EPILOG
Dulu aku pernah memimpikan bisa hidup berdampingan dengan seseorang yang mau duduk atau berdiri bersamaku sambil menatap langit senja, menikmati momen suguhan alam semesta saat matahari berpamitan untuk mengucapkan sampai jumpa.
Meskipun sejak lahir hingga kini, aku menatap bola raksasa yang sama—matahari yang sama, tapi bagiku terasa berbeda, karena setiap hari aku mengalami hari yang berbeda. Bendanya sama, tapi momennya berbeda. Kini aku tidak sendirian mengagumi indahnya panorama menakjubkan menjelang matahari condong ke ufuk barat. Dalam setiap momen matahari akan tenggelam, suamiku menggenggam erat tanganku dengan penuh kehangatan sambil memeluk punggungku sebagai tanda bahwa dia siap melindungiku, dia tersenyum padaku dan menatap dengan lembut. Seperti halnya saat dia membawaku mengunjungi Pantai Chichibugahama, di Perfektur Kanagawa.
Jika selama ini aku sering menikmati pemandangan indah kala senja di Tokyo, maka setelah menikah Fajar membawaku mengunjungi tempat-tempat indah menikmati sunset di luar kota metropolitan yang menyajikan nuansa berbeda dan penuh pesona.
Saat kakiku menyentuh pasir di pantai, tak hentinya aku memamerkan wajah ceria ke arah suamiku yang disambut tawa lembutnya yang menggembirakan hatiku. Sesekali dia memberikan cipratan tipis air laut ke arah mukaku, yang kubalas dengan hal yang sama. Kami seperti anak kecil yang sedang asyik bermain air di pantai. Fajar memang selalu penuh kejutan, karena dia mengajakku ke tempat nomor satu terbaik untuk menyaksikan matahari terbenam di Jepang, tepat di situs yang sangat menakjubkan ini, bahkan telah disamakan dengan Salar de Uyuni, danau garam terkenal di Bolivia. Saat air surut, pantai berubah menjadi cermin raksasa. Ketika kami asyik bersenda gurau, kami melihat warna matahari yang berubah jadi oranye, dan tampak di depan mata kami adalah matahari yang seolah tengah meleleh ke dalam laut. Pemandangan yang sangat cantik sekali, dan telah menciptakan salah satu matahari terbenam paling spektakuler yang pernah kami lihat berdua, saat kami berpelukan tak terasa air mata kami meleleh di kedua pipi masing-masing melihat panorama yang menentramkan jiwa ini. Sejauh mata memandang, kami hanya bisa menyaksikan pertunjukkan alam yang begitu mempesona.
Keesokan harinya, aku dan Fajar melanjutkan perjalanan menuju bagian paling utara wilayah Jepang, yaitu Hokkaido yang masih diselimuti salju lembut khas musim dingin di pertengahan bulan Februari. Kami menghabiskan waktu bersama dengan road trip, dan menyewa mobil selama seminggu, Fajar mengendalikan kemudi, sementara aku tinggal duduk sambil menemaninya mengobrol. Tentu saja aku lebih banyak hebohnya menyaksikan pemandangan yang baru kulihat, dia hanya senyum-senyum saja melihat ulahku. Fajar seakan tidak kehabisan ide untuk mengajakku berpetualang dan bercengkrama dengan pemandangan-pemandangan indah. Kontur alam di Hokkaido jelas sangat berbeda dengan Tokyo, sebagai anak pecinta alam dia lebih memilih perjalanan seperti ini. Dia ingin memberikan pengalaman berbeda padaku yang selama ini terpaku dengan kehidupan di ibukota.
Dia tidak memilih tempat makan romantis untuk kami kunjungi, karena jiwa romantisnya memang seringkali tumpul jika di tempat-tempat yang terlalu populer. Dia menyukai petualangan alam, dan aku seakan sedang diajak menikmati dunianya yang ternyata jauh lebih menyenangkan dan menantang.
Untuk menyaksikan matahari terbenam, selama ini aku seringkali mengunjungi bangunan-bangunan tinggi yang menjual pemandangan sunset indah dipadu dengan pemandangan malam di kota metropolitan. Namun, dengan memasuki dunianya Fajar, hidupku semakin penuh warna, dan saat road trip ini kami sering berhenti di tempat-tempat yang sepi tapi menyajikan mahakarya indah berupa panorama tenggelamnya matahari sambil bermain salju, atau kadang kami hanya duduk saja, sambil menikmati camilan seperti onigiri, mochi, roti, yang aku beli di Family Mart. Di sepanjang perjalanan selama road trip, jika kami menikmati nuansa sunset di alam terbuka atau di sepanjang jalan tol, sambil menatap sunset di depan mata pas di jam lapar kami malah keasyikan ngemil Jaga Pokkuru—camilan khas Hokkaido berupa keripik kentang berbentuk stik dengan tekstur renyah dan asin, dan tentu saja Shiroi Koibito—kue lidah kucing dengan isi cokelat putih bertekstur renyah serta memiliki rasa yang lembut. Kami sepakat untuk menambah dua jenis camilan ini dalam daftar makanan favorit.
