“Bangun-bangun! Subuhan, subuhan!” Masing-masing pintu digedor keras. Cara membangunkannya sudah seperti ustad pondok membangunkan anak-anak asrama.
Zaenal mengajak salat berjamaah. Setelahnya, lari pagi di sekitar kampung. Asfar menguap beberapa kali. Melemparkan macam-macam alasan agar tidak ikut lari di pagi-pagi buta. Tapi nukan Zaenal jika menyerah begitu saja.
“Pak dhe Zaenal niat banget.” Rama menyeletuk. Dia menggeliat dan menggosokkan kedua tangan. Rasa dingin menjalar melalui kulit hingga membuatnya gemigil. Badannya belum bersahabat dengan udara Malang.
Sega tersenyum. “Mungkin Bapak waktu bayi ikut berjuang melawan penajajah. Jadi tekadnya kuat.”
Zaenal berlari kecil dari dalam rumah. Dibelakangnya ada Asfar yang menguap berkali-kali. “Ayo semua pemanasan. Baris yang rapi.”
Dengan enggan, semua berbaris sejajar. Zaenal di depan memimpin gerakan pemanasan. “Menoleh ke kanan. Hitung sampai delapan.” Semangat Zaenal mengalahkan lima kepala di depannya.
Semua hafal di luar kepala. Mereka melakukannya dua belas tahun di sekolah. Kecuali Asfar. Gerakannya ogah-ogah dan menirukan seadanya.
Angin subuh bertiup lembut. Dingin tidak lagi terasa setelah pemanasan. Iring-iringan lari melewati lapangan, pasar, taman, sawah-sawah. Mereka tidak sendiri. Beberapa orang juga berolah raga. Pasar mulai sibuk. Ibu-ibu membawa keranjang belanjaan menuju pasar sambil berbincang ringan.
Baru seperempat perjalanan, Asfar merengek minta pulang. Begitu juga lainnya kecuali Zaenal. “Kalian pulang saja. Aku mau lanjut lari pagi. Sega, ayo.” Zaenal melanjutkan lari kecil.
“Ah-” Sega menatap om dan sepupunya kembali ke rumah dengan tatapan sendu. Dia enggan berduaan dengan bapaknya. Sega yakin, mereka tidak cocok. Namun ada rasa tidak enak meninggalkan bapaknya sendirian.
Sega menyusul dengan sengaja dibuat lambat. “Hei pemuda, ayo sini. Anak muda harus semangat.” Sega mensejajarkan diri dengan bapaknya. “Tubuh muda harusnya lebih gesit. Percuma kamu makan banyak kalau gerakanmu lambat.”
Sega membisu. Malas membantah walau hanya sekedar untuk memperpanjang obrolan. Kalau dengan Zaenal, sepanjang apapun obrolan itu, hasilnya tidak menyenangkan. Jadi lebih baik diam.
“Kau tahu, Malang sudah banyak berubah. Cepat sekali. Dulu di sini hamparan sawah, sekarang sudah jadi perumahan. Kau tahu kenapa?”
“Karena bumi berputar,” jawab Sega asal.
“Benar.”