Senja & Andalusia

Almayna
Chapter #3

Perempuan dari Malaga

بسم الله الرحمن الرحيم

🍁🍁🍁

Daun pintu itu terbuka setengah. Menampilkan sosok berbadan tinggi agak gemuk tengah berbincang-bincang dengan seseorang di telepon genggam miliknya. Dari raut wajahnya, ia seperti tengah membicarakan sesuatu yang sangat penting sampai membuatnya manggut-manggut dan tertawa terbahak-bahak.

Gerak-gerik pria itu tidak luput dari perhatian seseorang dari balik pintu. Sejak tadi, ia bisa mendengar setiap kalimat yang dikatakan laki-laki itu tanpa terlewat sedetik pun.

"Jadi dia mau mengajakku menemui pria buruk itu lagi? Tidak akan kubiarkan itu terjadi," gumamnya kian menempelkan telinga di tembok dekat pintu. Setelah kejadian dua hari yang lalu, kali ini ia tidak akan tertipu lagi dengan permainan pamannya itu.

Setelah cukup puas mendengar informasi yang didapat, ia kembali menutup pintunya rapat-rapat. Ia yakin, tidak lama setelah ini, seorang asisten pasti akan datang untuk mengantarkan makanan. Di saat itulah, ia akan memanfaatkan kesempatan untuk keluar dari tempat yang sudah seperti neraka ini.

Sebelum menjalankan aksinya, ia melihat tampilannya di cermin. Helaan napas panjang terdengar melirih dari bibirnya yang merah. Dari pantulan dirinya, ia bisa melihat lebam-lebam yang masih membiru di sekitar tubuhnya. Mulai dari pipi, dagu, leher, sampai kedua tangannya.

Semua luka yang ia dapatkan dari sosok yang ia yakini sebagai pamannya sendiri karena tidak mau menuruti keinginannya untuk ikut dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia kenali. Entah sosok itu benar-benar pamannya atau bukan, ia tidak tahu.

Kadang, otaknya seringkali mengatakan jika laki-laki yang menampung dirinya di rumah kecil ini adalah orang asing. Apalagi ketika ia mendengar dengan telinganya sendiri jika 'pamannya' itu pernah berniat untuk menjualnya kepada teman lamanya. Dan ia berhasil membuktikan dugaan tersebut dua hari yang lalu. Saat dirinya dipaksa untuk ikut ke sebuah restoran mewah yang ada di sana.

Kedua tangannya mengepal kuat jika mengingat kejadian itu. Bagaimana mungkin dengan teganya, pamannya itu meninggalkannya sendiri bersama pria yang sedang mabuk-mabukan? Beruntung, malam itu ia berhasil kabur meskipun harus menerima pukulan dari laki-laki itu.

"Hssstt ..." Ia kembali merintih ketika tangannya tidak sengaja menyentuh pipi kanannya yang terkena tamparan tempo hari.

"Sudah cukup! Semua ini akan berakhir hari ini," ucapnya penuh penegasan.

Sejak semalam, ia sudah memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya tinggal di tempat ini. Otak dan hatinya sudah cukup yakin untuk pergi meninggalkan semua hal yang membesarkan dirinya selama hampir sepuluh tahun lamanya.

Bagaimana pun nasibnya setelah ini, ia tidak peduli. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah bisa bebas dan mencari jalan hidup sendiri. Ia akan mengarungi dunia dan pergi sejauh-jauhnya untuk mencari apa yang ingin ia tahu sejak dulu.

"Sra. Meyza, la comida está lista,"³ ucap seseorang setelah mengetuk pintu berulang kali.

Spontan, senyum penuh artinya mengembang sempurna. Ia pun segera mengambil jaket kulit warna hitam, beberapa lembar uang dan juga buku kesayangannya. Setelah itu, barulah ia membaringkan diri di bed empuknya dan berpura-pura istirahat. Tidak lupa ia juga menenggelamkan sebagian tubuh dengan selimut agar pakaiannya tidak terlihat.

"Adelante!"⁴

Ketika ia mengucapkan kalimat itu, barulah seorang wanita dengan dress putih selutut khas asisten rumah tangga masuk dengan nampan di tangannya. Sebelum wanita itu pergi, ia meminta tolong untuk mengambilkan sesuatu di ruangan kecil yang ada di bagian lain dari kamarnya.

Tanpa curiga sedikitpun, wanita berwajah khas kota Malaga itu langsung mengangguk patuh. Perempuan yang tengah berbaring itu langsung bangun dan berlari cepat ke ruangan yang dimasuki wanita tadi.

Brak!

Ia langsung menutup dan mengunci pintu tersebut. Spontan, ia langsung mendengar suara wanita tadi memanggil namanya dan meminta tolong siapapun untuk membukakan pintu. Sayangnya, di rumah itu hanya ada dirinya dan beberapa penjaga di pintu gerbang. Sedangkan Winston—pamannya—sudah keluar setelah menerima telpon tadi.

"Maafkan saya, Carmen. Kamu harus membantu saya hari ini," ujarnya sambil menghitung mundur.

"Satu,"

"Dua,"

"Tiga,"

Ia tidak melanjutkan hitungan jarinya setelah tidak lagi mendengar suara Carmen. Sebelum membuka pintu dan masuk, ia mengambil masker agar tidak menghirup serbuk bius yang ia taburkan di sana.

"Tenang saja, Carmen. Ini tidak akan membunuhmu. Kau hanya perlu tidur sampai Winston pulang nanti," katanya langsung membawa tubuh Carmen yang sudah tidak sadarkan diri menuju kasurnya.

Begitu tubuh Carmen sudah tertutup selimut dan hampir menyerupai dirinya, ia pun langsung ke luar kamar menuju halaman belakang. Dengan topi putih dan masker yang menutupi wajah, perempuan itu langsung masuk ke rumah anjing yang sudah tidak berpenghuni. Di sana, ada sebuah lubang cukup besar yang bisa gunakan sebagai jalan keluar. Karena jika melewati halaman sangat tidak mungkin. Para suruhan Winston terlalu banyak.

Meskipun mengalami sedikit kesulitan karena lubang itu tidak sebesar yang ia duga, tapi akhirnya ia bisa bernapas lega setelah berhasil keluar pagar. Senyum smirk-nya pun mengembang saat itu juga.

Lihat selengkapnya