SENJA DATANG AYO PULANG

Daud Farma
Chapter #20

Patok Lele

Hari ini kami menggembala di pulau yang sejar dengan rumah kami. Pulau kecil ini dikelilingi sungai Alas. Kami menjaga di bagian yang dangkal di sisi timur bagian hulu dan hilir. Lembu Cimunku sudah berkali-kali aku usir masih saja ia mengulanginya. Kami bagi-bagi tugas. Kadang senior di hulu kami di bagian timur yang hilir pun sebaliknya. Kalau sedang ada giliran bakar-bakar, kami kami mengumpul di satu tempat lalu disuruh bergantian melarang lembu pergi menyeberangi air yang setinggi betis. 

Di tempat menggembala ini lah kami main Patok Lele. Kadang main batu anak. Ada satu batu bulat dan masing-masing orang punya batu lempeng untuk dilemparkan ke batu anak. Yang lemparannya tidak mengenai batu anak dialah yang akan mengguling batu anak hingga masuk ke lubang, meskipun sudah masuk lubang, kalau yang belum dapat giliran melempar dan batu bulat itu keluar dari lubang, maka ia tetap dapat giliran. Permainan lempar batu anak ini kami namai dengan permainan PAF.

Ada pun Patok Lele terbuat dari dahan-dahan rumbia. Kami ambil dahan rumbia yang telah kering bagian ujungnya. Ada dua atau tiga untuk dijadikan pemukul sepanjang lebih dari setengah lengan. Lalu sepanjang tiga hingga lima senti untuk anak yang dipukul dan didorong ke depan sekuat tenaga dan ditimpung-timpung sebanyak tiga kali lalu dipukul sekuat tenaga. Ada kalanya potongan kecil itu mengenai orang yang jaga. Yang giliran menjaga maka tugasnya menangkap dan mengambilnya di kejauhan lalu ia hanya boleh meloncat tiga kali loncatan dan melemparkan potongan pendek itu ke pemukul yang diletakkan di atas lubang. Jika kena maka yang jaga bergantian sudah beres urusan dan yang memukul yang jaga. Jika tidak kena maka dialah yang terusan menjaga.

Kami bermain tiga orang. Aku, San dan Wiw. Sebelumnya, Wiw adalah anak dari adik ayahku paling kecil. Sepupu aku. Anak Pak-Pun. Masih satu kakek. Abang Wiw adalah Hen. Adiknya yang ikut menggembala dengannya ialah Aya, laki-laki juga. Lembu yang mereka gembalakan adalah beberapa lembu dari lembu yang aku pelihara. Sebab aku tidak mampu menggembala lebih dari dua puluh tiga ekor lembu sendirian. Abangku sudah tidak lagi di kampung, ia masuk pesantren di Samalanga Bieuren. 

Lembu yang dipisahkan ke mereka ialah Lembu Gitul kami dan beberapa keturunannya. Lalu lembu Sunggi kami, kemudian anak Sunggi yang tak aku pilih saat pembagian dan menjadi bagian Tokeh, lalu anak Cimun. Yang tadinya lembu yang aku pelihara lebih dua puluh tiga ekor, kini tinggal lima belas ekor. 

Di pulau ini hanya kami berempat. Aku, Wiw, San dan Aya adiknya Wiw. Kami bermain Patok Lele sedari ashar tadi. San dan Wiw mengajak udahan, namun karena aku yang sering jaga dari tadi, aku tidak mau udahan, aku mau mereka juga jaga selama aku jaga. Yang menjaga lemparan itu ibarat sedang kena hukuman. Akhirnya kami bermain hingga matahari terbenam.

Wiw telah mengkhawatirkan lembu akan pulang duluan atau pergi dan hilang. Aku pun tahu hal itu. Tapi aku tetap tidak mau sebab dari tadi aku selalu kalah. Kami lanjut bermain. Wiw dan San juga tidak bisa berhenti begitu saja sebab aku larang pergi. Aku ingin aku yang melempar dan mereka yang jaga, atau salah satu dari mereka. Sebab aturannya hanya satu orang yang jaga. Kecuali mainnya berempat. 

Sepuluh menit sekali Aya disuruh Wiw mengecek lembu apakah mereka masih ada di padang rumput atau telah menghilang. Ketika suruhan pengecekekan ke sepuluh, Aya datang ke tempat kami bermain, dia lari ketakutan,

Lihat selengkapnya