Senja

hafitalia
Chapter #47

46

46



Aku masih saja gagal move on dari perasaanku. Ada rasa sedih yang terus menggelayuti. Ada rasa marah yang juga belum reda. Aku terus berusaha melangkah setapak demi setapak agar bisa berdamai dengan masa laluku, berdamai dengan hatiku. Bagi kebanyakan orang, mungkin mudah saja menerima kenyataan tentang patah hati. Sayangnya kondisi psikologis setiap orang itu tidak bisa disamaratakan. Dan aku termasuk orang dengan kondisi psikologis yang rapuh. Terlihat baik-baik di luar, tetapi berperang hebat di dalam dengan batinku.

Mudah bilang cari saja pengganti yang lain, tapi aku tidak mencari seseorang untuk menggantikan posisi seseorang di hatiku. Kalau pun ada seseorang tersebut, dia bukan pengganti—itu sungguh tidak pantas. Dia akan menjadi seseorang yang spesial. Itu saja. Bagaimana aku bisa tahu dia benar-benar spesial, entahlah aku belum menemukan formula untuk mengukur kadar tersebut. Mungkin bila hati sudah yakin, sesederhana apa pun perasaan itu, maka aku akan menikmati perasaan tersebut dengan kesungguhan, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.

Masih dengan bayangan Dika yang terus menghantui. Beberapa orang pria yang datang dalam kehidupanku setelah Dika. Belum ada getaran yang sanggup meyakinkanku tentang betapa berartinya arti kehadiran orang baru untukku. Mungkin tidak sekarang, tapi entah di masa depan. Aku yakin cinta memang selalu datang dengan cara yang mengagumkan, tak pernah disangka dan tak pernah diduga.

Seringkali aku merasa bersalah menolak beberapa ajakan dari Fajar. Bukan aku tak mau, tapi waktu kita yang belum tepat. Selalu saja ada rencana-rencana yang di luar kemampuan kami yang tidak bisa terelialisasikan. Tidak saat ini, tapi akankah ada kesempatan lain di bulan-bulan berikutnya? Mengingat beberapa bulan lagi, aku akan menyelesaikan tesisku. Tinggal hitungan minggu saja.

Setelah kuliahku berakhir, akankah ada pertemuan lain yang bisa terjadi antara aku dan Fajar? Mungkin saja tidak, sebab dia akan melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Meksipun hingga saat ini belum terkonfirmasi universitasnya.

Memikirkan Fajar, kadang membuatku bingung sekaligus menyenangkan. Ada banyak kenangan manis yang tercipta di antara kami sebagai selama menjalin pertemanan. Selain itu, ada rasa hangat yang muncul ketika aku bisa menghabiskan waktu bersamanya. Dan ini baru kusadari setelah bulan-bulan berlalu tak pernah bertemu lagi. Terakhir bertemu saat dia memergokiku dengan seorang pria yang sedang membujuk hatiku agar mau bersamanya—kakak seniorku yang sedang ambil kuliah S3, Attala.

Apakah harus berpisah dan ada jarak yang bisa membuat kita bisa saling bertemu baru tersadar akan betapa berartinya kehadiran seseorang. Meskipun aku terlanjur membenamkan diri dengan berbagai kesibukan yang aku jalani. Seharusnya aku memberi sedikit waktu serta kesempatan untuk bertemu dengan teman sebaik Fajar.

Mungkin nanti setelah tesisku kelar, aku akan mengirim masakan untuk Fajar dan sahabat-sahabatnya. Aku coba menghibur diri ketika kerinduaan menyapa di kala senja datang menyapa di sore hari.

***

Setelah berjibaku dengan urusan tesis dan sidang, hingga akhirnya dinyatakan lulus. Aku mempersiapkan diri untuk wisuda dan menghadirkan kedua orang tuaku ke acara wisudaku.

Selama ini aku bekerja keras dan menabung, sebab aku ingin kedua orang tua dan adikku datang di acara wisuda. Saking sibuknya mempersiapkan banyak hal, aku sampai tidak ingat memberi kabar kepada teman baikku Fajar, kalau seminggu lagi aku akan wisuda.

Di hari wisuda, aku juga lupa memberi kabar. Kegembiraanku bisa menyaksikan kedua orang tuaku yang hadir di acara wisudaku benar-benar membuat hariku itu terasa spesial.

