Senja

hafitalia
Chapter #48

47

47


Pada saat musim gugur tiba, rencana itu bisa terwujud. Fajar mengajak aku, Harumi, Akira, Hideki, Toshio, dan Yusihiro pergi liburan bareng.

Kami hanya disuruh membawa peralatan trekking secukupnya, perbekalan secukupnya. Dua minggu sebelum keberangkatan, aku pun giat berolahraga mempersiapkan diri untuk sebuah petualangan seru yang akan kami habiskan bersama-sama.

Masing-masing dari kami sering lari pagi, karena disuruh Fajar yang selalu cerewet mengingatkan aku dan yang lainnya. Hebatnya kami semua menuruti semua perintah Fajar. Aku tahu, ini boleh jadi akan menjadi perjalanan yang sangat memorable untuk kami.

Pukul lima pagi, aku sudah jalan menuju stasiun. Kami janjian di stasiun Shibuya. Aku tiba duluan, disusul Fajar bersama Toshio, dan Akira dengan Harumi, juga Hideki, dan Yusihiro.

Setelah itu kami berangkat dengan Shinkansen menuju stasiun Dentetsu Toyama. Setelah itu ganti kereta ke stasiun Tetayama. Kemudian sang ketua geng mengomando perjalanan kami.

“Yuk, guys kita naik cable car sampai ke Bijodaira.” Ajak Fajar penuh antusias, yang di respon dengan penuh semangat oleh kami berenam.

Woi, ini perjalanan bakalan seru parah!” Akira tak kalah antusias, si pecinta alam yang satu ini memang gokil banget kalau sudah diajak jalan-jalan, semangatnya luar biasa. Pecicilan banget, beda dengan Toshio, Hideki dan Yusihiro yang masih kalem-kalem saja—khas Jepangnya memang tidak pernah pudar. Kalau Akira memang sudah terpengaruh Fajar yang sama-sama rame.

Kemudian setelah itu transfer ke Tetayama Highland Bus untuk menempuh perjalanan ke Bijodaira-Midagahara-Murodo. Di sepanjang jalan dengan highland bus, Fajar membawa kami melewati air terjun Shomyo yang konon kabarnya adalah yang terpanjang di Jepang. Sayangnya hanya sempat melihat dari dalam bus saja, sebab kami akan turun hiking di Midagahara.

Aku, Harumi dan Geng Ramen datang tepat di musim gugur, telihat warna warni indah mempesona di Midagahara. Cuaca sedang bersahabat, pas ketika puncak musim gugur ini tiba. Disuguhi pemandangan yang sangat spektakuler membuat kami makin terpesona, mata kami dibuai keindahan alam.

Aku berkali-kali tak terhitung mengucap nama-nama indah-Nya. Berterimakasih pada Tuhan tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan betapa bersyukurnya aku bisa menikmati keindahan luar biasa ini. Tak kusadari Fajar mendekat ke arahku sambil membisikkan kata-kata.

“Senja, ini belum seberapa, masih banyak kejutan lain yang akan kita temukan.” Dan aku semakin terkejut saja mengetahui hal itu, tepat ketika bisikan itu tiba di pendengaranku, kedua alis mataku pun terangkat.

Rupanya Akira memergoki Fajar.

Woiii, Bro. Ngapain bisik-bisik sih!

“Senja, kasih tahu dia ngomong apa.” Pinta Akira yang tampak penasaran dengan apa yang dibisikkan Fajar kepadaku.

Sementara Harumi hanya senyum-senyum saja melihat kelakuan adiknya.

Huuuuu, kepo!” sahut Fajar pada Akira. Yang disambut gelak tawa oleh kawanan manusia yang sedang mengagumi keindahan Sang Maha Pencipta.

 “Tuhan, pemandangannya indah sekali,” gumamku yang tak berhenti mengagumi keindahan yang tersaji di depan mataku.

