Anya menatap layar komputer di depannya. Deretan desain gedung yang rumit terlihat sempurna, tapi entah mengapa ia merasa kosong. Tangannya masih menggenggam mouse, namun pikirannya melayang ke tempat lain.
“Gaji gede, karier cemerlang, tapi kenapa mukanya kayak habis kehilangan dompet?”
Suara Rina membuyarkan lamunannya. Anya menoleh dan melihat sahabatnya itu berdiri dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya setengah mengejek, setengah prihatin.
Anya menghela napas. “Aku baik-baik aja, Rin.”
Rina duduk di meja sebelahnya dan mendengus. “Yaelah, bohongnya nggak niat. Dari tadi kamu cuma natap layar doang, tapi kursor nggak gerak sama sekali. Lagi mikirin apa, sih?”
Anya menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. Tapi Rina sudah terlalu lama mengenalnya untuk percaya dengan jawaban basa-basi.
“Kayaknya… aku merasa ada yang kurang dalam hidupku,” kata Anya akhirnya.
Rina mencondongkan tubuhnya. “Kurang apa? Duit? Nggak mungkin. Karier? Kamu udah kayak arsitek bintang di sini. Traktiran makan? Kalau itu, aku sih setuju.”
Anya tertawa kecil, tapi senyumnya cepat memudar. “Bukan itu, Rin. Aku cuma… aku merasa hampa. Aku kerja terus, dari pagi sampai malam, deadline nggak ada habisnya. Tapi setiap pulang ke apartemen, aku sendirian. Hidupku kayak cuma kerja, kerja, kerja. Nggak ada sesuatu yang bikin aku merasa hidup.”
Rina mengangguk mengerti. “Ah, akhirnya sadar juga. Hidup tuh bukan cuma soal ngejar target dan deadline, Nya. Kamu butuh sesuatu yang lebih dari itu.”
Anya menatapnya. “Kayak apa?”
Rina tersenyum jahil. “Cinta, dong! Udah saatnya kamu buka hati buat seseorang.”
Anya menggeleng. “Aku nggak punya waktu buat itu.”
Rina menghela napas panjang, lalu menepuk bahu Anya. “Mbak Arsitek Ambisius, dengerin aku baik-baik. Karier itu penting, tapi kalau kamu terus kayak gini, nanti suatu hari kamu sadar kalau kesuksesan tanpa seseorang yang bisa berbagi rasanya… kosong.”
Anya diam. Kata-kata Rina menusuk tepat di hatinya.
“Coba lihat aku,” lanjut Rina. “Aku memang nggak sesukses kamu, tapi aku punya seseorang yang bikin aku semangat setiap hari. Yang ngingetin aku buat istirahat, yang bikin aku ketawa pas lagi stres. Kamu butuh itu juga, Nya.”
Anya menatap Rina dengan ragu. “Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Rina tersenyum lebar. “Tenang, itu urusan gampang. Yang penting, kamu harus mulai terbuka. Jangan terus-terusan sembunyi di balik pekerjaan. Siapa tahu, cinta datang di saat yang nggak kamu duga.”