Matanya memandangi buku-buku yang mengisi rak buku di dinding. Susunan buku-buku itu tidak berubah. Debu-debu yang enyeliuti bukunya juga sudah dia bersihkan tadi. Zae selalu rapi. Menata dengan terorganisir. Urutan Buku dari tinggi ke rendah. Tidak ada cover buku yang lecek atau lipatan sebagai penanda. Dia menggunakan penanda lain untuk menandai sejauh mana dia membaca. Semua koleksi bukunya bersih seperti baru.
Oke. Sebenarnya itu semua bukan milik Zae sendiri. Beberapa adalah buku catatan jurnalistik yang dia pinjam dari bapaknya. Buku catatan itu berupa buku yang telah dicetak dan dibendel dengan bagus. Ada cover tanpa gambar. Hanya ada judul dengan nama bapaknya di sana. Soepono Antaseno.
Sejak Zae mengerti apa pekerjaan bapaknya - mungkin sekitar SMP kelas 2- dia menyukai dunia jurnalistik. Sedikit-sedikit dia pelajari dari bapaknya. Bertanya ini itu. Melihat berita. Dan mengobrol sok mengerti tentang politik dengan bapaknya.
Soepono, mengetahui anaknya menyukai jurnalistik, dia tanamkan sedikit demi sesikit konsep-konsep jurnalistik kepada Zae. Menerangkannya, memberinya koran untuk dibaca disaat waktu luang Zae, menceritakan pengalamannya saat mencari berita. Saat Zae sudah mengerti, dia memberikan sebuah buku tentang jurnalistik yang dia buat sendiri. Dia berharap Zae bisa menjadi jurnalis yang jauh lebih hebat dan jujur daripada dia.
Zae melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tempat tidur yang rapi. Posisi guling selalu di sebelah kiri. Selimut di bagian bersebrangan dengan bantal. Seprai tempat tidur tidak ada lipatan. Licin seperti di kamar hotel.
Lalu meja belajar itu. Tempat dia menggantungkan cita-citanya setiap dia belajar. Buku-buku SMA-nya juga masih ada di sana. Tertata rapi seperti dulu. Zae tidak berniat untuk mengepak semua buku itu ke dalam kardus. Biarlah buku-buku itu menjadi kenangan jika dia pernah bercita-cita.
Zae menghela nafas berat. Berbalik keluar kamar dan menutup pintu.
Di ruang makan, semua sudah berkumpul untuk makan malam. Obrolan seru di saat makan. Zae menarik kursi di sebelah Sega.
“Jangan ngobrol saat makan. Nggak baik." Zae duduk dengan khidmat. "Sega pimpin doa.”
“Tapi, Mas ....”
“Kenapa, Pri?”
“Kita sudah makan duluan.” Zae melihat piring di depan masing-masing orang sudah berisi nasi dan lauk tinggal separuh.
“Ya sudah. Jangan ngobrol.” Zae mengambil nasi diikuti tatapan lima pasang mata. “Kenapa?”
Semua gelagapan. “Ng-nggak.” Mereka kembali menatap piring mereka dalam diam. Hanya denting piring yang bersuara.
“Setelah selesai, kita berkumpul di ruang keluarga. Kita bahas acara selanjutnya.” Zae lebih dulu selesai, berdiri dan keluar dari ruang makan. “Malam ini yang cuci piring Sega ya.”
Sepeninggal Zae, ruang makan kembali kasak-kusuk. “Kita mau ngapain sih Pa di sini?”
“Berlibur.”