Ada momen saat perjalanan itu di mana aku ngidam ingin makan ramen sampai kebayang terus. Aku sempat mau nyerah untuk mencari menu makanan lain, tapi pasangan hidupku tidak memiliki padanan kata menyerah. Hingga akhirnya dia membawaku mampir di salah satu kedai ramen yang menyediakan menu muslim friendly di Asahikawa, kami memilih menu yang sama, Ramen Yotsuba. Tak salah julukan ketua Geram—Geng Ramen, melekat dalam diri Fajar, dia bela-belain datang ke tempat yang menyediakan menu makanan yang aku idamkan. Ketika menikmati suap demi suap kuah ramen, kami sampat membahas sekaligus merindukan momen makan ramen bersama Akira, Harumi, Hideki, Yusihiro, dan Toshio. Siang itu, naga-naga di perut kami sedang kelaparan, hingga menghabiskan dua porsi dengan menu yang sama.
Fajar masih dengan semangat mengendalikan kemudi, padahal aku meminta dia untuk istirahat, khawatir akan kelalahan. Dengan halus dia menolak permintaanku dan justru mengelus-elus kepalaku, hingga aku tertidur lelap. Tidak biasanya aku tidur lama dan selelap itu, entah karena efek ngidam ramen yang kesampaian atau habis kenyang timbul kantuk. Sampai sebuah usapan halus di kepala membangunkanku.
“Selamat sore Tuan Puteri, ayo bangun dari tidur panjangnya. Tuan Muda sudah sampai di tempat tujuan, mari kita keluar mobil dan berjalan kaki.” Aku hanya bisa melemparkan senyum lembut padanya. Masih setengah ngantuk aku mengucek-ngucek mata karena bisikan lembut yang di arahkan ke telingaku mampu membangunkanku.
Setelah sadar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku terperanjat. Kupikir masih di depan restoran tempat makan ramen, ternyata aku sudah berada di negeri dongeng karena di samping kiri dan kananku terhampar salju putih nan lembut menawan, dan kini aku terpesona. Sebelum aku buka suara, Fajar sudah membukakan pintu dan memintaku keluar setelah tiba di spot parkir. Entah mau dibawa ke mana lagi, aku patuh saja.
Kali ini dia memintaku untuk tidak banyak bertanya, dan kalau sudah begini yang bisa kulakukan hanya tunduk padanya. Dia memegang lembut tanganku sambil berjalan bersisian. Kini aku mulai paham kebiasaannya, bahwa sebuah kejutan layak untuk dirahasiakan. Dan yang bisa kulakukan tentu saja membiasakan diri dengan Fajar, si pria penuh kejutan.
Sore itu aku dan Fajar mendaki Mild Seven Hills dan tiba di atas bukit menjelang matahari kembali ke peraduan. Kami menatap takjub lukisan alam berupa gradasi warna langit senja berpadu hamparan salju putih lembut, bak pertunjukan yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan sunset dari puncak bukit ini sungguh sajian yang indah sekali di dukung cuaca cerah. Meskipun dinginnya musim dingin di tengah hamparan salju seakan menusuk tulang, tapi pemandangan di depan mataku bersama yang tercinta mengalirkan kehangatan ke seluruh tubuhku. Dan harus kuakui, Fajar selalu sukses membuatku semakin tambah cinta pada panorama senja. Kecintaanku tidak cukup pada pesona saat matahari terbenam, tapi juga pada pria yang sudah menjadi bagian dari hidupku hari ini, esok, dan seterusnya.
Berbagai pengalaman ajaib yang semua serba pertama aku rasakan bersama Fajar. Setelah menikah dan berpetualang bersama Fajar, kini aku menemukan makna baru dari makan malam romantis ala kami. Tidak perlu menu mewah dan tempat megah di sebuah restoran, cukup bercengkrama dengan alam sambil menatap mesra gradasi warna langit senja yang begitu indah. Kemudian tersenyum lebar dan saling memandang satu sama lain, lalu menyuapi camilan ke dalam mulut masing-masing, merupakan cara sederhana yang kami rayakan bersama, dan sangat ampuh membahagiakan hati kami.