Hideki, Akira, Harumi, Yusihiro juga Fajar sering terpaksa berhenti hanya untuk menyejajarkan langkahku. Aku jadi tidak tega melihat mereka yang terbiasa jalan cepat, harus kena imbasnya gara-gara aku terpana dengan apa yang aku lihat, sehingga sering berhenti. Mereka sudah terbiasa melihat keindahan negeri ini. Sementara aku, merasa takjub sendirian, karena ini trekking pertamaku di negeri sakura.

Guys, duluan saja. Aku menyusul.” Akhirnya aku meminta mereka agar tidak perlu menunggu.

“Terlalu indah untuk mempercepat langkah, sayang banget,” ucapku sambil memasang satu jari manis, dan satu jari tengah di depan wajahku, tanda aku minta berdamai dengan mereka agar tidak usah terus-terusan mengalah memperlambat langkah hanya gara-gara aku.

Mereka berenam mengangguk, tapi tiba-tiba Harumi bilang, “Nada, yakin gak apa-apa kita jalannya cepat?” Dia terlihat ragu.

“Iya, tenang saja. Aku bukan tidak bisa melangkah cepat, aku ingin menikmati keindahan ini sambil jalan santai bukan jalan cepat,” ucapku meyakinkan mereka.

“Jar, mendingan kamu temenin Senja, deh. Kalau ada apa-apa setidaknya kamu yang akan bertanggung jawab.” Akira mengusulkan yang diamini oleh semuanya.

Fajar tanpa ragu menyanggupinya.

“Ok Akira. Kamu pimpin mereka sampai di tempat tujuan,” ujar Fajar memohon bantuan sahabatnya.

Akira mengangguk mantap, meyakinkah Fajar bahwa dia bisa memimpin rombongan, kemudian berpamitan.

“Douzo,[1] Aki.” Fajar mempersilakan Akira untuk duluan.

“Ikimashou!”[2] Akira mengajak Harumi, Hideki, Toshio dan Yusihiro. Mereka berlima melanjutkan perjalanan dengan ritme jalan cepat. Sementara aku dan Fajar tidak terburu-buru.

“Baru pertama kali, ya?” tanya Fajar sambil menyodorkan botol air mineral ke arahku.

“Iya, Jar. Cakep banget pemandangannya. Terima kasih ya, sudah ngajak aku ke sini. Kamu sudah terbiasa pergi hiking?”

“Iya, Senja. Ini salah satu tempat favorit yang pernah aku kunjungi selama tinggal di Jepang. Tapi baru pertama kali kalau pergi rame-rame gini. Seringnya aku pergi sendiri. Yuk, jalan lagi. Kalau cape, bilang ya. Nanti kita istirahat.” Ajak Fajar.

Aku hanya mengangguk tak banyak berkata. Aku jalan di depan, sementara Fajar di belakangku. Tadinya aku menolak, tapi karena Fajar takut jalannya terlalu cepat, dia memintaku untuk jalan lebih dulu.

Melewati satu per satu tangga yang kulalui saat trekking ini, membuatku semakin bersemangat untuk menantikan keindahan yang akan aku nikmati selanjutnya. Di tengah kenyamanan yang ditawarkan oleh cuaca puncak musim gugur dan tak hentinya aku mengagumi panorama alam khas musim gugur yang sangat indah ini, aku berpikir ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Aneka daun berwarna kecoklatan sungguh sedap dipandang mata, aku tersenyum lebar menyapu pemandangan cantik yang ada dihadapanku di sepanjang jalan.

Tak berapa lama setelah melewati satu per satu anak tangga, saat jalanan mendatar di atas kayu-kayu yang tersusun rapi. Aku menyaksikan pemandangan yang tak kalah spektakuler dari alam yang aku lihat.

Sepasang Kakek dan Nenek, mereka sedang istirahat. Sambil duduk, mereka membuka bekal, bersenda gurau. Cinta yang terpancar dari kedua mata yang kutangkap sekilas, sungguh membuat pemandangan alam kalah indah dengan apa yang ada dihadapanku.

Aku berhenti, disusul Fajar yang belum menyadari apa yang kulihat.

“Ada apa Senja?” tanyanya sedikit khawatir. Dia pikir aku kenapa-napa.

“Lihat, Jar.” Aku memberi kode dengan pemandangan di depan mata.

