Senja di Langit Ancala

Andita Rizkyna N
Chapter #1

Kumpul keluarga

Kalian tahu, apa yang lebih mematikan selain meminum racun? Perkumpulan keluarga. Bagai dua mata pisau yang berseberangan. Bergembira makan-makan, ramah tamah, sekaligus disayat tepat di harga diri. Obrolan umum tentang “anakmu prestasinya apa” atau “suamimu Gajinya berapa” atau “apa saja yang sudah kamu lakukan selama hidupmu” bisa terlontar begitu saja. 

Memang tidak frontal. Tapi secara tidak langsung artinya seperti itu.

Di dalam rumah yang riuh karena acara pertemuan keluarga, dari jauh terlihat dua ibu-ibu berbeda usia mengobrol seru. Ketika kamu menyusupi di antara mereka, keseruan itu tidak hanya terlihat, tapi juga dirasakan dengan hati yang ikhlas.

“Nana, suamimu sudah dapat pekerjaan baru? Jadinya kerja di mana?”

“Di anak perusahaan consumer goods.

“Di mana itu?”

“Di Tangerang.” 

“Sebagai apa?”

“Bagian PPIC.” Nana menceritakan panjang lebar pekerjaan suaminya. Perusahaannya. Tempatnya seperti apa. Seberapa penting pekerjaan suaminya bagi perusahaan. Budhe mangut-mangut sok mengerti. 

“Jadi PPIC itu sama dengan manajer produksi?”

Nana terdiam sejenak. Mengambil nafas dan menyiapkan jawaban terbaik. “Bukan. Dia ....”

“Oh, bukan toh.” Budhe manggut-manggut lagi. "Pegawai biasa ya?"

"I-iya Budhe." Nana menjawab lirih.

Ucapan itu bersamaan dengan seorang sepupu Nana yang baru saja masuk ke perkumpulan itu. Tidak perlu dua detik, Budhe beralih ke sebelahnya. Desas-desus yang duduk di sebelahnya adalah istri dari dokter spesialis dan anaknya bersekolah bersama para bule. Tidak bisa menggunakan bahasa Ibu. Sehari-hari juga menggunakan bahasa asing. Padahal anaknya dilahirkan di Indonesia. Orang tuanya pun produk Indonesia.

“Eh Laras, gimana kabarnya?”

Laras mencium tangan Budhe. “Baik, Budhe.”

“Mana anak dan suamimu? Katanya suamimu dokter di rumah sakit internasional? Spesialis ya kalau nggak salah dengar?”

“Iya Budhe. Baru pindah di sana.”

“Wah bagus. Spesialis apa?”

“Dokter bedah.”

“Mudah-mudahan lancar ya pekerjaannya.” Budhe mengusap lengan Laras dengan senyuman termanis. "Lalu anakmu kelas berapa?"

"Tiga, Budhe."

“Kalau sekolah di sekolah internasional berarti bahasa Inggrisnya sudah seperti jalannya kereta api ya.”

“Budhe bisa aja,” jawab Laras dengan senyuman bangga. Percakapan mereka masih berlanjut. Tanpa menyadari Nana masih berada di antara mereka. Nana lebih tahu diri dari mereka berdua. Tanpa diperintah, Nana mundur secara perlahan.

Menyeramkan. Pembunuhan mental secara terselubung. Jika tidak kuat, mungkin Nana akan mengisolasi diri di sudut taman sambil mengunyah es puter hingga selesai acara. Kalau masih sekuat baja, dia akan membaur dengan yang lain. Loncat sana sini dengan cepat dan mengakhiri kehadirannya sebelum acara berakhir.

Oh no, not I, I will survive ... Oh, as long as I know how to love, I know I'll stay alive

I've got all my life to live ... And I've got all my love to give and I'll survive

I will survive, hey, hey

Tapi percayalah Nana dan tamu lainnya masih kuat bertahan dalam pesta. Kepercayaan diri mereka belum mencapai zero point.

Seorang penyanyi lokal meng-cover lagu lawas milik Gloria menjadi versi akustik, mengalun indah memenuhi halaman belakang rumah mewah yang disulap menjadi garden party. Lampu-lampu kecil berwarna kuning menggantung di langit-langit. Seperti kunang-kunang berjajar rapi. Lampu taman memijarkan cahaya putih.

Beberapa anak perempuan umur 6-8 tahun berlarian melewati beberapa orang dewasa sehingga terdengar teriakan hati-hati, jangan lari-lari. Di telinga mereka, peringatan itu hanya terdengar bagai hembusan angin. Kesenangan melebihi kekhawatiran akan bahaya yang mungkin terjadi.

Hidangan tersaji di meja-meja. Terlalu banyak untuk mengisi perut tamu undangan yang hanya kalangan keluarga. Vas sebening kristal berisi bunga mawar dan lili putih, senada dengan taplak meja. Beruntung cuaca Jakarta malam ini cerah.

Acara "sederhana" itu padat tamu. Hanya keluarga empat generasi dari enam sesepuh. Sementara satu sesepuh saja sudah beranak pinak hingga cucu. Belum lagi anak menantu. Entah ada berapa orang di rumah mewah itu.

Sang pemilik acara anak tertua dari sesepuh ketiga. Acara ini dipaksakan tetap ada karena sudah turun temurun. Alasannya agar tidak lepas ikatan sanak keluarga. Dibaliknya, hanya untuk pamer keberadaan.

Berlomba-lomba menyajikan pesta mewah yang dibalut kesederhanaan. Orang dewasa tahu itu. Meski begitu, mereka tetap saja datang. Lumayan dapat makanan enak gratis. Untung-untungan dapat souvenir panci atau seperangkat mini parcel.

Di salah satu sudut teras belakang rumah, sepasang mata menatap sekelompok anak yang asik olah raga jempol. Sudah lima atau enam kali dia menggelengkan kepala sekaligus berdecak.

Dia Zaenal, tapi dipanggil Zae. Umurnya hampir separuh abad, tapi tingkahnya seperti orang tiga perempat abad. Kaku dan kolotnya minta ampun. Tapi bukan itu satu-satunya yang membuat orang kesal. Ada lagi yang paling menyebalkan dari dia.

Lihat selengkapnya