***

Akira mengabari Fajar kalau Kakaknya Harumi dan aku akan wisuda minggu depan. Ada kesedihan yang menyelimuti Fajar. Sedih karena aku sudah sulit dihubungi juga diajak ketemu, lebih sedihnya lagi saat aku wisuda tidak mengabari. Walau bagaimana pun, Fajar tidak menyalahkan aku.

Sebagai teman, dia ingin mengucapkan langsung ucapan selamat dan Fajar turut berbahagia atas pencapaiannya. Dia niatkan untuk datang ke acara wisuda tanpa sepengetahuanku.

Ketika waktunya tiba, pagi-pagi dia sudah dandan rapi. Setibanya di tempat tujuan, Fajar di telepon Akira kalau Hideki masuk rumah sakit. Sontak saja dia langsung meluncur menuju rumah sakit menjenguk sahabatnya. Tanpa berpikir panjang lagi. Ternyata sahabatnya ini terkena demam berdarah sehingga harus dirawat. Karena orang tuanya berada di perfektur berbeda, berdasarkan kesepakatan, maka Fajar, Akira, Toshio, dan Yusihiro akan bergantian untuk menjaga sahabatnya. Mereka bergantian untuk menemani Hideki di rumah sakit.

Setelah berunding, Toshio dan Akira giliran pertama yang menemani Hideki di rumah sakit. Seakan bisa memahami kekusutan batin Fajar, Akira menyarankan Fajar agar pergi menemuiku ke rumah. Fajar menolak mentah-mentah saran Akira. Entah ada apa dengan suasana hatinya yang akhir-akhir ini terlihat muram.

Pulang dari rumah sakit, Fajar menggeret kakinya menuju tempat makan ramen kesukaannya. Siapa tahu tempat itu bisa menghibur suasana hatinya yang buruk ditambah perutnya sudah seharian belum diisi sebutir nasi atau bahkan camilan pengganjal lainnya.

Sesampainya di restoran, Fajar mengambil posisi duduk paling pojok. Sayang, tempat yang dia incar sudah lebih dulu di tempati orang lain.

Saat sedang mencari bangku kosong, ada seseorang yang memanggil namanya.

“Fajar, sini duduk bareng saja,” panggil sebuah suara yang tidak begitu familiar, tapi bagaimana dia tahu namanya, pikir Fajar setengah bingung. Ketika dia masih sibuk mencerna tentang siapa gerangan orang yang memanggilnya.

Ada sebuah tepukan halus di punggunggnya. Ketika Fajar menengok, sontak dia langsung terperanjat.

“Om, wah bisa ketemu lagi,” ucap Fajar yang masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutnya. Senang sekali dia bisa bertemu dengan salah satu pelanggan Papanya, yang sempat berkali-kali bertandang ke toko tanaman hias milik Papa.

“Iya, Om sampai lupa kalau kamu kuliah di negara yang sama dengan anaknya Om. Coba kalau ingat, kita kan bisa janjian ketemu.” Sesal pria berusia lebih dari setengah abad ini.

“Jangan bengong saja. Ayo gabung sama kami.” Ajak pria tersebut.

Kali ini Fajar tidak bisa menolak. Bertemu dengan seorang yang dia kenal di tanah perantauan itu sungguh sangat menyenangkan dan menggembirakan hati Fajar yang sedang galau. Fajar merutuki nasib buruk yang tidak berpihak padanya hari itu.

“Om ada acara apa di Tokyo? Apakah sedang berlibur atau dalam rangka bisnis?” tanya Fajar sopan, tapi dengan tampang yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Wisuda anaknya Om. Kenalkan ini istri dan anak Om, anak yang satunya lagi sedang ke toilet,” ucap pria yang meskipun di usianya yang tidak muda lagi, tapi sisa-sisa ketampanannya di masa muda seakan tidak memudar.

“Halo Tante, kenalkan aku Fajar,” sapanya pada wanita berhijab yang tersenyum ramah ke arahnya. Ah, sungguh membuat dia rindu Mama, keluh Fajar dalam hati yang tiba-tiba merindukan Mama hanya dengan melihat wanita di depannya.