Tak berapa lama, Fajar memintaku untuk kembali jalan. Setelah melewati sepasang sejoli ini, dia akhirnya bersuara.

“Romantis, ya. Aku sungguh iri jika melihat pemandangan seperti itu. Aku tak pernah iri jika melihat pasangan muda mudi berpasangan terlihat romantis—itu terlalu biasa. Bagiku menyaksikan sepasang Kakek dan Nenek tampak mesra hingga tua dan masih bisa hiking bareng, itu baru luar biasa. Meskipun ini pemandangan biasa di negeri ini selama aku pergi traveling ke beberapa tempat di Jepang.” Ungkap Fajar.

Kali ini aku tak bisa berkomentar lagi. Apa yang dikatakan Fajar begitu meresap dalam kalbuku. Bahkan bukan saja dia, aku pun iri menyaksikan kesederhanaan dari Nenek dan Kakek yang aku temui, mereka melakukan hiking berdua di usia yang sudah senja.

Hei, diam saja. Masih kepikiran dengan pemandangan semenakjubkan itu, ya?” Fajar terheran-heran denganku yang baru saja tersadar dari lamunan.

“Haha, bisa saja Jar. Kupikir aku hanya akan bertemu pemandangan alam. Ternyata pemandangan manusia saat usia sudah senja bisa membuatku kepikiran juga,” ujarku berterus terang pada Fajar.

“Ini belum seberapa. Nanti bakalan bikin kamu ternganga.” Fajar kembali memamerkan tampang misterius.

“Kasih tau dong, Jar.” Aku memelas meminta diberitahu.

“Sudah, yuk jalan lagi.” Ajaknya mempercepat langkah.

Setelah trekking satu jam lebih, aku dan Fajar menyusul sahabat-sahabat yang sudah lebih dulu berada di lobi hotel Midagahara, yang berada di ketinggian 1.930 mdpl.

Setibanya di sana, aku dan Fajar mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat kosong sambil mencari Harumi, Akira, Hideki, Toshio, dan Yusihiro yang sudah tiba lebih dulu. Ternyata mereka duduk dekat dengan jendela agar bisa menikmati hidangan sambil menatap pemandangan indah.

Baru saja aku mau menurunkan tas dari punggungku, Harumi sudah berteriak girang.

Horee, tsukimashita![3] Nada dan Fajar,” sambutnya.

Rupanya dia telah menungguku, dan sahabatku gembira ketika kami berkumpul lagi.

Aku dipesankan menu yang sama dengan Fajar juga mereka berlima yaitu apple pie. Setelah duduk, barulah kami bertujuh makan bersama. Mereka berlima memilih menunggu kami berdua dibanding makan duluan, demi kebersamaan.

Tabeyouka.”[4] Ajak Akira.

Kami mengangguk dan mulai menyendoki apple pie ke mulut masing-masing.

Umai[5],” Akira berkomentar sambil menikmati hidangan yang tersaji di piringnya. Dan mereka sepakat dengan Akira bahwa rasa apple pie-nya memang enak.

“Ada yang mau nambah lagi, gak?” tanya Akira.

Fajar, Harumi, Hideki, Toshio dan Yusihiro mengacungkan tangan, mereka mau tambah menu yang sama, sementara aku menggelengkan kepala.

“Nada, kenapa kamu tidak pesan lagi?” tanya Harumi penasaran.

“Onnaka ippai,”[6] ucapku.

“Wow, baru makan satu pie saja kamu sudah kenyang. Kita-kita masih kelaparan, Toshio menambahkan.

“Hehehe, iya, nih Tosh!” Aku hanya nyengir ke arah Toshio. Setelah itu, aku mulai khidmat menikmati sajian yang ada dihadapanku.

Posisi yang dipilih pun sangat strategis, dekat dengan jendela hotel. Sehingga kami sangat beruntung, hari itu bisa menikmati pemandangan sea of cloud. Aku semakin takjub dalam beberapa jam terakhir disuguhi keindahan-keindahan yang sangat spektakuler.

Lihat selengkapnya