Senja

hafitalia
Chapter #49

48

48


 

Awal bulan Januari, aku dan Fajar pulang ke Indonesia, memberi kabar gembira kepada keluarga masing-masing. Sebelum acara lamaran, Fajar membawaku ke rumahnya dan mengenalkanku pada kedua orang tuanya. Kedatanganku disambut hangat oleh Mama, Papa, dan adiknya Fajar. Aku senang akhirnya bisa mengenal lebih dekat keluarga Fajar. Aku cepat akrab dengan mereka.

Mendengar kabar dari Fajar kalau aku suka dengan tanaman, tentu saja ini merupakan kabar menyenangkan untuk Mama dan Papanya Fajar. Aku dibawa berkeliling melihat setiap sudut tanaman yang begitu luas, rasa-rasanya aku bisa kalap jika lama-lama berada di toko tanaman hias.

Pulangnya, aku dibawakan berbagai jenis tanaman. Bahkan Papa bilang jika aku mau, beberapa tanaman langka koleksi Papa bisa aku bawa pulang. Tentu saja aku sangat berterima kasih dengan kebaikan calon Papa mertuaku, sebagai pecinta tanaman hias, aku tidak tega untuk menerima tanaman hias langka yang diberikan secara percuma. Lagi pula aku berencana tidak tinggal lama, setelah ini akan merantau melanjutkan hidup di Jepang. Menjelang sore, aku pamit pada kedua orang tuanya Fajar, dan Fajar mengantarkanku pulang.

Tiga hari kemudian acara lamaran di langsungkan di rumahku. Aku mengundang keluarga besar dan beberapa sahabat saja.

Kabar mengenai lamaranku juga sampai ke telinga Paman Dimas, kedua orang tuaku juga turut mengundang Paman. Meskipun tidak semua keluarga khususnya adik dan kakak dari pihak kedua orang tuaku bisa datang, kehadiran Paman Dimas di acara lamaranku cukup mengejutkan, meskipun aku bersikap biasa saja.

Aku tetap bersopan santun sebagaimana biasanya sebagai keponakan. Aku menanyakan kabar Paman yang dijawab dengan nada datar saja. Seakan Paman masih saja bersikap perang dingin denganku karena kejadian tempo hari, padahal jika dirunut kejadiannya seharusnya aku yang masih menyimpan marah pada Paman, tapi apa gunanya, percuma saja hanya menambah penyakit. Namun, dari gelagat Paman aku bisa membaca bahwa Paman tidak cukup senang dengan kabar gembira yang sedang kurasakan.

“Nada, kamu yakin dengan pilihan kamu?” cibirnya saat aku bersalaman dengan Paman. Aku cukup tersentak dengan pertanyaan yang dilontarkannya, tapi aku masih bisa menahan diri dan memasang seribu jurus untuk menangkal setiap kata yang akan melesat dari mulutnya Paman.

“Jika aku sudah ada di titik ini, kenapa Paman masih meragukan? Bukankah orang yang melangsungkan lamaran sudah berada di tahap kesiapan dan juga keyakinan untuk berkomitmen dan mengikatnya dalam tali pernikahan?” Aku berkata dengan tenang sambil tak lupa tersenyum pada paman.

Respon Paman seperti yang sudah kuduga, selalu naik pitam jika ucapanku bukan yang diharapkannya, “Kamu ini tidak belajar dari pengalaman. Kejadian beberapa waktu lalu bareng Dika saat sudah lamaran kalian tidak jadi menikah memang tidak membuat kamu jera, hah?” Suaranya sudah mulai meninggi, sepertinya akan mengundang keributan besar jika aku ladeni, bahkan beberapa saudara mulai berkerumun dengan keributan kecil yang terjadi di rumah, sementara kedua orang tuaku saling melirik ke arahku, aku memberi kode pada mereka agar tidak perlu mencampuri pembicaraanku dengan Paman untuk menghindari terjadinya huru-hara.

“Justru karena aku belajar dari pengalaman, maka kini aku lebih mengenal dulu siapa calon imamku sebelum aku yakin dan memutuskan untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Tolong jangan samakan calonku yang sekarang dengan Dika, jelas dia berbeda, dan Paman belum mengenalnya.” Aku berkata santai, sementara raut wajah Paman makin terlihat memerah seakan kata-kata yang kuucapkan telah memojokkannya, padahal aku berkata sesuai fakta. 

“Dasar, kamu…..” belum selesai kalimat yang akan dilontarkannya, keburu terpotong dengan kehadiran keluarga Fajar di rumah orang tuaku.

Assalamualaikum.” Seluruh keluarga menjawab serentak calon imamku.

Waalaikumsalam, aku menjawab salam tersebut dalam hati karena dihadapanku masih ada Paman yang belum puas bicara denganku.

Ucapan salam keluarga Fajar cukup meredakan sedikit ketegangan antara aku dan Paman. Paman Dimas untuk sejenak menghentikan aksinya. Kupikir Paman tidak akan berulah, tapi aku terlalu berbaik sangka.

Baru saja keluarga Fajar dipersilakan duduk, rupanya Paman gatal jika tidak berkomentar.

“Oh jadi ini calon tunanganmu Nada, ternyata ada juga orang yang mau menikah dengan kamu.” Seketika suasana langsung hening. Paman menyeringai ke arahku.

Kulihat raut muka Fajar mengeras menahan diri, aku memberi sinyal ke arahnya agar jangan pedulikan kata-kata Paman, aku memohon, sementara dia sepertinya masih tidak bisa menerima walaupun akhirnya mengalah demi aku.

Lihat selengkapnya