Tidak cukup di situ, keesokan harinya Fajar juga membawaku merasakan sensasi naik snow mobile di Snow World Toya, aku duduk di belakang sambil memeluknya erat, dan saat dia mengendalikan motor di atas hamparan salju lembut di sepanjang jalan, aku tak hentinya mengagumi pemandangan di sisi kiri dan kananku sambil merapakatkan tubuhku yang mulai menggigil kedinginan. Satu jam perjalanan mengendarai snow mobile adalah pengalaman terbaik dalam hidupku yang tidak akan aku lupakan bersama yang tercinta.
Turun dari snow mobile, kami mampir ke kedai di samping penjualan tiket, memilih cokelat panas, takoyaki, dan apel berukuran besar yang terasa lezat. Puas berada di tempat tersebut, Fajar mengajakku menikmati senja dari atas ketinggian di Goryokaku Tower yang terletak di Hakodate.
Pemandangan langit senja yang aku saksikan begitu indah, berlatar fort Goryokaku yang merupakan benteng pertama bergaya barat di Jepang. Nama benteng ini berasal dari bentuknya yang mirip bintang bersudut lima. Menariknya, komplek ini dikelilingi oleh 1.600 pohon sakura.
Dari lantai dua Goryokaku Tower, aku bisa menyaksikan dinding parit dan batu di Benteng Goryokaku, dilihat dari atas ketinggian bentuknya mirip bintang, dan dari balik kaca tower itu merupakan panggung tontonan terbaik untuk menyaksikan langsung pemandangan kota yang memikat hatiku. Setelah matahari cahaya keemasan tenggelam dengan menawan, kini berganti dengan 2.000 lampu yang menerangi parit berbentuk bintang. Sungguh pemandangan spektakuler yang disajikan selama The Dreams of Pentagonal Stars (Hoshi-no-Yume) yang berlangsung pada musim dingin.
Selama beberapa menit mataku membesar sambil menutup mulutku dengan satu tangan sebelah kiri, dan tangan kananku menggenggam erat tangan Fajar, dia mengalirkan kehangatan seolah mensuplai energi kebahagiaan yang terus dia berikan untukku. Aku meyakinkan diriku apakah ini mimpi, atau kenyataan yang terlalu indah untuk aku nikmati dan saksikan.
Fajar melihat reaksiku dan menanyakan apakah aku suka. Aku bilang ini salah satu pemandangan sunset terbaik yang pernah aku lihat. Dimataku segala kejutan yang dia berikan lebih dari kata romantis. Dia bilang begitu mudah membuat aku bahagia, tidak perlu diajak dinner romantis, cukup dibawa ke tempat-tempat yang bisa menyajikan pemandangan elok saat senja. Hari itu, Fajar seolah belum cukup memberi aku kejutan.
Sekitar lima belas menit dari tempat itu dia mengajakku untuk ikut dalam antrean panjang untuk menaiki ropeway menuju Mount Hakodate. Dari atas ketinggian itu kami bisa menyaksikan pemandangan terbaik kota Hakodate yang sangat artistik, dan semakin malam justru semakin padat pengunjung. Di tempat itu Fajar menyerahkan benda yang kupikir awalnya buku, tapi dia memintaku untuk melihatnya nanti setelah memasuki gedung, karena di luar gedung minim pencahayaan dan lebih fokus pada pemandangan malam yang sangat menawan.
Namun, karena aku terlihat tidak sabar ingin segera melihat isinya, dia mengalah dan memberikan penerangan melalui ponselnya. Di bawah naungan cahaya ponsel miliknya, dengan hati-hati kubuka lembar demi lembar yang isinya adalah kumpulan foto-foto saat aku melihat matahari terbenam, dia mengabadikan momen itu tanpa sepengetahuanku. Selama ini aku tidak pernah sibuk mengabadikan momen senja lewat kamera, cukup merekam langsung pelalui panca inderaku. Aku sibuk menikmati pemandangannya, sementara itu ada orang seniat Fajar yang justru mengambil gambarku berlatar matahari tenggelam.
Di album tersebut terpampang foto candid saat aku di pesawat menatap langit senja dari balik jendela, momen pertama semesta mempertemukan kami. Selanjutnya foto-foto ketika aku menikmati momen senja bersama Fajar, juga Geram dan Harumi.
Fajar sungguh luar biasa pribadi romantis tanpa kata romantis. Aku sangat senang sekali dengan hadiah yang diberikannya, kemudian aku menghamburkan pelukan dan membenamkan wajahku ke dalam dadanya yang dibalut mantel tebal berwarna biru, sambil berurai air mata saking terharu bercampur bahagia, dia memeluk erat dan bilang bahwa setelah hari itu kita akan membuat album yang diisi dengan momen saat kami berdua menikmati matahari yang akan kembali ke peraduan.
