Senja

hafitalia
Chapter #43

42

42


 

Aku harus mengubah banyak rencana. Meski beberapa bulan telah berlalu, putusnya hubunganku masih memberi efek luka. Masih terbayang-bayang impian tentang merajut mimpi-mimpi di masa depan. Meskipun aku sudah berusaha menerima kenyataan. Namun, menormalkan kembali perasaan bukanlah hal yang mudah untuk seseorang yang tidak mudah jatuh cinta sepertiku. Sekalinya jatuh cinta, ternyata meninggalkan luka yang sangat dalam.

Aku tidak bisa terus berdiam diri, yang ada hanya akan menguras energi untuk mengingat kembali kepingan kenangan yang telah berserakan. Kadang aku berharap bahwa semua ini ilusi, dan seandainya waktu bisa diputar. Aku tidak ingin bertemu Dika yang hanya datang untuk memberikan harapan palsu kemudian melemparkan segenap mimpi-mimpiku dari atas langit ke dasar jurang.

Liburan yang awalnya direncanakan untuk pulang ke Indonesia dan fitting baju nikahan, semua hanya rencana semu. Kemudian rencana mau liburan dengan teman-teman juga terpaksa ditunda. Maka bekerja paruh waktu sebagai guru privat bahasa Inggris untuk pelajar SMP dan SMA, menjadi solusi untuk membunuh waktu di masa-masa liburanku.

Kerja dan baca buku menjadi senjata andalanku selama liburan. Beruntung buku-buku yang kubeli bersama Fajar serta buku-buku yang dihadiahkannya untukku telah menemani hari-hari liburanku di rumah.

Biasanya setiap liburan musim panas, aku selalu pulang ke Indonesia. Baru kali ini aku tidak bisa pulang, karena masalah hatiku yang rusuh dan belum berdamai sepenuhnya dengan diriku sendiri. Sisa-sisa luka itu memang sudah mengering, sayangnya luka dalam, seberapa ampuhnya obat yang diberikan untuk mengeringkan luka. Satu hal yang pasti, akan meninggalkan bekas yang tidak bisa disembunyikan. Seperti halnya yang aku rasakan. Aku bisa saja bilang baik-baik saja dan menerima keadaan, namun hatiku masih terasa pedih mengingat kejadian itu.

Mungkin kehadiran seseorang spesial berikutnya yang akan menjadi obat dari luka-luka di masa laluku, yang belum ketemukan terdapat dalam diri siapa. Entah aku sudah bertemu, tapi aku tidak mampu membaca tanda-tanda semesta, atau memang belum ada.

Aku sungguh tidak tahu. Apakah masih bisa merasakan jatuh cinta? Ah ini sungguh pertanyaan orang pesimis yang memandang cinta terlalu sempit. Pikirku kembali menampar pada kenyataan bahwa mencintai tidak selalu berakhir indah. Ada orang yang datang untuk memberi pelajaran, termasuk kisah cintaku yang berakhir tragis. Harusnya aku banyak bersyukur, Tuhan masih memberiku orang-orang baik di sekelilingku. Tidak membuatku berputus asa menghadapi patah hati. 

Biarkan waktu yang menyembuhkan luka, kurasa pepatah ini sangat relevan dengan diriku. Aku tidak akan bisa memaksa untuk melupakan begitu saja kejadian ini. Aku sadar, aku bukan orang yang mudah melupakan hal-hal menyakitkan. Meskipun aku bisa memaafkan, tapi bukan berarti melupakan. Pantas saja banyak orang yang depresi saat mengalami patah hati. Tapi jelas, bunuh diri bukan jawaban atas masalah patah hati. Rasanya aku akan mati konyol jika mengambil jalan pintas.

Aku lebih suka menikmati luka ini. Meski sakitnya terasa sedap nan pahit, tapi justru rasa sakit bisa jadi menguatkan dan membuatku semakin tangguh. Kalau mau hati kuat dan seteguh baja, bukankah harus berdamai dengan luka. Luka bukan sesuatu yang perlu dihindari, tapi jelas sekali, cukup hadapi dan nikmati. Mudah? Tentu tidak. Tapi dengan menghadapinya, berteman dengan luka, aku yakin hatiku akan tumbuh setegar karang menghadapi badai apa pun dalam kehidupan.

