43
Nyatanya, mudah mengatakan. Tapi tetap sulit untuk dilakukan. Fajar terlalu mengedapankan ego. Gengsi menghubungi duluan, padahal apa salahnya kirim pesan hanya sekadar say helo.
Dia terlalu sibuk memikirkan apa pendapat aku setelah menerima buku-buku pemberiannya, yang awalnya dia bilang untuk seseorang yang spesial. Aku membantu dengan sungguh-sungguh mencarikan buku, yang ujung-ujungnya ternyata Fajar kasih untukku.
Sebagai seorang amatir dalam urusan cinta, serta minim akan sinyal-sinyal perempuan. Jelas saja Fajar tidak bisa berharap lebih. Fajar harusnya sadar dari awal bahwa wanita yang dihadapinya spesies langka.
Dan justru karena langka, maka triknya mesti Fajar cari dengan sungguh-sungguh agar pesan-pesan lewat kode yang Fajar berikan bisa sampai ke hatiku. Memikirkan hal ini membuat Fajar senyum-senyum sendiri di kamar. Entah cicak akan berpikiran apa jika melihatnya saat itu.
“Jatuh cinta itu kadang aneh. Bisa bikin orang waras senyum-senyum sendiri padahal gak ada orang yang ngajak senyum.” Sebuah suara sukses membuat senyum Fajar berhenti seketika dan melirik ke arah pemilik suara.
“Woooiii, De. Kalau masuk kamar orang itu ketuk-ketuk pintu, bukan nyelonong seenaknya.” Fajar bersungut-sungut ke arah adiknya sambil memelototinya. Sementara adiknya hanya nyengir melihat kelakuan abangnya.
“Maaf, Bang. Seneng saja lihat Abang senyum-senyum. Lagian kenapa sih Bang, beberapa hari terakhir ini kerjaannya hanya di kamar saja. Anak muda kalau malam minggu diam di kamar memang suka aneh, Bang” adiknya yang usil sedang menganalisis abangnya.
“Lagian malam minggu mesti ke luar rumah itu perintah siapa? Itu mah hanya kebiasaan saja, bukan kewajiban. Kalau mau, ya keluar. Kalau gak mau, mending di rumah saja. Hemat uang, gak perlu menghamburkan uang hanya untuk jalan-jalan dan nongkrong gak jelas.” Fajar membela diri.
“Ternyata Abangku masih sama kayak Abang yang dulu sebelum kuliah di Jepang. Bukan pemuja dan penikmat malam mingguan.” Adiknya nyengir-nyengir saja. Kalau melihat gelagatnya, Fajar tahu adiknya lagi butuh bantuannya.
“Kamu lagi ada perlu apa, De? Gak usah ganggu Abang, sana keluar.” Fajar mendorong tubuh adiknya agar dia menyingkir dari pandangannya.
Tapi dia tetap tak bergeming. Pantang keluar kamar abangnya sebelum maksud dan tujuannya tercapai.
“Bang, tolong bantuin aku bungkusin pepes tahu isi jamur, yuk.” Ajak adiknya sambil memelas. Fajar langsung menutup kupingnya dengan bantal dan pura-pura tidur. Malas sekali menuruti permintaannya. Sayangnya adiknya terus-terusan memaksa.
“Mama lagi istirahat. Biasanya Mama yang bantuin aku. Tapi aku gak mungkin minta tolong dan ganggu Mama. Mendingan minta tolong Abang saja. Ayo buruan, Bang.”