Kami duduk di gubuk pemilik kebun, di mana ada kebun di situ ada gubuk dan kami cukup menjaga lembu kami di gubuk saja.
Dari gubuk ini akan terlihat, jika ada lembu yang hendak masuk ke kebun akan ketahuan. Di tempat menggembala ada air gunung mengalir, jernih, bersih, dingin sekali dan segar. Lembu yang haus akan datang ke tepi air dan meminum sepuasnya lalu kembali lagi ke teman-temannya.
Ada yang datang sendirian, datang berdua dengan anaknya, Boguh datang dengan kekasih barunya, dan ada juga lembu yang datang satu kelompok untuk meminum.
Selesai minum lembu suka bilang; mouhhh, kami mengartikan itu; enak, nikmat, terima kasih tuan atas air sejuknya! Di waktu lain terkadang kami tidak langsung mengangon di dataran yang rendah dan dekat dengan air, melainkan di puncak gunung gundul yang habis kebakaran dan baru ditumbuhi ilalang hijau dan indah seluas mata memandang.
Lembu suka sekali di padang rumput luas dengan tunas baru. Dari puncak ini, daerahku, penduduk Kuta Cane, tepatnya kampung Alur Langsat akan terlihat jelas dan dibelah oleh sungai Alas. Maka jelaslah kenapa orang dulu juga menamai daerah Kuta Cane dengan Lembah Alas.
Kalau kami mengangon di puncak yang tinggi, kami akan memanjat pohon mis-mis yang tumbuh tinggi di atas puncak dan kami mengambil dan memakan buahnya yang sedang sarat dan sudah masak. Tidak tahu pula apa nama pohon itu di buku-buku sekolah.
Kami menyebutnya buah mis-mis, karena artinya adalah manis-manis. Pohonnya besar dan tinggi sekali tetapi buahnya sekecil jari kelingking, kalau masih muda rasanya asam, kalau sudah masak manis dan sedikit asam.
Warna buahnya sebelum masak warna hijau-kuning kulitnya tapi isinya warna merah dan berdaun lebat serta berdahan yang banyak. Kira-kira umur pohonnya sudah puluhan tahun.
Dari atas pohon inilah kami bisa memantau lembu kami. Lembu, kalau mereka lapar sekali maka suka makan sendiri-sendiri, kalau sudah kenyang barulah ia bergabung dan mendekat ke kami dan akan kami turunkan dari puncak. Kakau mereka sudah mendekati dan mengumpul ke kami, itu artinya ada dua: jika belum petang, berarti mereka haus, jika sudah petang mereka minta pulang.
Pertanda mereka haus ialah bila sudah banyak yang mendekat ke pohon yang sedang kami panjat dan mereka teriak seperti biasanya: moouhh! Maksudnya tak lain tak bukan ialah haus! Tapi ada juga lembu akan datang setelah tiga jam kemudian. Cara mereka berkomunikasi dengan kami hanya satu suara: Moouuh! Kami menafsirkannya ke berbagai makna, kadang betul kadang salah, lebih sering betulnya.
Lembu yang tahan di puncak selama empat jam lebih adalah lembu yang merasa haus dan minum sebelum naik puncak. Lembu yang tadi tidak minum dulu sebelum naik puncak, maka nanti mereka bakal tidak berani turun ke sungai gunung, haruslah kami temani, makanya mereka mendekat ke kami. Moouh! Kata mereka, artinya tolonglah temani sebentar saja ke bawah sana, Tuan!
Junior semuanya memanjat pohon yang tinggi ini. Senior hanya sekali-kali saja. Senior lebih suka berteduh di bawahnya.
Kami para junior sudah punya dahan langganannya sendiri. Dan di dahan yang paling tinggi adalah Ori. Aku paling bawah. Yok di tengah-tengah, berdekatan dengan An dan San. Ori lah yang memberi tahu jika ada lembu yang duluan turun dari puncak. Lembu yang duluan turun itu akan kena hukuman nantinya dari penjaganya sendiri.
Seperti hukuman dengan diomeli atau dipukul lebih dari dua kali. Namun ada juga lembu yang baik dan berani, tak perlu ditemani. Dia turun duluan dari puncak saat ia merasa haus kemudian setelah minum ia naik lagi, padahal naikannya sangatlah jauh, wah lembu seperti ini jarang adanya, ada tapi tak lebih dua puluh ekor dari total kira-kira ada seratus lembu jumlahnya.
Waktu mengomeli lembu yang tepat ialah saat di perjalanan menju pulang nantinya. Di jalan raya. Berilah nasihat terbaik untuk lembu yang nakal. Tapi tidak dengan Cimun, dia selalu lari duluan seperti biasanya, tidak pernah mendengarkan nasihat setelah ia berbuat jahat, makanya tidak pernah berubah!
Gubuk adalah tempat beristirahat kami. Tempat berteduh yang tepat untuk menghilangkan penat. Kalau pun tidak ada gubuk, seperti saat mengangon di padang pasir yang jarang sekali kami dapatkan gubuk berdiri, kami akan mencari pohon kayu yang rindang.
Jika tidak ada pohon kami akan membuat gubuk sendiri yang bahannya dari pohon-pohon sebesar jari induk kaki dan beratapkan kain sarung. Yang suka bawa kain sarung adalah Ninik dan Aman Khek. Dekh biasanya memabwa kemeja hansip lengan panjang yang berwarna hijau.
Kalau sudah ngumpul, ada-ada saja rencana. Kalau di padang pasir biasanya suka mencari Lelewoh, semacam buahan yang bisa tumbuh di padang rumput yang berpasir, buahnya bulat seperti buah seri dan manis, kulitnya tipis dan gembung sebesar jar-jari tangan, tinggi batanya hanya sampai lutut paling tinggi.
Lelewoh dan buah seri adalah makanan geratis yang manis di padang rumput yang berpasir. Di padang rumput kami sering bakar jagung dan ubi kayu, dan pisang. Di padang rumput ada kebun tebu dan mentimun. Hari ini sudah kesekian kalinya kami menggembala di gunung sebab padang rumput di tepi sungai sedang banjir. Yok dan Ori sedang memanjat pohon mangga.