Rama berkacak pinggang. Halaman sudah mirip padang ilalang gunung Bromo. Bedanya halaman ini terlihat seram. Tidak ada indah-indahnya. Penuh dengan rumput liar setinggi betis dan daun-daun kering yang berjatuhan. Bisa jadi ada ular beranak pinak di sela-selanya. Tanaman markisa merambat dengan subur. Menutupi sebagian pagar rumah.
Pikiran Rama jelas bingung. Dia tidak pernah piket kelas, apalagi bersih-bersih rumah. Tiba-tiba harus membersihkan halaman sebegitu luasnya. Mau mulai dari mana? Membersihkan pakai apa?
Selama lima menit, Rama hanya bengong. Dia menengok ke dalam rumah. Lebih seram lagi. Debu-debu berterbangan. Hidungnya mulai gatal lagi. Padahal dia hanya di depan pintu. Sega dan Asfar masih membantu bersih-bersih. Pak dhe dan omnya juga ikut ribut. Ada ragu untuk meminta bantuan Ayahnya. Mungkin ayahnya juga sama repotnya.
Dia kembali ke halaman. Instingnya mengatakan untuk berjongkok di depan rumput-rumput liar. Berusaha menarik rumput yang berakar kuat. Ditariknya rumput hingga dia harus membungkuk berdiri. Tenaga yang dia gunakan hampir seluruhnya.
BATS!
Tubuhnya terjungkal ke belakang. Rumput berhasil tericabut. Tangannya sedikit sakit. Tepi rumput yang dia cabut sedikit tajam. Dilepaskan genggaman pada rumput dan mengusapkan pada bajunya. Saat itu lah sudut matanya menangkap sosok yang tidak asing di matanya. Seorang gadis. Gadis itu seperti gadis kebanyakan. Penampilannya biasa. Malah jauh lebih asik gadis Jakarta. Tapi ada sesuatu dari gadis itu yang membuatnya terpikat.
Senyumnya.
Mata Rama mengekor geraknya, berjalan melewati depan rumahnya. Garis bibir yang melengkung itu bagai magnet. Seolah menyapa semua yang berkerumun di dekatnya.
Wajahnya juga menyenangkan. Langkahnya yang rapat seperti menginjak garis lurus. Akan terasa sia-sia jika mengalihkan pandangan sedetik darinya.
Di ujung gang si gadis menghilang. Tapi rasa gebyar pada diri Rama masih juga cekat. Siapa namanya? Sekolah di mana? Berapa nomor ponselnya? Lalu apa rumahnya juga di gang ini? Masih banyak pertanyaan lain di kepalanya.
“Ram. Sudah sampai mana?” Rama refleks gelagapan ketika ayahnya memanggil. Kesadarannya dilemparkan kembali ke tubuhnya dengan cepat.
“Belum sama sekali?” tanya Budi sambil melihat sekeliling halaman. Rama menggeleng. Suaranya tersangkut di tenggorokan. “Ini gunting rumput. Susah kalau dicabut satu-satu. Dan ini sapu lidi.”
Rama meraih gunting rumput dan sapu dari tangan ayahnya. “Mau dibantu?” Rama menggeleng lagi. “Kamu sakit tenggorokan?”
“Nggak.” Rama berusaha bersuara dengan wajar.
“Ayah bersih-bersih dalam dulu. Nanti Ayah bantu.” Rama hanya mengangguk. Dia tidak sanggup bersuara. Takut terdengar gagap. Sekali lagi Budi mengamati anaknya sebelum meninggalkannya di luar rumah.