Langit senja meredup di balik gedung-gedung pencakar langit Surabaya. Dari balik jendela apartemen mewahnya di lantai dua puluh, Anya menatap keluar. Lampu-lampu kota mulai menyala, menerangi jalanan yang tak pernah tidur.
Ia melepas high heels dengan asal, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu. Nafasnya terhembus lelah. Tangannya mengendurkan kancing blazer sambil memejamkan mata sejenak.
"Hidupku sukses, katanya. Aku punya pekerjaan yang bagus, apartemen mewah, segala yang kuinginkan. Tapi kenapa aku merasa kosong?"
Suara detik jam di dinding menggema di apartemen yang sunyi. Dulu ia pikir kesuksesan adalah segalanya. Namun, semakin tinggi ia mendaki, semakin ia merasa sendirian.
Perutnya berbunyi pelan. Ia melirik ke meja makan yang kosong. Tidak ada aroma masakan yang menggoda, tidak ada suara orang lain yang menyapanya ketika pulang.
"Ah, makan lagi sendirian," gumamnya dalam hati.
Dengan malas, ia bangkit dan membuka kulkas. Isinya hanya beberapa botol air mineral, salad dalam kotak, dan sisa makanan take-out dari kemarin. Ia mengambil satu kotak dan memanaskannya di microwave.
Saat menunggu makanan siap, ia menatap bayangannya di kaca dapur.
"Sampai kapan aku begini? Hidup hanya bekerja, makan, tidur. Ulang lagi besok. Apa ini yang benar-benar aku inginkan?"
Bunyi ‘ting’ dari microwave membuyarkan lamunannya. Ia mengambil makanannya dan berjalan ke meja makan yang luas, hanya untuk duduk sendirian. Televisi menyala, menayangkan berita malam, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Ia teringat obrolannya dengan Rina dan Sari tadi siang.
"Kamu butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kerja, Anya. Hidup juga butuh cinta," kata Rina dengan nada serius.
"Atau minimal, hiburan. Ayo ke pantai weekend ini!" seru Sari dengan semangat.