Langit telah berubah warna menjadi jingga saat aku tiba di rumah mbah uti. Alam seolah memberi sepuhan warna emas di ufuk timur, membiarkan cahaya senja tersebar dan tampak memikat.
Rumah sederhana yang cukup luas menyambutku kembali setelah setahun tak mengunjungi tempat ini. Lantai berpola kayu terlihat alami dengan warna cokelat gelap. Dinding-dinding ruangan dipenuhi pernak-pernik kesenian daerah. Seperti kepala barongan yang dipajang di tengah ruangan, kaligrafi dengan bingkai ukiran tangan rumit, dan kain tenun asli dari solo yang katanya berhasil dipertahankan beberapa generasi oleh mbah uti dari semenjak tahun empat puluhan.
Mbah uti, seorang wanita sepuh berusia enam puluh delapan tahun, berdiri antusias menyambut cucu lelaki semata wayangnya. Dia merangkul bahuku penuh sayang. Aromanya masih aroma yang sama dengan yang kuingat. Seperti campuran tembakau, minyak kayu putih, dan balsem khas orang tua. Dari sini aku selalu menyimpan tanya. Mungkinkah setiap hari dia menggosokkan balsem ke sekujur tubuhnya?
"Fatih. Sini-sini masuk, Nang! Mbah sudah nunggu kamu dari tadi lho. Iki putu lanang kok ora tekan-tekan."
Mbah uti mengarahkanku untuk duduk di ruang tamu dengan wajah berbinar cerah. Ruang tamu ini cukup luas dengan ukuran delapan kali enam meter. Ada kursi kayu sederhana dengan ukiran khas jepara di setiap sisi dengan bantalan busa buatan yang terasa sedikit keras. Bantalan itu diletakkan asal di atas kursi sehingga jika kita tak sengaja beralih posisi, benda itu ikut bergeser mengikuti gerakan kita.
"Mbah kakung! Ini lho putumu sudah tiba!" teriak Mbah uti ke dalam ruang dalam.
Dengan tergopoh-gopoh, lelaki sepuh berusia tujuh puluh dua tahun keluar menuju ruang depan. Baju kokonya yang berwarna putih telah memudar menjadi sedikit kekuningan dan terlihat kusut. Tetapi sarungnya masih beliau kenakan dengan penuh wibawa. Sarung botol terbang, sebuah sarung tenun yang berpola abstrak dengan massa lebih berat dari pada sarung umum lainnya. Sarung ini selau menjadi benda berharga bagi mbah kakung. Harganya yang mahal dan bahannya yang halus membuat beliau betah memakainya. Terakhir kudengar harganya diatas sembilan satu juta, tetapi itu empat tahun yang lalu. Entah sekarang harganya berapa.
"Mbah." Aku berdiri, sungkem kepada mbah kakung dan mbah uti secara bergantian.
Kurasakan tangan beliau berdua telah keriput. Usia tua telah mengambil sebagian dari kemulusan kulit mereka. Tetapi meski begitu, binar bahagia di kedua mata mereka tak pernah memudar. Seolah-olah hidup menua di tempat ini, Bulu, merupakan sebuah berkah yang mereka nikmati.
Bulu adalah kecamatan yang masih berada di kota Temanggung. Sebuah kota kecil di lereng bukit dengan suhu yang asal kau tahu saja, jauh dari Jakarta. Berada di sini selama beberapa menit sudah membuatku mengetatkan jaket biruku yang lusuh. Tubuhku pasti kaget dengan perbedaan cuaca yang sedikit ekstrim. Maklum, aku sudah terbiasa dengan panasnya ibu kota selama bertahun-tahun.
"Baguslah jika kamu sudah tiba di sini, Nang. Mbah sudah berbicara dengan ibumu sebelumnya. Dengan adanya kamu di sini, mbah bisa mengandalkanmu meringankan banyak pekerjaan. Sebentar lagi musim tembakau. Kamu tepat datang ke sini. Ya kan, Mbok?"
Mbok, adalah sebuah sapaan dari mbah kakung untuk mbah uti. Sebuah sapaan yang telah lama kudengar dari mulut mbah kakung sepanjang ingatanku selama ini.
Mbah uti mengangguk antusias. Rambutnya yang telah banyak memutih hanya ditutup kerudung transparan berbentuk seperti selendang. Kerudung khas jaman dulu, di mana ujungnya banyak dipasangai manik-manik.
"Ya mbah, Fatih akan mencoba membantu sesuai yang Fatih bisa." Aku hanya bisa tersenyum, itulah yang mampu kulakukan. Jelas tidak ada rasa antusias sama sekali dari mimik mukaku. Mungkin mereka berdua menyadari ini, sehingga tak lama kemudian mbah kakung menyuruhku untuk beristirahat di kamar kosong belakang, dekat dengan dapur.
Kamar ini merupakan kamar yang salah satu sisinya menghadap perkebunan bambu dekat rumah. Kubuka perlahan jendela kamar yang telah berkarat di ujungnya dan kupaksa untuk memberi sedikit celah bagi udara senja memasuki ruangan. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib dari mushola perkampungan ini.
Aku menatap jauh ke luar jendela, menikmati suasana menenangkan yang akan kutempati selama setahun terakhir ini.
Baiklah. Mungkin memang di titik ini aku harus mulai menerima situasi. Kedua orangtuaku, dengan banyak pertimbangan, memutuskan untuk 'menghijrahkan' putra semata wayangnya. Kenapa aku menggunakan istilah hijrah? Karena mereka mendefinisikan kepindahanku sebagai salah satu cara untuk membuatku lebih baik dalam menerima tanggung jawab sebagai lelaki.
Itu alasan yang terdengar cukup klise sebenarnya. Tapi itulah alasan kuat mereka hingga memutuskan mengirimkan putranya ke wilayah kecil di lereng gunung, alih-alih membiarkanku berkembang di Jakarta sebagai seorang entepreuner hebat. Terkadang, kedua orang tuaku cukup kolot menyikapi hidup. Mereka golongan kaum yang terlalu serius dan jarang menerima kata gagal.
Jadi, ketika usaha ketigaku bangkrut sebagai kreditur becah belah rumah tangga, mereka langsung membuat langkah-langkah ekstrim dalam mendidik karakterku. Mengirimkan putra yang sempurna ini jauh dari mereka, dan membiarkan aku menjalani kerasnya kehidupan di desa. Berharap setelah aku kembali, pribadiku berubah menjadi setengah dewa. Sungguh lucu.