Tahun 90’an
Budi melempar tas ransel di atas tempat tidur. Nilai ulangan sejarahnya jatuh. Tiga puluh poin dari sembilan puluh. Di luar prediksinya. Dia pikir, ulangan kali ini akan dapat delapan puluh minimal. Apa yang salah? Semalaman sudah membuka buku paket sejarah.
Untuk menjadi arkeolog diperlukan orang yang pintar. Jika sejarah saja mendapatkan nilai angka sembilan terbalik, bagaimana bisa dia membedakan panci peninggalan manusia purba atau kerajaan Majapahit?
Budi teringat sesuatu. Dia mengacak-acak isi tasnya. Ada sesuatu yang tidak akan dia lupakan setelah hafalan pembukaan UUD ‘45. Ditemukan amplop putih berisi secarik kertas. Surat manis yang semalaman dia tulis saat belajar sejarah. Otaknya dipenuhi kata-kata lebay dan penuh kebucinan untuk seorang gadis. Semakin dia jatuh cinta, semakin lancar kalimat-kalimat itu tergores di kertas.
Beberapa hari yang lalu dia seperti orang linglung karena memikirkan bagaimana berkenalan dengan sang bidadari tanpa perlu mengobrol langsung. Jantungnya terlampau lemah untuk merasakan detak yang sangat hebat.
Suatu hari tanpa sengaja, saat pulang sekolah, penjual kaset VCD di pasar memutar film romantis yang selalu berhasil membuat Budi merinding ngeri. Dia anti dengan film berbau cinta-cintaan. Tapi adegan surat menyurat memberikan ide terbaik untuknya. Seperti kesurupan, Budi meminjam kaset VCD dari rental dan memutarnya berulang-ulang.
Budi baru mengenal rasa aneh yang membuatnya hampir gila sejak waktu itu. Sesuatu yang membuat dirinya merasa sangat bahagia dan gelisah dalam satu waktu.
Berjalan kalem bak perempuan keraton. Namun tegas pembawaannya. Gadis itu lewat di depan rumahnya. Dia bernama Mayang. Anak Pak Lurah, Mar’ie Razak. Kembang desa yang lagi merekah, pujaan para kumbang matang. Wajahnya beda dari kebanyakan wanita saat itu. Kulitnya yang putih dan rambutnya mengembang indah hitam berkilau bak iklan shampo. Hindung mbangir serta mata yang cemerlang. Senyumnya aduhai ... bikin orang diabetes.
Budi yakin, Mayang adalah titisan Bidadari Nawang Wulan.
Sebetulnya sudah lama Budi bertetangga dengannya. Jarak rumahnya hanya lima langkah. Tapi tak sedikit pun Budi tergerak untuk mengetahui namanya. Dulu wajah dan badannya tak semenarik sekarang. Namun siapa sangka dia menjadi gadis yang rupawan.
Budi mencari info mengenai Mayang melalu teman-teman sekampungnya. Mayang orang seperti apa, sekolahnya di mana, berangkat dan jam pulang sekolah, kesukaannya apa, apa yang tidak disukai Mayang atau apapun tentang gadis itu. Mendengar dari pihak ketiga saja cukup membuat Budi semakin suka dengan Mayang dan bertekad suatu saat berkenalan dengannya.
Lalu suatu saat itu adalah sekarang ....
***
Angin semilir mengimbangi teriknya cuaca Malang. Menerpa rambut indahnya saat Mayang turun dari angkutan umum. Dia memberikan uang kepada sopir tiga lembar uang ribuan dengan ucapan terima kasih.
Mayang melintasi gang menuju rumahnya tanpa prasangka. Tiba-tiba seorang cowok jangkung, kurus berwajah Indonesia tulen muncul dengan cara mengejutkan. Cowok itu memberikan sebuah buku RPUL dengan seringai aneh.
“Ini buat kamu.” Cowok itu menyelipkan buku ke tangannya. Kemudian laki-laki itu pergi. Mayang masih tidak mengerti “penyerangan” yang tiba-tiba. Matanya terasa familier dengan sosok itu. Tapi dia lupa siapa cowok tadi.
***
Dua hari berikutnya Budi melihatnya saat keluar rumah hendak ke pasar. Jantungnya kembang kempis dengan cepat. Lidahnya kelu. Tanpa disadari, badannya balik kanan dan lari terbirit. Meringkuk dalam kamar dengan dada berdegup kencang. Dia belum siap menemui Mayang sejak memberikan surat itu. Takut melihat reaksi Mayang.