SENJA DATANG AYO PULANG

Daud Farma
Chapter #30

Darul Amin 2

Becak bambkhu berhenti di samping gedung. Kubaca tulisan yang tertempel di dindingnya: SMKS Darul Amin. Mesin becak dimatikan, aku dan bambkhu pun turun. 

Ayah-ibuku, kulihat mereka naik motor lagi ke arah gerbang lalu belok ke kanan, tidak keluar gerbang. Kata ayah mau ke rumah pimpinan untuk mendaftarkanku. Hum, sekarang kutahu, ternyata bangunan tunggal sebelah kiri gerbang saat masuk di pinggir pagar tadi adalah rumah pimpinan. 

Aku dan bambkhu menunggu ayah-ibuku di samping gedung SMK. Lima menit kemudian, kulihat beberapa santriwati. Satu di antara mereka datang mendekat ke kami, wajahnya begitu cantik, kulitn pipinya putih, imut dan chubby. Kemudian ia mulai menyapa,

"Cari siapa, Pak?" tanya santriwati itu.

"Ini mau daftarkan anak masuk pesantren." jawab bambkhu-ku. 

"Kau anak mana?" tanya bambkhu.

"Aku anak Titimas, Pak." 

"Edih, anak Titimas kin kau? De ise gelakhmu?" Lah, kamu anak Titimas? Siapa namamu?

"Gelakhku, Wan, Pak." sahutnya. Namaku Wulan.

"Go kelas pige kau?" tanya bambkhu lagi. Udah kelas berapa. 

"Kelas due SMK." sahutnya. Dia mendatangi kami dengan maksud memberitahukan kepada kami bahwa ini adalah lokasi asrama putri. Tak lama bamkbhu mengobrol dengan santriwati itu, Wulan pun mohon diri. Dialah santri wati yang pertama kali kutahu namanya. Belakang hari kutahu istilah memanggnya harus ditambah kata, Ukhti sebelum namanya. Dia juga suku Alas, sama-sama anak Engkeran. Tak lama kemudian, kulihat ayah dan ibuku datang, dan diikuti seorang ustadz berbadan berisi namun tak sepenuhnya gendut, beliau naik motor cat merah dan putih. Begitu ayah mendekat, 

"Salami tengkumu, side no me pimpinen ni pesantren nde." kata ayahku. Salami ustadzmu, beliaulah pimpinan di pesantren ini. Barulah kutahu beliau adalah bapak pimpinan, buya.

"Ise gelakhmu?" tanya beliau pakai suku Alas, ternyata beliau juga orang Alas.

"Daud, Ustadz." jawabku segan sedikit menunduk dan senyum. Beliau pun menelepon. Kudengar dalam percakapan beliau dengan seorang ustadz, memberi perintah pada ustadz lain agar mengantar kami ke asrama putra. 

"Timai jak akhi khoh ustadz pengasuhen ngarahken kendin me asrama nu, Pak." kata beliau, lalu beliau pun mohon diri.

"We, Tengku." sahut ayahku santun. Ya Tengku. Ayahku tidak pernah memanggil seorang ustadz dengan kata ustadz, selalu dengan kata 'Tengku' seperti kebiasaan orang Aceh lainnya. Sewaktu menunggu ustadz datang, ayah pun memberitahu bambkhu bahwa biaya uang pendaftaran, uang bangunan, dan uang spp tidaklah begitu mahal, ayahku langsung melunasi uang spp untuk tiga bulan. 

Perbulannya hanya bayar 130 ribu, sebab kata ayah ke buya, kami bawa kompor. Itu artinya aku masak sendiri, bukan dapur umum. Ayahku tidak mampu membiayaiku untuk dapur umum, sebab bukan hanya aku yang masuk pesantren, abangku yang nomor tiga jugalah masuk pesantren di Samalanga Kab. Bireun, sudah lebih dua tahun ia di sana. Tiap bulan ayahku mengiriminya 500 ribu rupiah, dan bedanya dia dapur umum dan aku masak sendiri, jika duanya dapur umum, akan terlalu memberatkan ayahku. 

Aku pun tidak mempermasalahkan hal itu, syukur aku sudah dimasukkannya ke pesantren, sebab memang ini murni kemauanku, bukan paksaan kedua orang tuaku. Tidak lama menunggu, datanglah dua orang yang kulihat duduk di bangunan paling pinggir sebelah kanan tadi. Beliau mendekat ke kami, menyalami ayah dan bambkhu, dan aku menyalami beliau-beliau yang berdiri dekat bambkhu.

"Kenalkan saya, Ustadz Husni, selaku pengasuhan santri." jelas beliau. Ayah, ibuku dan bambkhu mengangguk mengerti. 

"Siapa namamu?" tanya ustadz Husni padaku.

