Aku masih ingat betul ketika diajak mamak pertama kali ke sekolah untuk mendaftar. Aku memakai kemeja lengan pendek dan celana panjang yang tidak lain tak bukan ialah baju lebaranku tahun lalu yang masih disimpan mamak di dalam lemari, dikenakan saat bila perlu saja. Tidak pakai alas kaki. Kaki ayam isitilah fenomenalnya. Juga tidak pakai seragam sekolah sebab tak punya seragam. Aku tidak sendirian, banyak temanku yang lainnya juga begitu.
Mamak dan bibik-adiknya ayahku telah janjian dari kemarin hari untuk mendaftarkan aku dan Arma anak perempuan bibik nomor dua, kakaknya Aima. Keesokan harinya langsung masuk sekolah dan membawa 'sumpit' pengganti tas anak sekolah.
Tahun itu 2001. Tahun di mana film yang sering muncul tiap sore ialah sinetron yang bunyi lagunya begini, "Tum mere papa, tum mere sapna." Pemerannya anak kecil seumuranku yang jalan mengenakan tongkat sebab kakinya tak lengkap, disabiltas. Ia mencari papanya yang tak kunjung pulang. Tidak pernah sampai selesai menonton namun aku sering sempat dengar lagunya, sebab tayang di sore hari dan aku selalu dipanggil mamak pulang ke rumah sebelum matahari terbenam.
Kami menonton di rumah istri kedua pak-Ngah. Di dinding rumah beliau tertempel kalender tahun 2001. Pak-Ngah tidak selalu di kampung. Beliau mencari nafkah di Tanah Karo dan menetap di sana. Hanya satu dua kali saja pak-Ngah pulang kemari. Dan rumah pak-Ngah selalu dikunci dan lampunya mati, tak ada yang menghuni. Di depan rumah pak-Ngah ini pula aku pertama kali melihat polisi menangkap, memborgol dan membawa orang ke kantor polisi. Dia adalah abangnya Epet yang paling tua. Entah apa masalahnya dengan polisi, aku tidak begitu ingat. Ibunya Epet menangis-nangis minta agar anaknya jangan dibawa. Aku pun turut sedih melihatnya. Di depan rumah pak-Ngah ini pula betisku pernah dipukul mamak.
Aku tidak pulang ke rumah, aku takut dimarah. Gara-gara saat bermain di bawah pohon nangka. Niat mengambil buah nangka yang setengah matang. Karena buah nangkanya begitu dekat, aku suruh Yon ambilkan parang di rumahnya. Aku bacok-bacok buah nangka. Sesekali kena dan ketika tidak kena, parang langsung saja mengenai kepala Yon yang tepat berada di bawah nangka dan darah pun mengalir hingga ke leher dan wajahnya. Yon menangis. Aku bilang jangan menangis, nanti datang harimau dan membawa orang yang nangis. Tapi dia terus menangis dengan kencang dan pulang. Semuanya heboh. Orang-orang berdatangan.
Aku pun diam. Tak bicara sepatah kata pun. Aku takut dimarah ayah dan mamak. Begitu sore hampir magbrib, hujan gerimis. Mamak datang mencariku. Mamak melihatku duduk di depan rumah pak-Ngah. Mamak datang dengan tangannya disembunyikan di belakang. Mamak tersenyum dan mengajakku pulang. Aku pun mendekat. Lalu tiba-tiba beberapa pukulan mengenai betisku dan aku lari cepat dan jauh-jauh dari mamak. Sembunyi lagi di dekat kandang lembunya Epet. Kukira mamak tidak marah, rupanya taktik mamak agar aku tidak lari sebelum dipukul. Padahal aku tak sengaja membacok kepala Yon. Tapi memang layak juga dipukul sebagai pelajaran agar tak sembarangan menggunakan parang. Kepala Yon dijahit. Untung saja ia tidak pingsan.
Begitu malam tiba, bibik menjemputku dan mengantarkanku pulang. Kata bibik jangan takut, nanti kalau mamakmu marah, bibik marahi mamakmu. Barulah aku berani pulang berkat pertolongan bibik. Aku mengira waktu itu hanya bibik yang dapat aku andalkan. Aku pun makan malam dan lekas tidur.
Selain pohon nangka, di samping rumah pak-Ngah juga ada pohon durian. Masih milik bersama-yaitu tumbuh di atas tanah kakek kami. Tanah kakek lumayan banyak sehingga tiap orang anaknya dapat tanah, pun ayahku. Adapun tanaman nangka dan pohon durian sengaja dibiarkan tumbuh agar kami para keponakan bisa menikmati buahnya. Pernah juga kami tidur di rumah. Aku, Piyah, Edi, dan anak pak-Ngah laki-laki paling besar, Ami. Kami menunggu buah durian jatuh. Kadang ada orang yang usil, dilemparkannya batu ke sekitaran batang pohon, kami segera keluar bawa sentar. Lebih lima belas menit mencari di semak-semak di bawah pokok, tidak menemukan satu buah pun, harumnya juga tidak tercium sama sekali. Besok paginya bang Edi, anaknya bibik tanya ke orang yang terduga,
"Kau kan yang tadi malam lempar batu?" tanyanya pada abangku Naldun-anak pak-Lang.
"Bukan." sahutnya tawa.
"Aiken me?" kata bang Edi. Are you sure?
"Aiku pe!" I'm sure! Lalu keduanya ketawa, ketahuan orangnya, malah tidak mau mengaku.
Berita-berita Tsunami terus disiarkan di tv. Tiap kali aku ke kedai kopi meskipun tidak minum kopi, selalu saja vidio amatir ditayangkan dan jumlah korban serta genangan air dan juga masjid Baiturrahman yang di atasnya dinaiki orang-orang untuk menyalamatkan diri. Padahal sudah tahun 2005, sudah hampir satu tahun berlalu, tapi tiap kali jeda iklan sinetron, berita Tsunami pasti muncul lagi. Diiringi dengan lagu Aceh yang bikin nangis orang yang mendengarkan. Aku pun tak tahu betul di mana lokasi Tsunami itu terjadi lebih tepatnya, belum pernah aku keluar daerah apalagi sejauh Banda Aceh, entah bagaimana dan di mana masjid Baiturrahmah? Berita Tsunamai sangat cocok dengan sinetron yang sedang tayang, OST-sineteon itu dibawakan oleh Sulis, "Langit bumi bersaksi, langit-bumi bersaksi, derita kujalani. Langit-bumi bersaksi, derita kujalani. Tak juga aku mengerti (misteri dunia ini) (Misteri dunia ini)" begitu bunyi OST-nya. Tiap kali mendegar lagu itu, sumpah aku merinding dan terngiang-ngiang di telinga. Padahal suara Mbak Sulis merdu sekali!
Hari ini menggembala lagi di Pante Dona. Lembu kami makan di pulau seperti biasa. Kalau sudah di pulau, kami bebas bermain. Kami berenang ke sana ke mari menyeberangi sungai di bawah jembatan Pante Dona. Kami bertiga, Hen atau juga dipanggil Khek, San dan Aku. Tiba-tiba saja di seberang sana ada dua orang abang-abang memanggil kami. Kami pun menyeberang dan menepi,
"Bisa nyanyi, Dek?" tanya salah satunya pada kami. Khi dan San diam. Mereka tidak ada satu lagu pun yang dihapal.
"Bisa, Bang!" sahutku.
"Kami ini wartawan dari stasiun tv. Kalian mau masuk tv?"