Ada sesuatu yang belum dimengerti Pri atau Budi, tapi Zaenal yang kala itu berumur 17 belas tahun telah mengerti apa itu putus hubungan kerja dan akibatnya. Bagi bapaknya, dunia jurnalis adalah segalanya. Zaenal tahu itu. Yang tidak dia ketahui, kenapa tempat bapaknya bekerja tega memecat Bapak? Padahal bapaknya harus membiayai makan empat kepala dan sekolah tiga kepala.
Apa bosnya tidak tahu keadaan mereka? Apa jadinya jika Bapak tidak bekerja? Bagaimana nanti mereka makan, belanja harian, iuran kampung, sekolah, biaya listrik, dan uang arisan ibunya. Semua itu dibayar dengan menggunakan uang dan uang didapat dari pekerjaan Bapak mencari berita. Namun anehnya, reaksi Bapak seolah itu bukan sebuah bencana. Hanya saja Ibu terlihat murung seharian.
Besok paginya, Bapak terlihat santai dan Ibu sudah tegar kembali. Budi dan Pri juga bersikap biasa saja. Mereka tidak tahu kalau kegiatan sekolah mereka akan terancam.
Siang sepulang sekolah, Zaenal menghampiri bapaknya yang sedang bersiul di depan kandang burung kutilang di halaman belakang rumah. Sudut netranya merosot, menatap sang Bapak yang berwajah biasa saja. Padahal kejadian menggemparkan baru saja terjadi kemarin.
“Ada apa Nal?” Bapak masih menjentikkan jarinya untuk memancing burung itu bernyanyi. Sesekali Bapak ikut bersiul.
Zaenal meremas celana seragam abu-abunya. “Bapak ... nggak kerja lagi?”
“Kata siapa?” pertanyaan Zaenal berhasil mengalihkan perhatian Bapak.
“Kata Bapak ke Ibu. Bapak beneran dipecat?”
“Kamu menguping?” Zaenal terdiam menunduk. Dia tidak berani menjawab. Dulu, kata Bapaknya, nggak boleh menguping pembicaraan orang tua. Dosa. Tapi kemarin dia tidak sengaja mendengarkan.
“Berarti benar ya.” Bapak menghela napas berat. “Jangan kamu beri tahu Budi dan Pri agar mereka tidak bingung.”
Zaenal mengangguk. “Lalu sekolah kami bagaimana, Pak?”
Bapak berjalan santai ke kursi rotan dengan anyaman yang nyaman dengan bentuk sederhana. Kursi bersama mejanya dibeli dua tahun yang lalu saat Bapak gajian. Ibu yang memilihnya. Memang sengaja memilih anyaman rotan agar cocok dengan halaman belakang rumah. Bisa bersantai sambil meminum teh atau kopi di sore hari. Namun sekarang, Bapak bisa menikmatinya sedari pagi. Menatap burung kutilangnya dan juga beberapa bunga serta tanaman TOGA yang ditanam ibu.
Zaenal mengikuti Bapak duduk di kursi rotan satunya. “Tidak perlu kamu khawatirkan tentang itu. Bapak tetap akan membayar sekolah kalian bagaimana pun caranya.”
Zaenal menunduk. Dia kini kelas tiga. Tahun depan kelulusan. Sudah jauh-jauh hari dia ingin kuliah dijurusan jurnalistik karena kagum dengan pekerjaan bapaknya. Di matanya, bapaknya keren. Mencari berita, dimuat di koran dan dibaca semua orang.
Tapi kejadian bapaknya dipecat langsung membuatnya putus asa. Kuliah membutuhkan uang. Kecuali mendapat beasiswa. Iya kalau jurusan itu memberikan beasiswa. Kalau tidak?
Mendadak rencananya berubah. Dia akan mencari beasiswa untuk kuliah. Terserah jurusan apapun. Dan Kalau tidak mendapat beasiswa, dia akan bekerja. Kuliah bisa dilakukan nanti kalau uang sudah terkumpul. Itu pikiran pendeknya.
“Tugasmu hanya harus belajar.”
Zaenal mengangguk. Saat hendak berdiri, dia teringat satu hal dan kembali lagi duduk. “Tapi, kenapa Bapak dikeluarkan dari tempat kerja Bapak?”
Zaenal jelas penasaran. Bapaknya termasuk orang yang loyal dan berdedikasi. Berangkat subuh dan pulang ketika semua telah tidur. Belum kalau mencari berita, kemudian menulis dan kejar deadline. Bapak bisa begadang semalaman. Itu dilakukan selama belasan tahun. Jika etos kerja bapaknya bagus saja bisa dipecat, kenapa yang bekerja setengah-setengah masih dibiarkan tetap bekerja di sana?
Tahu dari mana Zaenal soal fakta itu? Ayah temannya juga satu kantor dengan bapak Zaenal. Saat datang ke sekolah, temannya diantar ayahnya. Saat pulang sekolah, juga dijemput ayahnya. Pernah Zaenal protes kenapa bapaknya berangkat satu jam setelah salat subuh dan pulang saat malam telah larut selama bertahun-tahun, berbeda dengan ayah temannya.
Berarti dia tidak totalitas dalam bekerja. Jika dia mencintai pekerjaannya, maka tidak akan dia kerjakan dengan setengah-setengah. Seperti orang yang mencintai, akan ikhlas bertahan dalam keadaan susah maupun senang. Tidak akan setengah-setengah. Jawab Bapaknya saat itu.