Senja di Batas Kota

Imas Yulianti
Chapter #1

Interview

Senja duduk di undakan tangga kelima salah satu ruangan di perusahaan wafer di batas kotanya saat ini. Dengan kemeja putih bekas seragam sekolahnya dulu yang sudah di copot bet di sakunya itu dengan celana bahan hitam yang ibunya jahitkan, menemaninya di setiap usahanya untuk mendapatkan pekerjaan selama satu bulan ini.

Amplop coklat yang entah keberapa yang sudah ia sodorkan ke pihak-pihak pencari karyawan itu kini sudah basah di beberapa tempat karena terkena keringat tangannya sendiri. Panasnya dunia seolah memberi tambahan ujian untuknya saat ini. Keringat mengucur dari kedua pelipisnya. Sudah pukul 2 siang, ketika Senja melihat jam tangan kecil mungilnya yang ia pakai di sebelah kiri itu. Amplop coklat yang sejak tadi di genggamnya kini beralih fungsi menjadi kipas dadakan bagi dirinya dan beberapa orang di atas undakan tangga ke enam.

"Senjana, yang keras dong ngipasnya, aku gak kebagian angin semilirnya."

Dea lalu turun satu undakan setelah mengucap protesnya akan kipasan tangan Senja, dan kini Dea tepat di sampingnya, duduk bersisian, tangannya merangkul tangan Senja yang tengah mengipas dan kepalanya yang kini sudah bersandar pada bahu kecil Senja.

"Dea, berat tahu." Keluh Senja yang sangat keberatan mendapati kepala Dea — teman seperjuangannya Senja dari pinggiran kota lain— yang semakin membebani pundaknya.

"Kipas-kipasnya lebih kencang, Senja." Senja mendengus keras. "Yaudah, kamu aja nih yang kipas-kipas." Senja menyodorkan amplop coklat miliknya. Tak apa jika amplop coklatnya itu sobek, lecet atau rusak sekalipun, yang penting kepala Dea segera enyah dari pundaknya.

"Gak mau. Kamu aja yang ngipas, aku capek nunggu, Senja."

Senja menurunkan amplop coklatnya. Hembusan nafas Senja semakin terdengar kasar. Ya, bukan hanya Dea yang merasakan lelah akan penantian interview kali ini, Senja pun lelah, duduk berlama-lama di undakan tangga, lalu di pontang-panting kesana kemari mengikuti arahan HRD sebelumnya. Tidak. Bukan hanya Senja atau pun Dea. 28 orang lain pun yang berada di undakan tangga lain pun sama, merasakan lelah. Menunggu dari jam 7 pagi hingga pukul setengah 3 siang seperti tanpa ada kejelasan, tanpa ada makanan, tanpa ada tempat berlindung, dan tanpa uang. Semua juga merasakan lelah.

"Dea, kamu asli dari Tasik?" Tanya Senja mencoba mengalihkan rasa lelahnya dengan mengobrol pada makhluk manja berambut panjang berwarna coklat gelap di sampingnya. Berbeda sekali dengan Senja yang berambut pendek sebahu dan berwarna hitam legam itu.

"Iya. Tapi, Tasik nya pesisir, bukan Tasik Kota." Jawabnya dengan nada yang begitu lembut, beda sekali dengan nada bicara Senja yang cukup tegas.

"Kamu naik apa dari sana?" Tanya Senja kembali dengan menyusutkan tangannya yang sudah basah ke sebuah sapu tangan biru miliknya.

"Dari rumah naik ojeg sampai jalan besar, lalu naik angkot sampai terminal, nah baru deh naik bus buat sampai sini." Ucap Dea dengan sebuah cengiran. Senja hanya meringis ketika mendengar jawaban dari Dea yang umurnya baru 18 tahun, baru lulus sekolah menengah itu sudah berani pergi jauh dari rumahnya dengan berbekal nekat, uang seadanya dan amplop coklat, mencari peruntungan seperti dirinya. Sementara Senja hanya perlu dua kali naik angkutan umum untuk sampai di perusahan ini. Eh, ralat, pabrik ini.

Lalu, sebuah intrupsi dari atas mengagetkan mereka semua termasuk Dea yang langsung mengangkat kembali kepalanya dari pundak Senja yang mulai terasa pegal.

"Masuknya bergilir ya 10 orang dulu buat interview."

Dea menghela nafasnya kembali. "Nunggu lagi, deh." Ucapnya, lalu kepala itu kembali bersandar di pundak Senja. Senja hanya bisa menghela nafasnya juga.

***

"Coba saya minta lamaran kalian di kumpulkan di atas meja ya." Ucap seorang laki-laki yang Senja taksir umurnya sudah seperempat abad itu. Badannya tinggi tapi kurus, wajahnya bersih dan coklat emas. Lengan kemejanya di gulung hingga ke siku.

Senja mengamati semua prospek pada laki-laki yang duduk tenang di hadapan 10 orang terakhir pelamar termasuk Senja di dalamnya. Mata bulatnya melihat-lihat ruangan yang sudah ia masuki sekitar 10 menit yang lalu ini. Hanya meja besar di hadapan lalu dua kursi besar yang kini tengah mereka duduki dan satu kursi yang tengah laki-laki itu duduki bernama Pak Eka, ketika sayup-sayup Senja mendengar pengenalan dirinya tadi. Lalu, sebuah lemari kayu di belakang kursi single itu yang menampilkan beberapa piagam di dalamnya dan sebuah jam berukuran sedang berwarna kayu juga memperlihatkan pukul 4 sore.

Lihat selengkapnya