Seperti yang sudah Anda tahu duhai pembaca budiman dari bab sebelumnya, sudah sejak kelas lima SD aku ingin masuk pesantren. Kenapa? Karena aku sudah merasa sangat lelah di kampung. Dari SD kelas 3 aku telah ikut abangku menggembala lembu.
Kelas empat sampai tamat SD aku menggembala sendiri dengan jumlah lebih lima belas ekor lembu. Setiap hari tanpa libur, kecuali aku sakit, dan seingatku aku jarang sekali sakit saat SD dulu. Dan alasan lain ialah aku malas bekerja di sawah atau diajak ayahku ikut naik gunung. Kalau aku di kampung, sudah pasti ikut membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah dan di gunung, dan aku lebih memilih bekerja menderes karet di gunung sebab di sana dingin.
"Kalau tidak masuk pesantren, aku tidak mau lagi sekolah." kataku pada mamak, mamak bilang ke ayahku. Ayah adalah orang yang sangat perhatian kepada pendidikan anaknya, asalkan tidak nakal, nurut omongan kedua orang tua, belajar yang rajin, ia akan turuti apa pun yang dimau anaknya selagi itu di bidang pendidikan. Apalagi pesantren, ayahku malah senang kalau aku mau masuk pesantren.
Dengan biaya apa adanya, ayah pun memutuskan mengantarkanku ke pesantren yang sesuai dengan permintaanku: luar daerah dan jauh dari kampung.
Ayah meminta tolong kepada abangku, bukan abang kandung, melainkan ialah bertutur abang sepupu jauh, bukan sepupu dekat. Kenapa bisa ia kupanggil abang? Sebab dia memanggil ayahku: pak. Ayahku lebih tua darinya. Bagaimana bisa kenal dengannya? Sebab dialah tauke karet ayah. Hampir setiap kali panen ayahku menjual getah karet hasil menderas ke dia. Namanya Juh.
"Adik kami juga ada yang di pesantren Medan. Tapi di tempatnya tadi mahal perbulannya." jelasnya ke ayahku.
"Yang murah aja, yang gratisan aja." kata ayahku.
"Ada yang gratis, panti asuhan."
"Ya tidak apa-apa. Dia mau di panti asuhan." sahut ayahku. Aku mendengar obrolan mereka dari dalam kamarku, ayah dan bang Juh mengobrol di teras depan. Dua hari kemudian, ayahku ke tukang tempah kayu, Pak Umar itu.
Ayahku memesan kepada pak Umar peti yang berukuran sedang untuk tempat baju-bajuku. Perasaan senang pun menyerangku, sudah tak sabar ingin pergi jauh, kalau bisa sejauh-jauhnya dari kampungku! Aku bosan di kampung!
Beberapa hari kemudian peti itu jadi. Hari berikutnya ayah memesan tiket mobil BTN seharga 60 ribu pertiket. Adapun bang Juh, dia sudah ke Medan duluan sejak tiga hari kemarin, dia dan anak buahnya membawa karet untuk dia jual kembali di Medan.
Tiba di Tiga Binanga. Sudah setengah perjalanan. Sudah 3 jam lebih kurangnya perjalanan kami menuju Medan. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru akan sampai di Medan. Semua penumpang turun dan makan di rumah makan. Aku dan ayahku juga ikut turun dan makan.
Setengah jam kemudian, mobil BTN berangkat, melaju di atas aspal yang banyak lubangnya. Mobil BTN melaju cepat, tikungan-demi tikungan ia hadapi dengan baik, tak takut jurang kiri-kanan yang apabila terpeleset dan jatuh, maka 90 persen mati, 10 persennya adalah pertolongan Allah.
Melewati Kaben Jahe kemudian Brastagi, hujan gerimis, hari hampir subuh. Kiri kanan terang dan banyak sekali tanaman bunga warna-warni nan indah di tepi jalan. Jalan aspalnya mulai bagus, tidak berlubang seperti dari Tanah Karo hingga Kaben Jahe tadi. Film yang sedang diputar di TV mobil BTN adalah film Aceh si Bang Joni yang sedang dikejar-kejar bapaknya Yusniar. Aku masih duduk di tepi jendela bagian kanan, kaca jendela mobil dibasahi rintik hujan.
Pukul 5: 20 kami tiba di stasiun mobil BTN Padang Bulan. Alhamdulillah aku dan ayahku sudah tiba di Medan! Di sini masih pagi, tapi orang-orang sudah ramai sekali. Anak kampung sepertiku yang pertama kali melihat suasana ini merasa sangat senang sekali! Aku dan ayah menunggu bang Juh yang katanya ketemuan di stasiun ini, katanya ke ayahku dalam telepon ia akan datang jam 8 pagi. Kami menunggu dua jam lebih, duduk di kursi. Tadi ayah sudah shalat subuh di mushalla stasiun BTN.
Lelah menunggu, bang Juh pun datang. Aku menyalami bang Juh. Dia mengajak kami ke rumah makan untuk sarapan pagi. Setelah makan, barulah kami ke pesantren yang dituju ayahku, dan bang Juh adalah peta kami. Bang Juh sudah hafal betul seluk-beluk kota Medan. Ternyata benar, aku dibawa ayah dan bang Juh ke panti asuhan. Kami menunggu di depan, bang Juh menemui staf pengasuh.
