Senja di Langit Ancala

Andita Rizkyna N
Chapter #4

Kencan Pertama

Sejak Budi mengirim toples “Vitamin C”, sikap Mayang berubah. Yang awalnya tidak menyadari keberadaan pemuda itu, menjadi tersenyum atau menyapa saat bertemu Budi. Hanya dengan kalimat 'hai, Budi" hati Budi sudah kebat-kebit tak karuan dan salah tingkah.

"Vitamin C" buatan Budi ampuh membuat mereka sedikit lebih tahu tentang keberadaan masing-masing, walau mereka belum berkenalan secara resmi. Budi perlu memantapkan hati untuk selangkah lebih maju daripada hanya sekedar sapaan.

Setelah ujian semester, di dalam tempurung kepala Budi dipenuhi oleh strategi berkenalan dengan Mayang. Dia juga sudah tanya ke beberapa teman kelas cara berkenalan yang baik. Katanya, pertama kali harus jaga image. Image yang baik di awal akan meninggalkan kesan yang baik.

Pagi itu pukul enam, Budi berseragam rapi. Setelah Bapak berangkat kerja dan Ibu repot di dapur, diam-diam dia menyemprot parfum milik Bapak di seluruh baju seragamnya. Aroma menyengat khas parfum pria menyebar ke seluruh kamar orang tuanya. Aroma itu sedikit membuat Budi mual. Wajahnya saja sudah terlihat sangat eneg.

Dia keluar kamar dengan mengendap-endap. Hembusan nafas lega setelah memastikan Zaenal dan Pri tidak terlihat. Dia berpamitan berpamitan dengan Ibu yang masih memasak. Ibunya sedang menggoreng terasi.

"Buk, Budi berangkat." Budi menyambar tangan ibunya dan menciumnya. Kepalanya semakin pusing. Aroma parfum dan terasi bercampur di indra penciumannya. Perutnya bergejolak. Cepat-cepat dia keluar dari dapur dengan menahan nafas.

"Nggak makan dulu, Bud!"

"Nggak, Buk! Assalamualaikum!" Budi segera memakai sepatu dan keluar sebelum seluruh rumah bau terasi atau kepergok Zaenal.

"Wa'alaikumussalam."

Budi mengecek bau bajunya. Ada sedikit bau terasi melekat. Dia kibas-kibaskan agar bau itu hilang. Baru kali ini dia benci terasi. Gara-gara terasi, kesan yang sudah dia rencanakan sedikit kurang sempurna.

Suara langkah dari barat menghentikan kegiatannya. Dari dalam pagar, Budi melongok ke sumber suara. Seperti memecahkan soal statistika, hati Budi berlompat kegirangan.

Mayang!

Tepat saat Mayang di depan rumah Budi, pemuda itu keluar rumah dan sok kaget berpapasan dengan gadis itu.

Tiba-tiba saja Budi merasa oksigen di sekitarnya menghilang. "M-m-mau berangkat sekolah?"

Mayang tersenyum. Entah menyapa atau mentertawakan kegugupan Budi dalam hati. Dia mengangguk pelan.

"Bareng yuk. Kebetulan searah, kan?"

Lagi-lagi senyuman Mayang di pagi hari seperti anugerah tersendiri bagi Budi. "Boleh."

Budi mempersilakan Mayang berjalan dulu. Dia mengatur nafas yang sedari tadi tidak mencapai paru-parunya, kemudian mensejajarkan langkahnya dengan Mayang.

"Nanti kamu pulang jam berapa?"

"Jam satu."

"Eh, kok bisa samaan ya. Kalau nanti pulangnya makan bakso bareng gimana? Dekat lapangan situ." Budi menunjuk arah lapangan. Bakso di sana terkenal enak. Selalu ramai pengunjung dari sore hingga malam. Tapi di siang hari warung itu sedikit sepi

"Boleh."

Mata Budi melebar. Yes! Yes! Yes! Bibirnya dia gigit agar dia tidak menjerit . Kini, dia dua langkah lebih maju.

***

Sepanjang hari Budi tidak fokus pelajaran. Pikirannya sudah dipenuhi dengan janji nanti siang. Teman sebangkunya mengajak mengobrol, dia juga tidak nyambung.

"Kamu lagi banyak pikiran, Bro?" tanya Edi dengan logat batak. Dia baru pindah ke Jawa saat masuk SMA. Katanya ikut tantenya.

"Maksudnya?"

"Dari tadi aku ajak mengobrol tapi kamu cuma hah-heh-hoh. Lagi susah ya?"

"Iya banyak pikiran."

"Memangnya kamu kenapa? Cerita saja sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu." Edi menepuk-tepuk dadanya.

Lihat selengkapnya