Senja Di Pantai

sukadmadji
Chapter #1

#1 Rutinitas Yang Menyesakkan


Anya menarik napas panjang saat melihat jam di layar komputernya. 23.45. Hampir tengah malam. Matanya sudah berat, tapi kerjaannya belum selesai. Sejak bergabung di Firma Arsitektur ternama ini, hidupnya hanya berputar di antara desain, deadline, dan laptop yang selalu panas.


Di meja sebelahnya, Sari, si office girl yang setia, masih sibuk menggulung kertas nasi goreng yang baru dia beli. Tangannya lincah menuang kecap dan sambal, lalu mengaduknya dengan garpu plastik.


“Aduh, Mbak Anya, ini kantor apa rumah sih? Betah amat!” celetuk Sari sambil menyeruput es teh manisnya.


Anya yang masih fokus menggambar garis di layar, hanya mendesah. “Sari, kalau aku nggak lembur, nanti bos marah. Kalau bos marah, aku nggak naik gaji. Kalau nggak naik gaji, aku nggak bisa bayar sewa apartemen. Kalau nggak bisa bayar apartemen, aku tidur di kantor.”


Sari terkikik. “Lha, emang sekarang nggak kayak gitu? Dari Senin sampai Sabtu, pulang tengah malam. Hari Minggu juga di kantor. Ini lembur apa pindah domisili, Mbak?”


Anya melirik Sari dengan tatapan tajam. “Kamu kan juga di sini, berarti ikut pindah domisili dong?”


Sari mengangkat bahu. “Ya iyalah! Kalau Mbak Anya lembur, aku kan nggak tega ninggalin. Lagian aku juga untung, tiap lembur Mbak selalu bayarin aku makan. Hidup harus cerdas, Mbak!”


Anya tertawa kecil. “Jadi selama ini kamu temenin aku bukan karena setia kawan, tapi karena nasi goreng gratis?”


Sari menepuk dada dengan gaya dramatis. “Tentu saja tidak, Mbak! Aku tulus! Demi persahabatan dan… demi nasi goreng enak yang dibayar Mbak Anya.”


Anya menggeleng sambil tersenyum. “Sumpah, aku nggak tahu harus terharu atau sedih.”


Sari menyodorkan piring ke Anya. “Udahlah, makan dulu. Kalau Mbak pingsan di depan komputer, yang repot aku juga.”


Anya mengambil sejumput nasi goreng dan mengunyahnya perlahan. Rasa lapar langsung hilang. “Sari, ini nasi goreng apaan? Kok rasanya kayak kertas?”


Sari mengendus nasi gorengnya sendiri. “Iya juga, ya? Eh, jangan-jangan itu kertas kerja Mbak yang nyelip ke bungkus nasgor.”


Mata Anya membesar. “Hah?!”


Sari tertawa terbahak-bahak. “Bercanda, Mbak! Udah deh, mending libur sehari, jalan-jalan. Jangan kerja terus, nanti jodohnya ketemu di kantor kecamatan pas urus akta kematian.”


Anya tertawa miris. “Boro-boro jodoh, yang deket sama aku cuma laptop sama deadline.”


Sari melipat tangan di dada. “Tenang, Mbak. Aku doain, semoga jodohnya bukan deadline, tapi cowok kaya, tampan, dan pinter masak.”


Anya mendesah. “Tolong, Sar. Jangan terlalu muluk-muluk. Aku realistis aja, asal cowoknya nggak lebih sibuk dari aku, udah bersyukur.”


Sari tersenyum jahil. “Kalau gitu, mending Mbak cari pacar office boy kantor sebelah. Yang sering nyapu di taman itu lho, lumayan, bisa nyapu hati Mbak yang berantakan.”


Anya melempar tisu ke arah Sari. “Udah, udah! Lanjut kerja dulu, kalau nggak selesai juga, besok kita nggak bisa pulang.”

Lihat selengkapnya