"Sudah tutup pendaftaran, tidak lagi menerima murid baru." kata bang Juh kepada ayah setelah keluar dari dalam ruangan.
Lalu keliling lagi, bang Juh masih punya tiga sampai empat panti asuhan lagi. Dan aku masih bahagia dan berharap. Asal jangan balik ke kampung, aku siap di manapun aku ditempatkan selagi berasrama. Setibanya di panti asuhan kedua, kata yang sama diucapkan pihak pengasuh. Mereka sudah lama tutup sejak bulan Juni dulu sementara kami datang setelah lebaran di bulan September. Kemudian ke panti asuhan lainnya, panti asuhan terakhir yang kami tuju.
"Nanti satu bulan lagi datang, insyaAllah kami usahakan menerima anak bapak." kata pihak pengasuhan kepada bang Juh. Dan ayah ingin hari ini juga diterima, di mana saja asalkan gratis. Habis sudah panti asuhan yang dituju, jam sudah pukul 2 siang. Kami pun makan siang. Sambilan menikmati makan siang, bang Juh menawarkan pesantren murah, pesantren bukan panti asuhan. Dan ayahku ingin ke sana.
Selepas makan siang kami pun ke sana, dua kali naik angkot hingga tiba di gerbang pesantren. Untuk masuk ke dalam mesti naik becak, sebab masih jauh ke dalam. Sampai di sana, ayahku dan bang Juh masuk ke dalam ruangan, menemui staf pengurus pesantren. Satu jam lebih lamanya aku menunggu di luar. Kemudian kulihat ayah dan bang Juh keluar, dari wajah mereka sepertinya tak ada harapan aku akan masuk pesantren ini.
"Kune, Wok?" tanyaku. Gima ayah?
"Nemu nine kau sendah gat mengket wakhi nde, tapi se biaya daftarne due jute setengah, go tekhmasuk uang mangan dan lemakhimu, uang bulan ne nahan 300 khibu. Malot khasene sanggup aku khut amekmu belanjai se." jelas ayah padaku. Bisa katanya kau masuk hari ini juga, tapi biaya pendaftarannya dua juta setengah, sudah termasuk makan dan lemari. Uang bulanannya nanti 300 ribu perbulan. Tak mampu rasanya ayah dan ibumu membiayainya. Habis sudah harapan, lama ayah berpikir tetap meninggalkanku di pesantren ini atau membawaku balik lagi ke desa Alur Langsat?
"Aku pot ni hande, Wok, asalken aku nde mengket pesantren." kataku pada ayahku. Aku mau di sini ayah asalkan masuk pesantren. Dan ayah memutuskan membawaku balik kampung lagi.
Sebelum pulang, masih di tanah pesantren, kami menemui seorang tuan guru ternama. Beliau terkenal dengan dzikir dan sholawatnya, keilmuannya. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini, setiap hari ada tamu, tidak pernah sepi.
Air sudah tersedia untuk dibeli tamu dalam jeregen. Bila mau minta doa maka beli air dan serahkan kepada beliau dan beliau akan membacakan doa ke dalam air tersebut.
"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada bang Juh. Bang Juh pun menyebutkan kemauannya, seingatku dia ingin calon istrinya yang kedua itu dilembutkan Allah hatinya, mau menerima bang Juh. Setelah bang Juh, tibalah giliran kami.
"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada ayahku.
"Aku ingin guru mendoakan agar anakku ini jadi anak yang shaleh, anak yang berilmu."
"Siapa nama anakmu?"
"Daud Farma." sahut ayahku.
"Siapa?" tanya beliau lagi
“Daud Farma." kataku dan ayah serentak. Syaikh itu pun membacakan do’a. Tak lebih sepuluh menit, kemudian beliau pun bicara lagi,
"Minum di waktu fajar, baca surat al -Ikhlas tiga kali, al-Falaq sekali dan an-Nas sekali." Lalu kami pun menyalami beliau dengan memberikan uang dengan seikhlas hati.
Keluar dari tempat minta doa, aku bertanya kepada ayahku,
"Dape kin kas pesantren ne, Wok?" Di mana lokasi pesantrennya Ayah?
"Ni belakang hadih, ende pe tong nge lokasi pesantren ne, mebelang da tanoh pesantren ne, de mbelin kin tuhu pesantren ne." jelas ayah. Di belakang sana, ini juga masih lokasi pesantren, luas tanahnya, memang benar pesantrennya besar.
Kami pun membeli peci di depan pinggir jalan yang juga masih dalam pesantren, lebih tepatnya ini adalah tempat rumah suluk Besilam, setiap tahunnya ribuan orang datang kemari. Waktu kelas 6 SD dulu aku selalu bilang pada teman-teman kelasku aku akan lanjut di Besilam, padahal aku belum tahu di mana dan seperti apa? Hari ini aku mengunjunginya dan aku tidak jadi sebagai santrinya.