Kami sempat berhenti di tengah jalan. Paman dan temannya pun merokok sembari keduanya bercerita satu sama lain. Aku dan Suadi hanya menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang dengan kencang di jalur lepas hambatan. Kami tak saling bicara.
Sejak ia berhasil merayuku di depan rumah Opung tadi, aku telah membencinya bahkan membenci pamanku sendiri, pun benci pada diriku yang mudah mereka taklukkan. Pamanku sama sekali belum bicara denganku. Namun kadang pikiran untuk berasalan senang itu tiba-tiba muncul, mencoba mengajakku berdamai dengan Suadi dan pamanku, dan aku pun setuju. Toh memang nantinya aku bakal tidak mampu juga, aku bakal tidak betah, aku telah mengukur batas kemampuanku untuk bertahan di panti lebih lama. Paling juga setelah satu minggu aku ditinggal Suadi dan paman, aku akan menelepon ke kampung untuk dijemput, jadi tidak salah juga aku ikut mereka sekarang ini meninggalkan panti asuhan Istiqomah yang sudah jauh sekali di belakang sana.
Paman dan temannya pun selesai merokok, kami melanjutkan perjalanan. Hari sudah mau magrib, jalanan macet. Paman mencoba menyelip dan ia berhasil. Hujan gerimis, kami pun berhenti dan mengenakan mantel kemudian melanjutkan perjalanan.
Setelah magrib kami tiba di rumah paman. Kami disambut puhun, istri paman. Kami salami puhun. Lalu kami pun ganti pakaian dan mandi. Adik-adikku, Rian dan Ipul sedang nonton tv di lantai dua. Srik sedang memasak di dapur. Bahkan dia malu menunjukkan dirinya apalagi sampai bertanya: kenapa abang tak betah di sana? Padahal dia tahu hari ini ayahnya menjemput kami di Siantar, dan dia tahu kami sudah tiba di dalam rumahnya.
Selepas mandi kami shalat. Kami tak tanya ke paman maupun puhun kemana arah kiblat. Kami lentangkan sajadah dan aku pun takbir sebagai imam. Selesai sholat, puhun pun memberitahu kemana arah kiblat, terpaksa kami ulang balik shalat kami.
Menunggu makan malam, aku dan Suadi pergi ke luar. Berjalan di depan sekitar rumah puhun, kami melihat-lihat rumah penduduk, di dekat rumah paman adalah kilang pengolah getah karet yang diubah menjadi benda lainnya. Kami membeli snacks. Dan di samping warung itu tampaklah sebuah masjid yang tidak begitu besar.
"Gimana kalau besok kita jamaah di masjid?" ajak Suadi.
"Boleh." sahutku. Sepuluh menit pun berlalu dan kami balik ke rumah, sebab Rian memanggil kami. Sampai di rumah kulihat hidangan sudah siap, Srik masih pulang-pergi ruang tamu-dapur membawakan yang belum ada. Kami pun makan malam. Paman heran melihatku hanya mengambil nasi sedikit saja.
"Tambah tule nakanmu, kune me sitok ne hamin," kata paman. Tambah lagi nasimu, kok cuma sedikit.
"Go, Me, malot kekhi nahan." jawabku. Sudah paman, nanti tak habis.
"Sitok kin hamin kendin mangan ni hadih?" tanya paman lagi. Cuma dikit kalian makan di sana?
"Malot, Me." sahutku. Tidak paman. Aku pikir tidak perlu juga kuberitahu aku dapat jatah nasi sebanyak apa? Tentu tidak bisa disamakan dengan makan di rumah sendiri. Badanku kurus memang susah berisi seperti Suardi, bukan salah panti Asuhan. Tapi tiba-tiba paman pun bicara lagi, seakan ia tahu apa yang sedang aku bincangkan dalam hatiku.
"De Suadi nde tembun kidah ye, kau mejakhe kidah." kata beliau lagi. Tapi Suadi gemuk kulihat dia, kau kurus. Aku pun diam, tak dapat menjawab apa-apa, paman tahu betul apa yang kami alami di sana. Kami bekerja untuk kami juga. Dan itu wajar saja.
Setelah makan itu paman melihat ke telapak tanganku yang kasar, tak ada mulusnya. Mestinya santri tidaklah sekasar itu tangannya, tapi apa boleh buat, kami santri dan juga bertani, toh untuk kami juga. Aku tak begitu mempersoalkan itu. Aku adalah anak petani, sudah sering bekerja keras, bahkan menggembala lembu lebih lelab dibandingkan ikut membantu ayah bekerja di gunung dan sawah.. Justru aku bersyukur bisa jauh dari kampung dan segalanya gratis.
Selesai makan malam, kami naik ke lantai dua. Kami nonton tv. Srik, yang sudah sangat sering mengikuti sinetron, semua nama pemain ia hafal, peran pembantu, nama pengemis, nama kucing di senetron, mobil yang dipakai, pakaian, serta ia jelaskan alur cerita secara ringkas dari episode sebelumnya hingga yang sedang kami tonton sudah belasan episode. Kami ketinggalan sepuluh menit untuk episode yang sedang kami tonton, kemudian ia pun menjelaskan yang sepuluh menit tersebut.
