Sawah-sawah terhampar luas, kemudian terpotong dengan jajaran rumah-rumah. Ruko-ruko baru yang disewakan. Orang-orang berjualan di pinggir jalan yang semakin ramai. Udara mendung menyelimuti kota Malang. Dan tidak lupa aroma hujan yang selalu membekas diingatan.
Dua hari setelah acara temu keluarga, mereka berangkat ke Malang. Pri dan Budi menyetir bergantian dari Jakarta. Perjalanan tiga hari karena Asfar yang terkecil, walau sudah kelas dua SD, tapi masih suka rewel. Jadi harus berhenti di beberapa tempat untuk mengusir kebosanan Asfar dan juga istirahat.
Mobil membelok ke gang yang hanya cukup dilewati satu kendaraan roda empat. Suasana tidak berubah dari beberapa belas tahun yang lalu. Tetangganya masih sama. Hanya generasi berbeda yang menempati rumah-rumah itu. Mungkin anak atau cucunya.
Sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Rumput-rumput liar berkembang biak dengan subur. Daun pohon mangga tumbuh dengan lebat. Beberapa buah yang dimakan kelelawar berjatuhan. Cat yang pudar. Tidak bisa dijelaskan lebih jauh lagi parahnya. Tapi intinya rumah itu sudah seperti markas hantu dari pada rumah manusia.
Mereka turun dari mobil dengan pandangan takjub yang berbeda. Zae menghirup dalam aroma rumah masa kecilnya. Tidak menyangka rumah itu masih berdiri tegak. Tidak buruk pikirnya. Masih bisa dibersihkan sana sini. Maka rumah itu akan kembali hidup.
Lain lagi dengan Rama. Dia tercengang melihat rumah tua dengan mata kepalanya sendiri. “Ini mungkin rumah bekas zaman Jepang,” bisiknya pada Asfar.
“Yang pernah dibuat acara uji nyali ya Mas?” tanya Asfar. Sebenarnya dia tidak pernah lihat acara uji nyali di televisi. Hanya obrolan dari teman-teman sekelasnya.
“Bisa jadi. Atau mungkin di dalamnya ada ular naga bertelur.” Mata Asfar mendadak berbinar. Jika memang ada naga, dia akan mengabadikan di ponselnya. Saat masuk sekolah, akan dipamerkan kepada teman-teman, guru, satpam dan penjaga kantin sekolah.
“Sotoy.” Sega gemas mendengar dua manusia sok tahu.
Budi mengamati rumah masa kecilnya. Lebih parah dari terakhir dia melihatnya. Dalam hati, berharap rumah itu masih baik-baik saja. “Pri, kowe yakin? Rumah ini sudah nggak layak huni.” Budi menatap ragu. Tapi Pri mengangguk mantap. “Yakin dari mana kalau kita harus ke sini?”
“Meski Bapak Ibu sudah meninggal, jiwa mereka masih ada di sini dan rumah ini punya sejarah. Aku yakin rumah ini bisa memberi solusi dalam urusan seperti ini.”
Alasan Pri tidak masuk akal di telinga Budi. Terdengar seperti hal klenik. Rumah memberi solusi? Memangnya rumah bisa ngomong?
“Tapi Pri, bukan ide bagus kita kembali bersama di sini.” Budi melirik Zae dan berbisik, ”kamu kan tahu aku nggak cocok sama Mas.”
“Maka dari itu, Mas. Ibu dan Bapak membentuk karakter kita di sini. Jadi kita bisa menyelesaikan masalah di sini juga. Mas Budi kan yang mengatakan kalau bukan hanya anak-anak yang bermasalah, tapi juga kita.”
Budi mengigit bibirnya. Hatinya sudah tidak yakin cara ini akan berhasil. Di rumah ini memang ada kebahagiaan. Tapi kepedihan juga tidak sedikit.
“Hanya seminggu, Mas.” Pri melanjutkan. Budi mengangkat bahu. Dia tidak punya pilihan.
Zae membuka pintu gerbang yang sudah berkarat. Beberapa dari mereka mengernyit mendengar bunyi roda pagar yang berdecit. “Ayo masuk.”
Mereka melangkah dengan hati-hati. Seolah rumah itu ada makhluk tak kasat mata yang siap menyerang. Sudah amat sangat lama sejak Bapak mereka bertiga meninggal. Entah berapa belas tahun tidak menginjakkan kaki di sana. Tidak ada pesuruh yang diutus untuk merawat rumah itu.
Kunci pintu rumah berfungsi dengan baik. Perabotan pun masih lengkap. Namun debu berada di mana-mana. Menyelimuti kursi, meja, rak, televisi tabung. Semua terasa tua. Rama beberapa kali bersin-bersin. Keluar adalah pilihan terbaik daripada hidungnya tersiksa.