“Zaenal, kemari.” Zaenal urung masuk ke kamar. Dia mengikuti Bapak ke halaman belakang.
Bapak duduk di kursi rotan. Di atas meja sudah ada kopi yang telah dingin diminum separuh dan sepiring pisang goreng. Kegiatannya menikmati siang tertunda karena laporan istrinya. Tidak tahu apa yang diperdebatkan dua remaja yang sudah hampir dewasa.
Zaenal ikut duduk di sebelah Bapak. Memandang was-was. Mereka jarang mengobrol. Mungkin ada sedikit kekakuan awalnya, tapi setelah bapaknya berbicara, Zaenal mengikuti ritme obrolan sehingga pembicaraan mengalir begitu saja.
Pikir Zaenal, itu ajaib. Mungkin semua Bapak memiliki kemampuan persuasif. Alangkah enak jika semua bisa diajak berbicara seperti itu. Terutama dengan adiknya, Budi.
“Kamu sudah merencanakan akan kuliah di mana setelah lulus?”
“Belum, Pak. Tapi rencana setelah lulus sudah ada.”
“Rencana apa?”
“Zaenal mau cari beasiswa.”
“Bagus. Jurusan apa?”
“Apa saja yang penting dapat beasiswa.”
“Maksud kamu?” Netra Bapak menyipit.
“Kuliah apa saja buat Zaenal sama saja. Yang penting dapat beasiswa.”
“Kenapa Begitu?” tanya Bapak dengan nada meninggi.
Degub jantung Zaenal meningkat. Ada yang dia takutkan. “Zaenal ... nggak ingin merepotkan Bapak,” jawabnya lirih.