Dia juga memperlihatkan foto di ponselnya yang belum dicetak. Foto pertama kami sebagai suami istri menikmati senja sejak makan malam di restoran yang ada di Tokyo Skytree hingga perjalanan dari Kanagawa sampai Hokkaido dan di perjalanan-perjalanan selanjutnya.
***
Fajar menepati janjinya. Setelah menikah, dia menemaniku untuk menikmati matahari terbenam. Bahkan dia memilih tempat tinggal di sebuah apartemen yang cukup untuk ditinggali kami berdua, dan mencarikan tempat yang bisa mendapatkan pemandangan saat matahari kembali ke peraduan.
Aku masih ingat perjuangan hebatnya saat mencarikan apartemen. Aku sangat mengapresiasi usahanya, dan aku masih ingat tentang impiannya yang ingin menyaksikan lebih banyak momen senja bersamaku. Fajar memang tidak romantis dalam merangkai kalimat cinta—bahkan kumpulan foto yang dihadiahkannya untukku tanpa kata apalagi puisi, tapi dimataku dia sangat istimewa karena bagiku tindakan tulusnya terasa nyata, dan aku akan mengingatnya di sepanjang usiaku. Aku berterimakasih pada Fajar yang sudah memberikan dan membuktikan cinta dengan tindakan, bukan kata-kata dan rayuan semata.
Aku juga berterima kasih untuk setiap goresan luka, patah hati, dan sakit di hati yang pernah kualami dan kurasakan, karena dengan semua rasa pahit itu, kini aku menikmati manisnya hidup bersama Fajar. Aku telah berdamai dan melepaskan segenap luka yang dulu pernah bersemayam dalam dada.
Fajar pernah bertanya kenapa aku sangat menyukai senja, bahkan dia seringkali merasa cemburu ketika aku begitu mesra menatap matahari terbenam. Aku hanya melempar senyum lembut ke arahnya sambil menatap mesra ke dalam matanya dan berterus terang bahwa caraku menatap senja hanya ingin melepaskan segenap perasaan yang kulalui. Aku hanya ingin menghadapi malam dengan berani tanpa rasa takut, maka sebelum gelap membungkus malam, aku menikmati semburat warna jingga dengan segenap perasaan. Aku suka warnanya, aku suka suasananya, dan yang terpenting meskipun setelah melihat matahari terbenam akan berubah menjadi pekat malam, aku hanya perlu menatap indahnya, tidak perlu menghindarinya dan melewatkan momen berharga saat senja tiba. Sama halnya dalam kehidupan, aku tidak akan selalu bertemu dengan hal-hal menyenangkan saja, pasti akan menemukan kejadian-kejadian yang menyakitkan, dan mungkin bisa jadi mengambil seluruh semangat dalam hidupku. Namun, aku tidak perlu larut dalam kesedihan, kegelisahan, juga kegaulan. Bersedih itu wajar, tapi secukupnya saja. Setelah itu bangkit, dan memastikan diri bahwa kegelapan tidak akan selamanya menyelimuti, pasti akan sirna. Saat masa-masa gelap dalam kehidupan yang aku jalani, entah karena dikhianati, disakiti, dibenci, bahkan menjadi bagian dari manusia yang terdampak perundungan di tengah arus kehidupan yang sulit dibendung, aku ingin meyakinkan diri bahwa aku bisa melaluinya tanpa terikat rasa dendam dan sakit hati yang lama-lama bisa menghancurkan dan menyakiti diri sendiri. Aku mau membebaskannya, dan saat menatap momen indahnya senja mengucap perpisahan, aku selalu merasakan energi yang membuat hatiku terasa damai saat menatap dan berpisah dengannya.
Kini, aku menikmati saat ini tanpa terikat masa lalu. Aku sangat menikmati kebersamaanku dengan Fajar.
Dan saat menikmati momen senja di tempat tinggal kami, dia tidak pernah absen memutarkan lagu Tenbyou no Uta, yang pertama kali kami dengarkan di restoran Keep & Touch, Tokyo. Bagiku menyaksikan pemandangan langit senja yang menakjubkan bersama suami adalah hadiah terindah pemberian Sang Maha Cinta yang mau ku syukuri sepanjang waktuku.
Anata na koe de hogurete yuku
I’m relaxed by your voice
Wasuretaku nai to kokoro ga iu
My heart says it doesn’t want to forget
Omoide bakka fuette yuku
Only memories continue to increase
Zutto soba ni itai
I want be by your side always
Nakimushi demo ii ka na