"Daud, Ustadz." sahutku sedikit takut. Oh ternyata yang berbadan kekar yang sekarang berdiri di depanku ini bukanlah tentara yang sedang dapat giliran piket, melainkan seorang ustadz. Beliau tinggi betul! Badannya tegap berisi! Lengannya besar pula! Kalau beliah menumbukku saat aku ada salah, saat aku nakal dan melanggar disiplin, sudah pasti aku pingsan! Aku menakuti diriku sendiri dengan berandai-andai aku bersalah, dan aku benar-benar takut melakukan kesalahan, aku mau nurut segala aturan pondok ini. Kemudian kami diarahkan ke asrama putra.

 Bambkhu menyalakan mesin becaknya, lalu melewati lapangan dan mengarah ke bangunan yang tadi kulihat dua orang ustadz duduk. Lokasi ini benar-benar mirip kompi tentara! Dan tibalah aku di lokasi asrama putra! 

Di sebelah kanan, berdiri bangunan papan yang adalah pabrik kayu yang sedang bersuara bising bekerja. Rumput-rumput lapangan setinggi lutut, jika aku rebahan di sisi kanan lapangan ini, kuyakin mereka yang di duduk di teras masjid sana tidak akan melihatku. Beberapa santri main volly.

Asrama hanya dua bangunan. Di sebelah kanan, di samping pabrik kayu atau panglong adalah perpustakaan, dan dua gedung sekolah. Setelah pabrik kayu, dan sebelah kiri atau yang sedang kulihat di sisi kiri-kanan masjid adalah dua bangunan untuk asrama.

 Aku diarahkan ustadz Husni di bangunan asrama yang sebelah kiri kalau dilihat dari depan masjid. Alasan kenapa aku di asrama sisi kiri, sebab hanya tinggal asrama sebelah kiri lagi ada kamar yang kosong. Asramanya dua sisi. Sisi depan dan belakang, di tengah-tengah dibatasi dengan setengah beton dan setengah papan. Aku bagian sisi kamar depan.

"Joni Iskandar, ini teman barumu satu kamar. Kenalan lah kalian dulu." kata ustadz Husni pada salah seorang santri. Kami pun kenalan, katanya dia berasal dari Ngkeran juga, nama desanya Kuta Batu Satu, aku tahu persis itu di mana sebab tiap kali mau ke kota aku selalu melewati desanya.

 Joni pun bergegas, membereskan barang-barangnya, mengosongkan sebagian tempat untuk barang-barangku. Lalu dia pun menyapu. Kenapa aku tinggal dengan Joni? Sebab dia jugalah masak sendiri dan tinggal sendiri. Yang lain juga kebanyakan masak sendiri namun tinggal berdua dalam satu kamar. 

Di Pesantren Terpadu Darul Amin boleh masak sendiri bagi yang tidak mampu dan boleh juga dapur umum bagi yang mampu. Bambkhu menurunkan barang-barangku. Aku pun memasukkan semua barangku ke dalam kamar. 

Sementara ayah dan ibuku pergi ke luar, katanya mau beli nasi bungkus untuk makan malamku nanti, sebab aku belum tau cara memasak, di rumah aku tidak pernah masak lauk, hanya tau masak nasi saja. Waktu SD dulu ayahku mengajariku cara masak nasi agar tidak mentah dan lembek. Cuci beras minimal tiga kali. Ukur airnya dengan mencelupkan jari telunjuk kanan, jari harus tenggelam dua inci di atas beras, apinya jangan terlalu kecil dan jangan pula terlalu besar. Ayah mengajariku masak beras saat ibuku tidak di rumah, sedang berkunjung ke rumah paman di Ngkeran Lawe Kongkekh. 

Aku menyusun semua barang milikku di kamar Joni yang juga sudah resmi jadi kamarku. Pertama kali aku meletakkan tempat yang pas untuk petiku yang dua petak, satunya tempat beras, ikan tri, piring dan sebagainya. Satu petaknya lagi tempat baju-bajuku yang tak lebih lima belas lembar. Lalu kuletakkan kompor, ember kemudian menyusun tempat tidur. Aku menyusun tikar buatan ibuku di atas ranjang. Aku dan Joni satu ranjang, dia memakai kasur tipis, sementara aku memasang dua tikar buatan ibuku, keterampilan yang patut aku banggakan dari ibuku. Semua tikar di rumah kami adalah buatan ibuku, tidak pernah membeli tikar yang bahannya dari batang bengkuang itu. 

Ayahku tidak membelikan kasur, ayah tak punya duit. Ibuku pandai betul menganyam tikar dari daun bengkuang, dua lembar hasil anyamannya dia berikan untuk alas tidurku di pesantren. 

Dua lembar lagi masih tinggal di Istiqomah. Bambkhu duduk di atas becaknya sembari merokok, matahari hampir terbenam. Kulihat beberapa santri masuk dari luar pagar di belakang pabrik kayu. Kata Joni Iskandar, santri putra mandinya di luar pagar di sumur bawah sana. Setelah semuanya beres, tersusun rapi, ayah dan ibuku pun datang. Mereka melihat ke kamarku, sudah rapi. Kemudian ibuku memberikan dua nasi bungkus, satu bungkusnya ibumneyuruhku berbagi dengan teman kamarku. Kemudian ayah, ibuku dan bambkhu pun pamit.

Lihat selengkapnya