Bulan ini musim kemarau, kami pergi menggembala di tempat paling jauh, yaitu Tebing. Dinamakan Tebing karena memang di sana banyak tebing-tebing tinggi hasil dari diterjang suangai sewaktu musim hujan. Padahal tinggi tebing itu setinggi pohon kelapa dewasa.
Sewaktu menggembala, aku sering berlengan pendek, bercelana pendek, pakai selop Swallow seharga delapan ribu rupiah. Kalau menginjak tanah lembek dan padat, jika dipaksalan ditarik dengan memakainya, maka talinya akan terlepas, hal ini juga kalau masih baru beli seminggu. Namun kalau sudah dipakai sebulan, maka bisa jadi putus.
Kalau sudah putus, aku ikat dengan tali plastik nilon atau kalau tidak nemu tali plastik, aku cari akar-akar rumput yang kuat, aku patahkan dahan pohon duri sebagai pangkalnya di bawah sandalku. Kalau masih baru, sandal tidak bisa ditembus duri-duri di padang rumput. Jika telah menipis, maka mudah ditembus duri hingga kena ke kaki bahkan berdarah. Sakit. Tapi rasa sakitnya tidaklah lama, sebentar saja, paling cuma sepuluh menit setelah duri dikeluarkan. Tapi kalau ujung durinya patah di dalam telapak kaki, inilah yang membuat sakit bahkan jika tidak dikeluarkan setelah tiba di rumah nantinya, bisa menimbulkan nanah. Biasanya aku menyempatkan mengeluarkannya dari telapak kakiku. Kalau tidak ada yang bawa jarum, maka aku cari duri yang sepanjang satu setengah inci untuk mencongkelnya keluar.
Meskipun begitu, cukup sering juga bernanah. Sering juga tidak pakai sandal di padang rumput yang banyak duri sebab sandal putus atau sandal hilang sebelah dibawa arus saat menyeberang. Maka untuk melintasi rumput-rumput berduri, kami cari dua kayu sepanjang satu meter atau lebih, kami letakkan di atas rumput lalu kami injak bergantian. Kadang tidak ada duit untuk beli sandal, meminta ke emak, emak sedang bekerja pula di gunung. Maka pergi menggembala tanpa sandal, sudah biasa, Kawan. Biasanya kalau sandalku putus, nanti ayah akan menyambungkannya dengan tali pengikat kambing. Beli baru saat sudah tidak layak pakai atau hilang. Kalau sering hilang, segan dan takut dimarahi emak dan ayah sehingga mengambil sandal yang putus dan dibuang orang. Atau juga ketika banjir, sering sekali lewat sandal satu-satu di sungai, beda ukuran, beda warna, tidak pernah ada yang sepasang. Sehingga ada itulah Selop balu. Artinya sandal janda.
Aku tidak mamakai topi sebab aku tidak kuat, bisa-bisa kepalaku pusing gara-gara panasnya udara di dalam topi. Walaupun beberapa kali aku paksakan pakai. Paling sering aku memakai baju kemeja sewaktu menggembala. Baju kemeja khusus menggembala. Lengan pendek. Lengan dan betisku bisa dijadikan papan tulis Sekolah kami, bisa menulis dengan menggaris-gariskan kulitku. Aku sering coba tuliskan namaku. Kadang pakai kuku kadang pakai dahan rumput yang telah kering. Kenapa bisa begitu? Karena sering kena terik matahari dan air hujan atau pun air sungai.
Kalau lembu sedang makan lahap di pulang, tak butuh dijaga terlaku ketat, maka sudah pasti kami mandi di singai. Tidak takut pada sungai di bawah jembatan Pante Dona yang dalam itu. Karena kami sudah pandai berenang sebelum masuk SD. Bahkan aku dan kawan-kawanku pernah melonpat dari atas jembatan. Awalnya aku takut. Setelah mencoba, jadi ingin terjun lagi. Padahal jembatannya tinggi sekali.
Sebenarnya kemaja itu adalah baju lebaranku tahun-tahun sebelumnya yang masih kuat melawan segala musim. Hujan dan kemarau aku tetap mengenakan kemeja itu. Tidak pernah dicuci pakai sabun, selalu dicuci dengan air hujan dan dikenakan di badan, atau dibawa mandi ketika berenang di sungai. Pun sama dengan celana.
Begitulah keadaan, apa yang aku malukan dari kenyataan hidup? Untungnya teman-teman SD-ku juga tidak ada yang mengejek sampai membuatku kesal. Meskipun sesekali ada sewaktu bercanda, tentu tidak sampai bikin aku sakit hati. Rata-rata orang tua kami menengah ke bawah. Bahkan ada beberapa yang ingin menggembala juga, tapi tak punya lembunya. Kenapa aku harus malu lewat dari depan rumah Ifah dan Uni? Toh tidak ada lagi jalan lain selain lewat dari depan rumahnya. Tiga tahun lebih aku menggembala, setiap hari lewat dari depan rumah mereka, tidak pernah sepatah kata pun dari Uni, ada sekali entah dua kali dari Ifah yang tersenyum dan memanggil namaku. Tentu maksudnya agar tak terlihat sombong kali, sebab teman satu kelasnya. Uni orangnya pendiam, takkan ia menyapa duluan.
Sering kali lembuku berhenti dan berak di atas jalan depan rumahnya yang belum diaspal. Kotoran lembu kami tidak akan hilang hingga mengering. Di situ, akan dipandang Uni dan Ifah tiap hari keluar depan rumah. Kalau nanti malam hujan, mungkin akan dibawa hujan mengalir ke sungai kecil yang dekat masjid di bawah jembatan kecil itu yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Umur sebelas tahun, tentu sudah punya rasa malu kan, Kawan? Wajar kan, Kawan? Di simpang tiga Salim Pinim, ada kedai kopi. Di depan kedai itu dipajang buah Cempedak dan buah Nangka. Lembuku suka sekali kedua buah itu. Apalagi Cimun, dia bakal lari ke depan walau hanya sempat menjilat kulit buah Cempedak. Pernah dijatuhkan oleh Cimun dari pajangan, segera aku ambil dan meletakkannya di tempat,