Bukankah setiap badai tidak akan menetap selamanya? Untuk apa dihindari, karena setiap badai pasti akan berlalu. Ketika rasa sakit dan perih itu menyapa, aku hanya bisa berdiskusi dengan diriku sendiri. Seandainya mudah bagiku untuk bercerita pada sahabat-sahabatku, sayangnya aku tak pernah bisa berbagi cerita pribadiku dengan mereka. Lebih banyak menelan pil pahit sendirian, ketimbang dibagi.

Malam ini, aku baru saja selesai membaca buku berjudul Berani Bahagia, buku yang diberikan oleh sahabatku, Fajar.  

Aku kembali mengenang saat kami ke toko buku. Apa kabar dirinya? Pikiran itu baru saja menyelinap tanpa permisi. Kenapa bayangnya mengusikku? Aku merutuki diriku dengan keanehan yang baru saja kualami.

Dari artikel yang pernah kubaca, hadiah untuk seseorang yang suka membaca, salah satunya dengan memberikan buku. Pasti dia akan sangat menyukainya. Kurasa artikel itu ada benarnya juga. Tapi aku juga tidak mau menyalahartikan pemberian ini. Bisa jadi ini hanya pemberian biasa saja dari seorang teman yang sangat baik padaku. Sisi batinku memberikan penjelasan logis dan realistis. Tapi sisi pikiranku yang lain tidak mau kalah. Bisa jadi pemberian ini ada maksud dan tujuan.

Maksudnya memberi dan memperhatikan, tujuannya agar si perima senang. Rasanya ini masih masuk akal. Sampai detik ini, aku masih bertanya-tanya, kenapa Fajar sampai usaha segitunya hanya untuk bilang bahwa acara liburan dibatalkan. Kan bisa saja ngomong di grup Line, atau bisa kirim pesan langsung ke aku mengabarkan pembatalan tersebut. Kenapa mesti pakai acara dia nungguin aku selesai ngerjain ujian, tanpa memberitahu pula. Efek kejutannya memang berhasil, tapi tak sedikit pula memberikan banyak tanda tanya di kepalaku, tentang kenapa dan kenapa. Keanehan-keanehan yang tidak biasa, membuatku jadi bertanya-tanya, untuk apa dia harus seribet itu mengajakku main ke toko buku. Minta tolong beliin buku buat seseorang yang spesial, ujung-ujungnya ini buku dikasih ke aku?

Memangnya aku spesial? Apa yang spesial dari aku. Bukankah selama ini pertemanan kita baik-baik saja? Bahkan perasaanku padanya, biasa-biasa saja. Beberapa detik kemudian, aku baru sadar. Jangan-jangan perasaanku biasa, tapi perasaan dia luar biasa. Mulai deh mengkhayal. Kutoyor kepalaku sendiri agar segera bangun dari khayalan. Sudahlah, bukankah cara terbaik menerima pemberian hadiah buku itu mengucapkan terima kasih dengan penuh penghargaan atas pemberiannya, setelah itu membaca bukunya sampai tuntas, kemudian menyimpan dan merawat bukunya yang akan menambah daftar koleksi buku-bukuku.

Ngomong-ngomong koleksi buku, kalau aku selesai kuliah di Jepang, bakalan perlu dana besar untuk mengirimkan paket buku-bukuku ke Indonesia. Andai saja aku punya rumah di Jepang, aku tak perlu repot memaketkannya, bahkan bisa memiliki perpustakaan mungil yang isinya buku-buku kesukaanku. Meskipun saat ini buku-bukuku sudah numpuk, tidak semuanya akan kukoleksi. Sebagian akan kusumbangkan setelah selesai kubaca.

Buku yang kutamatkan kali ini, memberi kejutan yang menggelitik hati dan sang pemberi hadiah buku ini. Duhai Fajar, semoga aku bisa melihatmu kembali menyaksikan mentari menyapa pagi untuk menyinari bumi. Selamat menikmati waktumu bersama keluarga. Doaku lirih dalam hati.

Aku baru pertama kalinya merasakan sesenang ini diberikan buku. Terkadang aku menganggap Fajar hanya sebatas teman biasa. Anehnya apa yang dia lakukan selalu luar biasa dimataku. Untuk anak seiseng dia pada sahabat-sahabatnya, aku tidak menyangka dia bisa melakukan sesuatu yang sangat manis. Mengajakku ke toko buku.

