Ustadz Fajrun kepala sekolah dan juga pengajar pelajaran komputer. Beliaulah orang yang pertama kali mengenalkanku yang mana monitor, keyboard, cpu dan mouse dan juga mengajarkan microsoft word. Sudah sejak di SMPN Salim Pinim kupelajari teorinya namun baru sekarang prakteknya. Di luar jam sekolah, kami yang dari Kuta Cane boleh memanggil beliau, "Bang".
Bang Fajrun belum menikah, beliau dijodohkan Opung dengan anak perempuannya yang cantik. Kakak itu baik sekali kepadaku dan Suadi. Bahkan beliau pernah mencuci baju kami waktu masih santri baru. Tapi kini kami mencuci baju sendiri di hari minggu pagi. Sabun cuci dibagikan Opung satu orang setengah sabun telepon atau juga disebut sabun batangan.
Adapun sikat, kami beli sendiri di luar. Hari minggu adalah hari libur kami, tapi tidak libur bekerja. Aku dan 3 teman lainnya ikut bang Malik ke kebun kacang goreng yang belum berbuah.
Dua puluh menit berjalan kaki dari asrama. Bang Malik naik motor kap 70-nya, beliau membawa tanki semprot untuk membasmi hama. Setibanya di sana kami membersihkan rumput-rumput yang tumbuh mengelilingi tanaman.
Kami bekerja hingga siang hari. Selesai bekerja kami pun pulang. Sonok adalah orang yang sering satu group denganku saat bekerja. Dia baik, pintar, lucu dan rajin bekerja. Dialah penuntun jalan pulang-pergi.
Hari jumat, kami shalat jumat di luar, di masjid kampung terdekat. Selepas jumat aku diajak temanku anak Sibolga mengangon sapi. Kami pergi jauh menelusuri seluas sawit. Sapinya ada empat. Padahal aku sudah lama menanam niatku untuk tidak akan mengangon lembu lagi seumur hidupku, sebab sudah cukup bosan di waktu SD dulu menggembala lembu yang jumlahnya lebih limas belas lembu.
Baru setengah tahun yang lalu terakhir aku menggembala, di sini aku mengangon sapinya panti asuhan, tentu sapi kami juga. Nama temanku, Wawan. Kami biasa memanggilnya, Wan. Orangnya putih, bibirnya tebal, kalau bicara bibirnya dibasahi ludahnya sendiri, suaranya pecah dan ngebas, orangnya tidak tinggi tapi badannya berisi. Dia mengajariku bahasa Sibolga tapi kosa-kata yang buruk makna juga dia ajarkan kepadaku. Dialah yang lebih sering dapat giliran mengangon, selain dia ialah Sonok. Opung lebih percaya padanya, padahal dua-duanya perokok.
Aku mulai akrab dengan Wawan. Dialah yang mengajakku berkeliling jauh mengangon, bahkan jika ia suruh aku pulang sendirian aku tak tahu jalan pulang. Kami menggembala kemana sapi pergi, kami mangawasinya agar tidak dicuri orang dan makan tanaman orang kampung.
Kami menikmati sore di bawah pohon sawit, sapi menepi di pinggir jalan yang beberapa minggu lalu kami lewati bersama ibu-ibu kami dan pamanku. Aku menatap jalan itu sejauh mataku memandang, pikiran pun datang: akankah aku ini pulang? Atau di sini selamanya?
Sabtu sore kami mengeringkan kolam dekat dapur atau di belakang mushalla. Pokoknya dua minggu sekali kami mengeringkan kolam. Aku juga dapat bagian mengeringkan kolam. Kata bang Malik, kolam yang ini sudah lama tidak dipanen.
Begitu ikan-ikan mas besar sudah mulai kelihatan dan gelisah, kami pun turun menangkap ikan-ikan itu. Semua ikan baik kecil maupun besar. Yang masih kecil akan dipindahkan ke kolam sebelah. Adapun yang besar untuk dijual dan sebagian dimasak untuk lauk, sudah pasti malam ini lauk kami bukan ikan asin sambal dan daun ubi, tapi adalah ikan mas!
Sangkinkan bahagianya, aku menaiki ikan mas yang cukup besar! Aku dibawanya keliling kolam yang airnya setinggi lututku. Santri putri pun tertawa melihatku berenang dengan ikan, aku pun malu dan ikut tertawa. Dan ikan besar ini pun ditangkap bang Malik dan ikut dijual ke pasar untuk beli beras dan keperluan panti asuhan lainnya. Sebelum magrib aku sudah berada di mushalla, teman-teman yang lain sebagian masih mandi. Wawan sedang membaca syi'ir seperti biasanya yang belum satu kata pun kutahu maknanya. Meskioun suaramya ngebas sebab bibirnya tebal, namun tetap enak di dengar di telinga. Seakan hanya dialah punya ciri khas saat membacakannya. Pernah aku dengan Sonok tapi tak sebagus di telinga ketika Wawan yang baca. Aku berdiri di tepi pintu. Mushalla kami punya tangga kayu. Mushalla kami cuma pondasinya saja yang semen. Aku melihat ke arah mata hari terbenam. Di sana lah arah Kuta Cane? Seberapa jauhkah dari sini? Aku masih teringat denga lagu yang aku dengar sewatu perjalanan dari Kuta Cane ke panti asuhan ini, tapi hanya reffnya yang aku ingat dan terngiang-ngiang di telingaku, "Ingatkan engkau kepada, angin yang berhembus mesra, yang menemanimu sebelum cahaya. Ingatkan engkau kepada angin yang berhembus mesra yang kan membelaimu cinta."
Satu bulan sudah aku di panti asuhan Istiqomah, badan makin kurus, kulit makin gelap kelabu, ilmu baru sedikit, kerja sudah lumayan banyak tapi tak sebanyak bang Malik. Lagi-lagi aku bangga pada bang Malik, juga kagum pada santri, bangga pada panti asuhan.