Sambutan yang hangat begitu menggembirakan hatinya, selanjutnya Fajar berkenalan dengan salah satu anaknya.

Sedang asyik-asyiknya ngobrol, kini ada suara yang sudah lama dia kenal dan telah bersemayam dalam benaknya.

“Fajaaaar???” Fajar benar-benar tercengang melihatku yang kini ada dihadapannya. Untuk sepersekian detik Fajar terkesima melihat penampilan aku yang cukup berbeda. Biasanya nyaris tanpa riasan, sedangkan hari ini karena hari wisuda, tentu saja aku berdandan rapi dan memakai riasan.

“Senjaaaa?”

Kami berdua sama-sama tertegun, tidak menyangka setelah berbulan-bulan, akhirnya bisa bertemu di tempat biasa kami makan ramen.

“Ini kalian berdua sudah saling kenal?” tanya Om yang tidak lain dan tidak bukan, pria yang ada dihadapannya ini ternyata Bapaknya Senja. Melihat kenyataan ini bagi Fajar merupakan kejutan di luar dugaan. Tidak pernah membayangkan dalam hidupnya bahwa dia bisa secepat ini bertemu dengan kedua orang tua Senja.

“Maaf Senja, aku ikut gabung dengan keluargamu. Tadi Om memanggilku” Sebenarnya bukan kata-kata ini yang ingin dia ucapkan. Fajar ingin bilang selamat karena aku sudah wisuda. Namun apa daya, dia mendadak gelagapan dihadapanku.

“Iya. Kami sudah saling kenal, Om. Tak kusangka, anak yang dimaksud Om adalah Senja.” Fajar berusaha jujur dengan apa yang dia lihat dan rasakan saat ini. Sungguh, dia tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiaan, setelah berbulan-bulan tidak bertemu denganku.

Bagaimana Fajar bisa kenal dengan Bapakku, pikirku. Dan otakku terus menerus tak berhenti bertanya. Ingin sekali menanyakan pada Bapak, ada obrolan apa dengannya.

“Selamat ya Senja, untuk kelulusan dan prestasimu yang luar biasa.” Akhirnya Fajar bisa lancar juga mengucapkan selamat padaku yang masih memiliki banyak pertanyaan dibenakku.

“Tadi aku sudah sampai gedung tempat kamu wisuda, dan mau menyampaikan selamat. Hanya saja aku dapat kabar kalau Hideki masuk rumah sakit, dan aku langsung nyusul ke sana.” Fajar menjelaskan.

“Terima kasih, Jar.” Mendapati kenyataan bahwa Fajar tadi ingin ke acara wisudaku, entah kenapa hatiku sangat senang sekali. Meskipun tidak jadi, tapi penggantinya sangat luar biasa. Kini kita bisa makan bersama. Satu hal yang tak kuduga, dia mengenal Bapakku. Dilihat dari bahasa tubuhnya mereka sudah akrab. Meskipun Bapak tidak pernah cerita mengenal pemuda yang ternyata sahabatku sendiri.

“Kalian ini kayak sudah lama tidak ketemu. Ayo pada pesan makan sekalian.” Bapak menyuruh kami segera memesan makanan, dan sambil menunggu pesanan tersaji, kami asyik mengobrol.

“Aku memang sudah cukup lama tidak bertemu Fajar, Pak.”

“Kalian memang beda kampus?” Kini Bapak mengernyitkan dahinya, sebelum aku menjawab, Fajar sudah mendahului.

“Satu kampus, Om. Senja adalah Kakak kelasku. Dan karena aktivitas kami yang cukup padat, jadi susah juga untuk ketemu.” Fajar menjelaskan dengan lebih baik pada Bapak, dan aku menambahkan.

“Beberapa bulan terakhir ini aku sangat bekerja keras menyelesaikan tesisku, Pak. Gak sempat untuk sekedar main sama teman-teman, juga Fajar.”

“Kamu kalau sudah fokus memang seringkali lupa samping kiri dan kanan, bahkan temanmu sendiri.” Kini Ibu angkat bicara sambil melemparkan senyum sedih pada anak gadisnya ini.

“Bapak, gimana bisa kenal dengan Fajar?” Kini aku tak sabar ingin mendengar cerita dari Bapak.

Lihat selengkapnya