perempuan itu, tapi kudung terucap, Warna tak bisa menarik kata-katanya lagi.

“Loh, anak itu masih pantang menyerah merebut hati pangeran pujaannya?” ujar Papa sambil melempar pandangan ke arah anak sulungnya.

“Untung anak Mama tidak suka padanya. Mama tidak bisa membayangkan jika anakku jatuh hati pada Rita. Bisa jadi kamu ikutan error, Jar.” Mama menatap Fajar dengan tatapan teduhnya.

Tentu saja Fajar terlihat kikuk, entah harus bagaimana meresponnya. Jelas dia tidak ingin membahas perempuan itu. “Kalau aku suka sama dia, yang ada bisa jadi aku bakalan sakit-sakitan menghadapinya,” ucap Fajar sekenanya.

“Hahaha.” Tawa keras adiknya tak bisa dibendung, ketika Fajar terlihat masygul.

Tepat sebelum adiknya akan melancarkan serangan-serangan untuk meledek abangnya, Papa sudah lebih dulu meminta ganti topik pembicaraan yang bisa jadi membuat seisi rumah ini sakit gara-gara ulah Rita.

“Sudahlah, hentikan bahasannya. Kalian jangan gibah. Lebih baik beresin meja makan, terus kita pindah ngobrolnya di ruang keluarga saja. Kita bersantai di sana sambil memperhatikan satu per satu pepohonan yang ada di halaman kita.”

Hampir saja Fajar dan adiknya saling bersahutan membela diri. Tapi rupanya Papa lebih pandai membaca karakter mereka yang sudah dikenalnya.

“Mama, kenapa tidak cerita kalau rumah ini kedatangan tamu yang kesengsem dengan anak kita?” rupanya Papa masih penasaran.

“Maaf, Pa. Mama belum sempat cerita. Kejadiaannya begitu cepat. Mama juga tidak menyangka mendapati anak itu yang sepertinya betah di rumah kita. Aku berprasangka baik terhadapnya, meskipun aku tahu anak itu memang naksir berat sama si sulung kita, Pa. Kuharap itu cerita di beberapa tahun lalu, dan kini dia sudah berubah. Tapi dia masih menyimpan rasa suka dan berharap dia jadi calon mantu kita.”

“Sejujurnya Pa, kalau anak kita berteman baik dengan Rita, tidak apa-apa. Toh kita juga kenal baik Pak Samsul tetangga kita. Tapi kalau harus bermantukan dia, memangnya anak kita gak ada perempuan lain yang menyukainya?” keluh Mama sambil mengelap keringat dingin yang ada di dahinya.

“Kalau masalahnya seperti itu, Papa bersepakat dengan Mama. Bukankah dari dulu Fajar selalu bilang ingin fokus belajar? Ya, kan, Jar?” Papa melirik ke arah si sulung, memastikan bahwa dia masih teguh dengan pilihannya.

“Iya, Pa. Kalau aku nuturin ego, pacaran hanya untuk senang-senang dan menikmati masa muda, dari dulu pacarku sudah tak terhitung.” Fajar menjawab sambil bergurau.

“Mama tetap bangga dengan kamu juga adikmu, yang mementingkan pendidikan di atas segalanya. Mama tidak melarang kalian pacaran, selama kalian bisa bertanggung jawab dengan diri sendiri. Tapi pastikan satu hal, jangan sampai pacaran membuat pendidikan kalian jadi berantakan, nilai seadanya, prestasi B saja—biasa saja.” kata mama yang tak mau kalah dengan anak milenieal, selalu menggunakan kata-kata kekinian.

“Jika di usia muda kalau harus memilih salah satu, pacaran atau pendidikan, pilihlah yang kedua. Kecuali jika kalian sanggup memiliki pendidikan yang baik dan berprestasi serta menikmati masa muda kalian dengan pacaran, silakan saja. Papa dan Mama tidak melarang,” lanjut Mama.

Rupanya pembahasan pagi ini berkaitan erat dengan kunjungan Rita yang telah membuat gaduh rumah kedua orang tua Fajar. Beruntung Mama tidak menjodohkan Fajar dengan gadis itu. Meskipun waktu kecil kedua orang tua mereka suka bergurau jangan-jangan dia dan Rita kelak saat dewasa bisa menikah, sehingg bisa menjaga silaturahmi selamanya dengan mempererat hubungan besanan.

Seiring dengan berjalannya waktu, pergaulan anak tetangganya itu jauh lebih luas dan sering bergaul dengan kalangan anak borju. Sayangnya orang-orang yang Rita kenal hanya bisa menikmati uang orang tua, tanpa tahu betul perjuangan mereka seperti apa. Lambat laun, sikap Rita pelan tapi pasti berubah. Dia bukan lagi teman yang menyenangkan seperti dulu, saat mereka masih kecil. Apalagi setelah dia dengan beraninya menyatakan perasaannya pada Fajar. Semua mengubah segalanya, termasuk pertemanan Fajar dengan dia.

Cukup Fajar mengenalnya, tapi tidak untuk dijadikan teman baiknya. Tak peduli meski dia anak tetangga, yang orang tuanya kenal dengan baik dan santun. Kadang Fajar memaki dirinya yang masih mau bertegur sapa dengan Rita, nyatanya bersikap ramah bahkan ketus pun perempuan itu masih terus berjuang merebut hati Fajar yang jangankan mau, tergerak saja tidak.

Sekesal apa pun Fajar pada Rita, dia tetap memperlakukannya dengan baik. Dia tidak mau jadi pria kasar, meskipun orang yang dihadapinya memang menyebalkan. Orang gak mau pacaran, masa iya terus memaksa. Bahkan sampai berani-beraninya mendekati dan membujuk Mama. Pasti Mama cemas memikirkan nasib anaknya yang terus dikejar oleh anak tetangga. Daya tahan tubuh Mama langsung menurun, karena banyak pikiran.

