Senja & Andalusia

Almayna
Chapter #2

Prinsip yang Dilanggar

بسم الله الرحمن الرحيم

🍁🍁🍁

Butuh waktu sekian menit untuk memikirkan tindakan yang akan ia lakukan. Kini, Azzam benar-benar memutuskan untuk menolong perempuan yang sekarang tak sadarkan diri dengan kondisi cukup memprihatinkan tersebut.

Sayangnya, sebelum niat itu direalisasikan, ia kembali dibuat bingung bagaimana cara membawa sosok itu karena mobilnya terparkir di gerbang masuk dan jaraknya cukup jauh dari tempatnya sekarang.

"Haruskah aku menggendongnya? Tapi ..." Azzam kembali berpikir.

Bukannya tidak berniat membantu, Azzam berpikir seperti itu karena teringat dengan prinsip yang selama ia genggam teguh. Prinsip yang sudah menjadi janji tersendiri untuknya.

"Jangan pernah menyentuh sesuatu yang belum halal. Seorang laki-laki yang kepalanya ditusuk dengan jarum besi lebih baik dari pada menyentuh perempuan yang bukan mahramnya."

Itulah janji yang sudah Azzam tanamkan kuat-kuat dalam hatinya. Kata-kata yang berhasil membuat Azzam tidak berminat untuk mengikuti tren pacaran sampai sekarang. Namun, raga yang kini masih dalam rengkuhannya sukses mendatangkan dilema untuknya. Padahal ia hanya perlu satu pengecualian untuk keadaan seperti ini.

"Maaf, ya Allah. Maaf ...," lirih Azzam setelah memutuskan untuk mengambil satu tindakan.

Ia harus segera membawa perempuan itu sebelum kondisinya semakin memburuk. Karena ia bisa merasakan dingin dari tubuh itu menembus tangannya. Apalagi dengan suasana yang hampir menjelang malam.

Membiarkannya tergeletak di tempat ini adalah sebuah kejahatan bagi Azzam. Lantas, ia pun segera memasukkan kameranya dalam tas dan segera menggendong perempuan itu menuju mobilnya.

"Zam! Azzam!" teriak seseorang ketika langkahnya keluar dari Benteng Alcazaba. Tempat ia sempat menikmati senja dan bertemu dengan perempuan yang digendongnya.

Azzam tahu pemilik suara itu. Jadi, ia memilih untuk terus saja berjalan tanpa menoleh atau pun menyahut agar cepat sampai parkiran dan membiarkan sosok yang memanggilnya tadi menyusul.

Dugaan Azzam ternyata benar. Sosok yang tidak lain adalah Razwan itu tengah berlari mengejarnya. Setelah berhasil menyejajarkan langkah, laki-laki itu langsung menatap heran seseorang yang berada dalam gendongannya. Razwan sangat terkejut melihat wajah seorang perempuan asing yang dibawa oleh temannya. Apalagi perempuan itu tidak memakai hijab yang menutupi rambut pirangnya.

"Dia siapa, Zam?" tanya Razwan dengan rasa penasaran teramat tinggi.

Bukannya menjawab, Azzam semakin mempercepat jalannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Razwan. Saat mereka sampai di depan mobil, Azzam langsung meminta tolong agar Razwan membuka pintu mobil untuknya. Namun, Razwan menggeleng.

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi, Zam. Siapa perempuan ini? Dan kenapa kamu membawanya ke sini?"

"Nanti saya jelaskan, Wan. Sekarang bukakan pintu mobilnya. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit," pinta Azzam berharap sahabatnya itu akan mengerti dan langsung menuruti keinginannya.

Sayangnya, apa yang diharapkan Azzam tidak dilakukan oleh Razwan. Laki-laki itu tetap keukeuh tidak menyetujui keinginan Azzam untuk membawa perempuan asing itu. Razwan hanya khawatir jika itu adalah tipu muslihatnya. Ia berpikir jika perempuan itu pura-pura pingsan dan memiliki niat yang tidak baik.

"Kita tidak tahu siapa dia, Zam. Gimana kalau ternyata dia berpura-pura?"

Azzam lantas beristigfar mendengar prasangka sahabatnya. "Wan, tidak baik berpikir seperti itu. Apa kamu tidak bisa melihat wajahnya yang sangat pucat?" tanya Azzam dengan mimik begitu serius. "Kalau kamu tidak mau ikut, tunggu di sini saja. Biar saya yang membawanya. Nanti saya pesankan taksi untuk kamu."

Azzam tidak bisa menunggu Razwan lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka pintu mobil sendiri. Dengan bantuan kakinya, Azzam berhasil membuka pintu belakang dan langsung mendudukkan perempuan itu di sana.

Razwan yang masih berdiri di sana hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh temannya tanpa berkomentar apapun. Ketika langkah Azzam mendahuluinya, ia segera menahan lengan laki-laki itu. "Zam, bentar."

Pemilik nama itu menoleh. "Kalau kamu hanya ingin mengatakan prasangka kamu yang bukan-bukan, saya akan pergi. Ada hal yang lebih penting yang harus saya lakukan, Wan."

"Aku ikut," putus Razwan tidak ingin ditinggal sendiri di tempat ini. Apalagi ia tengah penasaran dengan sosok perempuan yang terlihat terlelap di sana.

"Ayo! Kita harus cepat. Sebentar lagi Magrib," titah Azzam langsung masuk ke mobil. Razwan mengekor dari belakang.

Sepanjang perjalanan, keduanya hanya diam tanpa ada yang ingin membuka suara. Dibalik itu, Azzam sesekali melirik perempuan yang duduk di belakang lewat kaca mobilnya. Ia hanya ingin memastikan kondisi perempuan itu. Tidak ada niatan lain selain hal tersebut. Sedangkan Razwan, ia juga sempat melihat temannya yang sedang memperhatikan perempuan itu lewat kaca mobil.

Lihat selengkapnya