Panti asuhan tidak mengemis pada pemerintah, kebun Opung banyak, tanahnya luas, sangat cukup menghidupi kami bahkan seratus orang pun cukup. Hanya saja tidak banyak yang tahu tempat ini dan yang tahu pun tidak betah dan pulang. Dan aku senang pada mereka yang betah bertahan bahkan sudah ada yang kelas tiga SMP. Sepertinya bekerja untuk hidup mandiri telah jadi kebiasaan mereka.
Ardi adalah orang Kuta Cane sebagai santri yang paling lama betah di sini. Kata Ardi, tiga hari sebelum kami datang, ada satu orang anak Kuta Cane yang juga kelas satu SMP, dia belum lama di sini tapi sudah dijemput ayahnya, sudah pasti karena tidak betah.
Suatu malam Aniel marah-marah kepada Ardi, aku tidak berani ikut campur, semua orang tak berani. Kulihat Ardi menangis gara-gara ditendang Aniel.
"Lapor sana! Lapor!" katanya pada Ardi. Gara-gara Ardi ribut denganku bercerita di dalam asrama, sedangkan Aniel ingin segera tidur. Tapi Aniel tidak marah padaku.
Sejahat itupun dia ke Ardi, dia kuanggap baik sebab belum pernah ia jahat padaku, dan sudah sebulan aku di sini, belum pernah satu patah katapun ia ucapkan kepadaku. Tidak menanyakan aku dari mana? Namaku siapa? Sudah makan atau belum? Tolong ambilkan ini dan itu, tidak pernah. Dia malah bertanya pada Wawan dan Sonok tentangku. Aku lebih tinggi dari Aniel. Tapi Aniel lebih berisi badannya dibanding aku, jika berkelahi sudah pasti aku kalah. Apalagi Ardi? Dia sama tingginya dengan Suadi tapi lebih tegap Suadi.
Ardi dan Suadi lebih pendek dariku, hanya saja aku paling kurus. Aniel, dia tegap berisi, rambutnya paling sok di asrama, paling tua dan paling ganteng. Tak heran santriwati paling cantik angkatanku suka padanya dan bahkan mereka saling kirim surat, dan Sonok adalah pak Pos. Aku pun pernah mendengar dari Ijal atau yang sering juga kami panggil Unyil bahwa mereka memang pacaran.
Kami panggil unyil karena memang kami sering mengikuti acara tv Laptop si Unyil di rumah Opung saat makan siang dan Ijal adalah santri paling kecil di panti asuhan Istiqomah. Kata Unyil alias Ijal, ada santriwati yang kirim salam kepadaku, dan dia menyebutkan nama orang yang kirim salam itu. Tentu aku segera tahu dan kenal siapa orangnya sebab ia satu kelas dengan kami. Kubilang pada Unyil: waalaikumsalam, dan sepertinya ia telah menyampaikannya kembali karena ketika aku ke dapur saat sarapan, makan siang dan malam sering kulihat dia dan temannya duduk di pintu. Sesekali temannya itu setengah batuk ketika aku lewat. Lagi-lagi hanya sebatas kirim salam, belum sampai kirim surat, dan peristiwa kirim salam itupun terjadi setelah empat minggu lamanya aku di Istiqomah.
Dia jugalah orang Nias, cantik dan manis, shalihah tentunya. Mungkin karena dia tahu aku ini dari jauh, dari Aceh, dan mungkin aku termasuk relatif ganteng menurut mata hatinya. Saban hari dilihatnya di dalam kelas sebagai orang pendiam, tidak banyak tingkah dan sedikit manis kalau tersenyum, (ahai), akhirnya dia yang suka duluan kepadaku, menyampaikan perasaannya dengan berkirim salam lewat Unyil. Aku? Belum bisa menyukai orang lain. Aku masih belum tahu siapa yang harus aku sukai?
Aku? Selain membalas salamnya, aku tidak ada hal apa pun dengannya. Jangankan mengiriminya surat, meliriknya lebih lima detik pun aku tidak berani, selain aku pemalu pada perempuan, aku takut pada ustadz Fajrun.
Bahaya kalau beliau sampai tahu yang satu daerah dengannya pacaran. Dan aku tidak pernah menganggap peristiwa kirim salam ini pacaran, belum pernah juga ia kuanggap pacarku, dia pun demikian. Ah jangankan pacaran, mengobrol dengannya saja aku belum pernah, padahal sudah 30 hari aku di panti asuhan ini.
"Aku lelah. Aku tidak betah. Aku ingin pulang." kata Suadi. Dia selalu mengeluh, dan aku mendengarkan keluhannya. Ingin sekali ia menelepon ke kampung, mengabari ibunya bahwa ia sudah tidak betah. Sudah berkali-kali ia mengajakku pulang.
"Ayolah kita telepon ibu kita di kampung." katanya lagi.
"Di dinding peti bagian dalamnya telah kutulis nomor telepon ayahku. Kalau mau silakan telepon saja. Aku betah di sini." jelasku padanya. Ibunya Suadi tak punya hp, di Alur Langsat masih jarang orang pakai hp, tidak lebih sepuluh orang. Salah seorang yang punya hp ialah ayahku.
Ayah beli hp sebab tidak mau terusan meminjam hp orang lain saat menelepon abangku Piyah, abangku yang nomor tiga yang mengaji di Pesantren Mudi Mesra Samalanga. Suadi pun bergegas pergi, menulis nomor telepon di dinding peti yang sekarang masih di kamar ustadz Fajrun.
"Sebaiknya kau izin dulu ke Ustadz Fajrun sbelum menelepon ke kampung." saranku.