SENJA DATANG AYO PULANG

Daud Farma
Chapter #12

Yang Tak Pernah Tersenyum

Lembu yang boleh bekerja untuk membajak sawah adalah lembu yang sudah terbiasa dapat job. Jika belum terlatih maka jangan coba-coba langsung mengikut sertakannya upahan di sawah orang. Karena akan mengecewakan pemilik sawah.

Sawah tidak selesai dibajak, malah nambah masalah. Seperti saat membajak lembu malah lari-lari ke sawah orang lain yang baru tiga hari kemarin ditanami padi, lembu tidak beraturan, berantakan, ada yang mutar ke kanan, ada yang menyepak lembu yang lain dan saling berantam, saling menanduk dan ada pula lembu yang menutup mata saat berputar karena belum dibiasakan pemiliknya.

Maka caranya ialah penggembala harus memperaktikkannya di sawahnya sendiri terlebih dahulu, jangan langsung praktik di sawah orang, bisa runyam! Bagaimana dengan orang yang tak punya sawah seperti Epet dan Yok? Ya bisa membantu di sawah saudara dekat terlebih dulu.

Empat jam kemudian lembu kami sudah terlihat lelah.

“Ya sudah, lanjut minggu depan.” kata pak penghulu. Kemudian lembu pun kami arahkan ke pinggir, di pinggir sawah pak penghulu ada tumpukan tanah yang lebih tinggi dari sawah dan banyak rumput. Jika kelamaan menunggu minggu depan, menunggu kami libur sekolah, maka penghulu atau pun lainnya akan meminta Ninik Wok Yan dan Aman Khek untuk ngobo di sawahnya, sebab dua orang inilah yang tak seumuran anak sekolah lagi.

Lembu kami istirahat sambilan makan berdiri, ada pula lembu yang langsung baringan. Pak penghulu menjaga lembu kami untuk sementara, aku dan Piyah makan pagi di gubuk kecil yang berdiri di tengah sawah pak penghulu.

Dua puluh menit yang lalu anak gadisnya membawakan nasi dan lauknya. Anak gadisnya ini juga teman kami mengaji, dia lebih tua dariku bahkan lebih tua dua atau tiga tahun dari Piyah. Kakak ini sering kali mengejekku sewaktu pulang mengaji malam di balai Pengajian Pak Bahri. Katanya, "Daud berkulit gelap!" dengan bahasa daerah kami tentunya.

Kenapa kami dapat makan? Karena memang seperti itu adatnya. Jika ada penggembala yang bekerja di sawah orang lain, selain membayar dua puluh atau dua puluh lima ribu, pemilik sawah juga menyiapkan makan untuk pemilik lembu yang sudah payah bekerja.

Aku dan Piyah sudah mandi keringat. Tapi begitu telah duduk dan makan di atas gubuk, hum, luar biasa nikmatnya! Kenikmatan setelah keletihan. Kami memang sengaja tidak makan pagi, sebab sudah pasti dapat makan nantinya dan lauknya enak-enak semua. Kadangkala kami senang dan tidak senang hari minggu, lembu juga begitu. Lembu juga suka dan tidak suka pada hari minggu.

Senangnya kami adalah diajak membajak sawah dan dapat upah, dan tidak senangnya ialah karena hanya pada hari minggu dan pada musim bersawahlah lembu bisa makan sejak jam sepuluh pagi. Karena rata-rata selesai bekerja jam sepuluh dan lembu bisa makan sepuasnya hingga waktu mengangon sampai sore. Di lain hari itu, lembu bakal makan setelah aku pulang sekolah, yaitu pukul dua belas siang.

Kalau hari bekerja, sampai di tempat mengangon kadang lembu tidak banyak makan. Ada yang malah tidur-tiduran, sebab sudah makan sejak jam sepuluh tadi pagi, dan juga memang karena lelah bekerja paginya dan beristirahat di siangnya. Ya, lembu juga punya waktu utuk tidur siang. Ketika lembu tidur ia akan rebahan ke kanan atau kekiri, melentangkan leher, matanya ditutupi kedua telinganya, kalau telinganya pendek susah ia mengusir lalat yang minum di pelopak matanya. Lalat suka sekali menjilat mata-mata lembu yang basah.

Sudah satu jam lebih istirahat di gubuk pak penghulu, kami pun membangunkan lembu yang sedang baringan lalu pulang dan masuk kandang. Sampai di rumah kami mandi dan istirhat. Satu jam kemudian waktunya mengangon. Karena tadi malam hujan lebat dan ini adalah bulan musim hujan, kami sepakat hari ini kami menggembala di gunung.

“Jadi kan kita ke gunung, Nik?” tanyaku pada Ninik Wok Yan yang sudah lewat depan rumah kami. Beliau adalah senior, kadang beliualah penentu di mana kami mengangon. Kami hanya mengikut kemana dan di mana beliau menggembala.

“Ya ayo cepatlah buka kandang!” Ajakmya sambil mengarakkan lembu-lembunya.

“Piyah, ayo, Ninik sudah lewat itu!” ajakku membangunkan Piyah yang masih tidur. Aku sudah siap-siap. Piyah segera bangun dan mencuci mukanya.

“Aku duluan buka kandang ya? Nanti jangan telat nyusul!” kataku.

“Ya, duluanlah.” sahutnya. Aku keluar rumah dan membuka kandang lembu. Lembu Getuk-ku sangat lelap tidurnya hingga susah aku mebangunkannya, sepertinya Getuk mimpi indah gara-gara bekerja tadi pagi.

Lihat selengkapnya