Baru kali ini Srik benar-benar duduk di dekatku, bercerita dengan berani tanpa gugup. Suadi tak menyimak ceritanya, Suadi hanya fokus menonton. Rian dan Ipul belajar di kamarnya. Selesai sinetron itu Srik kembali ke kamarnya, sedangkan aku dan Suadi masih menonton hingga pukul satu malam dan kami pun tidur di ruang tv.
Minggu pagi kami menonton sambil menunggu bubur sarapan yang dimasak puhun dan Srik. Dari pagi sampai sore kami di rumah, nonton tv, tidak kemana-mana. Sorenya kami disuruh paman ke luar rumah pergi ke Wartel untuk memberitahu orang tua kami agar dikirimkan uang ongkos pulang serta uang minyak motor paman dan temannya yang sudah habis untuk menjemput kami.
Andaikan hanya aku, tentu paman tidak minta ganti, tapi Suadi tidak ada hubungannya dengan paman. Paman tidak kenal dia apalagi ibunya, saudara dekat juga bukan. Juga paman memang bukan orang kaya, ia sederhana, buruh di pabrik karet. Gajinya hanya pas-pasan. Sampai di Wartel kami menelepon, kali ini aku yang bicara sama ibuku. Kujelaskan apa yang dijelaskan paman kepadaku.
"Kekhine lime khatus khibu, Mek." kataku. Semuanya lima ratus ribu, Mak.
"We, pagi kami kikhimken lewat motokh BTN." jawab ibuku. Ya besok kami kirimkan lewat mobil BTN. Ibuku patungan bagi dua dengan ibunya Suadi. Kemudian aku menutup telepon lalu kami pun menuju pulang ke rumah paman. Kami mampir di warung dan membeli permen, sambil berjalan bercerita menikmati kota Medan di sore hari.
Aku, Suadi dan dek Rian ingin sekali jalan-jalan jauh, namun hari sudah hampir magrib, kami mengurungkan niat kami. Setibanya di rumah, Rian memberikan beberapa permen ke Ipul, tapi tidak ia berikan ke Srik.
"Untukku mana?" tanyanya pada Rian.
"Tidak ada." kata Rian. Srik merajuk, lalu kuberikan ke Rian permen yang masih ada di tanganku untuk ia berikan ke Srik, kulihat ia tersenyum. Subuh esoknya uang yang dikirim ibuku sampai di stasiun BTN. Waktu itu kami belum akrab dengan transfer. Supir BTN pun menelepon paman, ternyata dia jugalah teman paman. Kemudian jam delapan pagi itu juga kami pamitan ke puhun. Sementara Srik, Rian dan Ipul sudah berangkat ke sekolah.
Kami diantar paman ke stasiun BTN, paman memberikan dua tiket untuk kami. Setelah menyalami paman kami masuk ke dalam mobil. Paman pun pulang sebab ia harus masuk kerja.
Hari itu terakhir kalinya aku melihat paman dengan kasat mata di awal tahun Januari 2008. Di tahun dua ribu dua puluh (2020) paman meninggal. Kata Srik padaku bahwa paman meninggal di rumah beliau yang sudah sekian kali pindah-pindah karena pekerjaan. Bukan akibat Covid 19.
Paman meninggal di Binjai dan dimakamkan di Engkeran Lawe Kongker Aceh Tenggara. Bukan main besarnya jasa paman padaku yang telah mengantarkanku menuntut ilmu. Aku tidak lupa mendo’akan paman, nama beliau: Mu'alim. Orang alas memanggil beliau Mukhalim. Ketika aku berdo’a kusebutkan nama paman. Alfatihah untuk paman Tiap kali aku membaca ulang tulisan ini, aku hadiahkan al-Fatihah dan shalawat untuk paman.
Tak lama setelah paman pergi, mobil BTN berangkat.
Kami meninggalkan kota Medan untuk selamanya. Entah kapan lagi akan kemari? Aku tidak tahu dan aku masih berharap bisa kembali. Keindahan kiri-kanan jalan menyejukkan mataku, sepanjang jalan hijau, sepanjang jalan gunung. Lalu kami tertidur.
Tiba di Tiga Binanga, mobil BTN singgah dan semua penumpang turun untuk makan. Kami memesan ikan lele goreng dan sayur ubi serta sambal balado. Kali ini aku benar-benar lahap makan, ingin rasanya tambuh, tapi takut duit tak cukup. Setelah minum, alhamdulillah terasa kenyang juga.
Sesudah semua penumpang selesai makan, mobil BTN pun melanjutkan perjalanan. Kulihat supirnya bukan yang tadi, sekarang sudah ganti supir. Kali ini aku dan Suadi tidak bisa tidur, selain tidak ngantuk, supirnya gila sekali membawa mobil! Dia menari dengan mobilnya, namun semua tikungan patah ia hadapi dengan baik, hanya beberapa penumpang yang tidur. Sangkinkan balapnya ia membawa mobil, pemandangan indah kiri-kanan jalan yang banyak jurang tidak bisa dinikmati, aku was-was mobil BTN ini terpeleset dan melompat ke jurang. Segera kubuang pikiran buruk itu.