Meskipun sudah empat minggu berlalu, setiap kali mengingat kejutan yang diberikan Fajar, suasana hatiku penuh kehangatan mengenangnya, dan masih saja kadang hatiku sering bertanya-tanya. Ada apa dengan Fajar? kadang dia sering gugup dihadapanku. Padahal aku tahu dia anaknya rame banget, apalagi kalau sudah berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Tapi kalau ada aku di tengah kerumunan mereka, aku melihat Fajar yang menyenangkan tapi berbeda.

Kuharap ini hanya pikiranku yang salah. Aku dan dia memang tidak ada apa-apa. Aku tidak boleh menyalahartikan segala kebaikan yang telah diberikannya. Apa pun bentuk kebaikan yang dia berikan padaku. Aku akan berterimakasih dan sangat menghargainya.

 Aku baru tersadar, satu bulan berlalu tanpa kabar. Ada rasa yang entah apa namanya. Rindu? Ah, terlalu dangkal pikiranku untuk cepat menyimpulkan akan apa yang aku rasakan ini. Sudah berkali-kali kucoba untuk menuliskan pesan di Line, hanya untuk sekadar bertanya bagaimana keadaan mamanya. Lagi-lagi kuurungkan niatku. Hingga akhirnya aku uring-uringan sendiri. Aneh sekali mengalami hal seperti ini.

Berkali-kali aku tanya ke dalam diri apa yang sedang terjadi dengan perasaanku. Aku seolah ditampar oleh kenyataan bahwa jarak seringkali bisa dijadikan percobaan, apakah seseorang yang selama ini sering hadir di kehidupanku terasa berjarak atau mendekat meski terbentang ribuan kilometer jauhnya untuk bisa saling sapa dalam wujud nyata.

Saat dia jauh, aku baru merasakan sebuah kehilangan. Meskipun tidak bertemu setiap hari, tapi aku tahu dia tidak terlalu jauh untuk kujangkau jika sewaktu-waktu ingin bertemu hanya untuk bertegur sapa, bicara tiada ujungnya kalau membahas buku—hanya buku, di luar itu memang sangat jarang bahkan hampir tidak pernah jika bukan karena keceplosan atau refleks begitu saja untuk cerita, seperti saat di taman dan Fajar nyusul ke sana. Aku bercerita sedikit tentang ranah privasiku.

Dia tidak menghakimi, hanya mendengarkan, tidak pula melontarkan komentar yang sekiranya akan merusak suasana hatiku. Dia tahu bagaimana memanfaatkan dua telinga hanya untuk mendengarkan. Dia tahu, aku butuh didengarkan. Hidupku tidak perlu dikomentari. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan dia yang mau mendengarkan.

Terkadang saat berjauhan, hal-hal sederhana yang pernah dilakukan seorang teman yang melakukannya dengan hati tulus, barulah terasa berarti. Kehilangan? Aku mencoba menyadarkan diriku dan menanyakan pada diriku sendiri. Apakah benar aku akan merasa kehilangan? Berkali-kali kutanyakan, jawabannya selalu sama.

Notifikasi pesan di Line-ku berbunyi. Aku hiraukan, karena masih sibuk dengan pikiranku yang memiliki banyak pertanyaan. Sayangnya, aku yang bertanya, dan aku pula yang menjawab. Macam kurang kerjaan, tapi malam itu aku hanya ingin rebahan saja setelah menamatkan judul buku yang sudah beberapa hari ini aku baca serius, satu jam menjelang tidur serta di jam-jam kosong menjelang tengah malam.

***

Fajar sebenarnya ingin sekali menguhubungi, tapi bingung mulai dari mana. Padahal apa susahnya hanya sekadar menyapa, atau bilang halo, tanya kabar dan sebagainya. Terdengar klise, hanya saja itu kata-kata sederhana untuk membuka obrolan meski bukan lewat tatap muka, melainkan chatting di aplikasi.

Apakah buku yang dia berikan sudah dibacanya, atau tergeletak begitu saja? Lagi-lagi benaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Sebagian dari dirinya merutuki diri sendiri atas segala kebodohan yang dia lakukan. Lagian, tinggal nulis pesan, kenapa dibuat ribet?