Papa memang tidak banyak berkomentar. Bahkan Warna yang sering nyela, kali ini dia lebih banyak diam. Sebelum menutup obrolan, dia berujar “Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah setuju Abang dengan Rita,” ucapnya serius.

Rasanya seketika itu juga Fajar ingin memberikan cokelat untuk adiknya yang telah mendukungnya.

“Aku akan lebih setuju kalau nanti Abang pacaran dengan Kak Senja.” Tutupnya sambil menaik-naikkan kedua alisnya dan tertawa bahagia.

Seketika Papa dan Mama saling tatap dan serempak berujar, “Senja??? Kok, kami belum pernah tahu cerita tentang itu. Apakah Senja adalah nama temanmu?” Kali ini mereka berdua menatap Fajar meminta penjelasan.

Ya Tuhan, dasar Warna!!!! Gak jadi deh, kasih cokelatnya, Fajar mengurungkan niat tersebut dalam hati dan kali ini dia harus jujur.

“Iya, dia temanku di Jepang.”

“Mama, Papa, aku permisi dulu ya, mau ke kamar mandi.”

Kemudian Fajar langsung ngacir saja, dia sedikit pun memberikan penjelasan pada mereka.

***



42

Ternyata rindu

 

Aku harus mengubah banyak rencana. Meski beberapa bulan telah berlalu, putusnya hubunganku masih memberi efek luka. Masih terbayang-bayang impian tentang merajut mimpi-mimpi di masa depan. Meskipun aku sudah berusaha menerima kenyataan. Namun, menormalkan kembali perasaan bukanlah hal yang mudah untuk seseorang yang tidak mudah jatuh cinta sepertiku. Sekalinya jatuh cinta, ternyata meninggalkan luka yang sangat dalam.

Aku tidak bisa terus berdiam diri, yang ada hanya akan menguras energi untuk mengingat kembali kepingan kenangan yang telah berserakan. Kadang aku berharap bahwa semua ini ilusi, dan seandainya waktu bisa diputar. Aku tidak ingin bertemu Dika yang hanya datang untuk memberikan harapan palsu kemudian melemparkan segenap mimpi-mimpiku dari atas langit ke dasar jurang.

Liburan yang awalnya direncanakan untuk pulang ke Indonesia dan fitting baju nikahan, semua hanya rencana semu. Kemudian rencana mau liburan dengan teman-teman juga terpaksa ditunda. Maka bekerja paruh waktu sebagai guru privat bahasa Inggris untuk pelajar SMP dan SMA, menjadi solusi untuk membunuh waktu di masa-masa liburanku.

Kerja dan baca buku menjadi senjata andalanku selama liburan. Beruntung buku-buku yang kubeli bersama Fajar serta buku-buku yang dihadiahkannya untukku telah menemani hari-hari liburanku di rumah.

Biasanya setiap liburan musim panas, aku selalu pulang ke Indonesia. Baru kali ini aku tidak bisa pulang, karena masalah hatiku yang rusuh dan belum berdamai sepenuhnya dengan diriku sendiri. Sisa-sisa luka itu memang sudah mengering, sayangnya luka dalam, seberapa ampuhnya obat yang diberikan untuk mengeringkan luka. Satu hal yang pasti, akan meninggalkan bekas yang tidak bisa disembunyikan. Seperti halnya yang aku rasakan. Aku bisa saja bilang baik-baik saja dan menerima keadaan, namun hatiku masih terasa pedih mengingat kejadian itu.

Mungkin kehadiran seseorang spesial berikutnya yang akan menjadi obat dari luka-luka di masa laluku, yang belum ketemukan terdapat dalam diri siapa. Entah aku sudah bertemu, tapi aku tidak mampu membaca tanda-tanda semesta, atau memang belum ada.

Aku sungguh tidak tahu. Apakah masih bisa merasakan jatuh cinta? Ah ini sungguh pertanyaan orang pesimis yang memandang cinta terlalu sempit. Pikirku kembali menampar pada kenyataan bahwa mencintai tidak selalu berakhir indah. Ada orang yang datang untuk memberi pelajaran, termasuk kisah cintaku yang berakhir tragis. Harusnya aku banyak bersyukur, Tuhan masih memberiku orang-orang baik di sekelilingku. Tidak membuatku berputus asa menghadapi patah hati. 

Biarkan waktu yang menyembuhkan luka, kurasa pepatah ini sangat relevan dengan diriku. Aku tidak akan bisa memaksa untuk melupakan begitu saja kejadian ini. Aku sadar, aku bukan orang yang mudah melupakan hal-hal menyakitkan. Meskipun aku bisa memaafkan, tapi bukan berarti melupakan. Pantas saja banyak orang yang depresi saat mengalami patah hati. Tapi jelas, bunuh diri bukan jawaban atas masalah patah hati. Rasanya aku akan mati konyol jika mengambil jalan pintas.

Aku lebih suka menikmati luka ini. Meski sakitnya terasa sedap nan pahit, tapi justru rasa sakit bisa jadi menguatkan dan membuatku semakin tangguh. Kalau mau hati kuat dan seteguh baja, bukankah harus berdamai dengan luka. Luka bukan sesuatu yang perlu dihindari, tapi jelas sekali, cukup hadapi dan nikmati. Mudah? Tentu tidak. Tapi dengan menghadapinya, berteman dengan luka, aku yakin hatiku akan tumbuh setegar karang menghadapi badai apa pun dalam kehidupan.

Lihat selengkapnya