Fajar hanya bolak balik di kasur. Tak sanggup memejamkan mata yang terlanjur tidak mengantuk. Dia mendengar notifikasi di ponsel pintarnya. Malas sekali membukanya, hanya ingin menatap langit-langit di kamarnya. Sesekali tarikan nafasnya terdengar berat, seperti orang yang sedang sakit. Padahal dia merasa baik-baik saja. Tepatnya tubuhnya sehat, tapi hatinya tidak. Aneh sekali.

Belum pernah Fajar merasakan perasaan yang hebat dan aneh seperti ini. Dia coba membalik-balikkan badannya, tapi masih saja tak mampu memejamkan mata.

Dia duduk dan dengan malas-malasan, lalu membuka ponsel pintarnya. Ada banyak chatting di grup Line. Yang paling rame tentu saja di Grup Geram. Rupanya sahabat-sahabatnya menanyakan kabar Fajar juga perkembangan kesehatan Mama. Biasanya dia paling cepat dalam merespon. Sudah beberapa jam dia memang tak berminat membukanya.

Tak disangka, mereka begitu mengkhawatirkannya. Bahkan Akira dan Toshio sampai japri. Ada beberapa panggilan tidak terjawab. Waduh, mereka sampai sebegitu perhatiannya sama aku, pikir Fajar.

Fajar buru-buru meminta maaf di grup, begitu pula pada Akira dan Toshio. Dia bilang dari tadi lagi jauhan sama ponsel pintarnya. Mereka pikir terjadi sesuatu dengannya. dia sekalian bilang, sebenarnya dia kangen kumpul dengan mereka yang langsung dijawab riuh dan diledekin anak-anak yang gak nyangka kalau mereka sebegitu dikangeninnya sampai-sampai gak mau muncul di grup.

Yang lebih rese tentu saja Akira, lewat chat jalur pribadi, dia meledek Fajar dan bilang bisa jadi yang dikangenin Fajar bukan saja mereka. Pakai acara nanya segala, kangen gak sama Senja? Kalau ada orangnya di depannya, ingin rasanya Fajar menjitak sobatnya yang kadang rese, tapi banyak benernya kalau urusan menebak suasana hatinya.

Fajar mengalihkan obrolan dengan menanyakan kabar keluarga Akira. Dasar anak ini, paling gak bisa dibelok-belokin kalau obrolannya dialihkan. Sebelum dapat jawaban, dia pantang menutup obrolan yang dihindari Fajar, dan tingkat kekepoan anak ini memang bener-bener menyebalkan kalau sudah urusannya isengin Fajar. Sengaja banget ingin membuat Fajar makin mangkel.

Karena belum berhasil memperoleh pengakuan Fajar—yang sebenarnya kangen banget sama perempuan yang selalu terbayang dalam benaknya. Hanya saja dia terlalu gengsi mengakuinya—apalagi sama Akira.

“Jar, kata Kak Harumi yang ketemuan sama sahabatnya itu. Waktu main ke rumahnya, ternyata Senja baru saja melahap buku-buku pemberian temannya. Entah dari teman siapa. Tapi setahu Kak Harumi, dia gak pernah sesenang itu mendapat hadiah, berupa buku. Dia juga cerita lagi ngelarin baca buku berjudul Musashi, waktu Kakakku ajak main.”

Fajar tahu, Akira hanya sedang memancingnya dengan cerita dari kakaknya. Walaupun sebenanrnya jauh di lubuk hati Fajar, dia bahagia mendengar kabar dari Akira.

“Aku baru sadar, Jar. Sehari sebelum kamu pergi, setahuku kamu lagi main ke toko buku. Aku lupa tanya kamu pergi dengan siapa. Apa jangan-jangan kamu pergi dengan Senja? Atau jangan-jangan buku yang diberikan pada Senja itu dari kamu?”

DEG!!!! Jantung Fajar berdebar membaca pesan dari Akira.

Waduh, anak ini paling bisa deh, gerutu Fajar.

“Woooiiii, Bro. Sejak kapan profesimu berubah jadi detektif?” guraunya berusaha tak terpancing.

Lihat selengkapnya